twitter instagram linkedin
  • HOME


Berawal dari sebuah obrolan bersama seorang teman....

"Asal kan lo nonton film rekomendasi dari gue juga."
"Boleeeeh apa apa"
"Mau yang nuansanya kayak apa?"
"Yang nggak bikin gue gloomy sepanjang hari. Haha."
":) Hector and The Search for Happiness udah belum?"
"Belum nonton. Oke dicatat!"
"Harus. Banget. Dijamin bakal kayak gini sepanjang hari: *sticker Moon di Line yang ngangguk-ngangguk*


***

Sejujurnya, pertamanya, saya agak males mau nonton film Hector and The Search for Happiness ini (HAHA). Kenapa? Soalnya rating di Rotten Tomatoes dan Metacritic nya rendah banget, bahkan 40% pun nggak nyampe. Dan saya tipe orang yang gampang banget kepengaruh sama rating kalau mau nonton film. (Abis ini dimarahin. "Isssssssshhh. Mesti dialami dulu filmnya!" haha).

Tapi karena di kantor lagi mati ide dan nggak tau mau ngapain biar moodnya bagus, akhirnya saya memutuskan untuk nonton si Hector (Btw, perjuangan abis nyari filmnya di torrent), dengan ekspektasi, "hmmm kayaknya filmnya nyenengin nih."

Sinopsis singkatnya: Ada seorang psikiater bernama Hector, yang kayaknya udah punya semua yang dia butuhin di hidupnya. Semua serba teratur. Punya pacar yang setiap hari ngurusin hidupnya dengan detail dan rapi. Punya pekerjaan tetap yang bikin dia mapan. Sampe-sampe, Hector justru ngerasa bosen, monoton, dan nggak tau lagi "arti hidup dan bahagia".

Nah buat nyari tau apa arti bahagia demi pasien-pasien yang tiap hari dia temuin ini, akhirnya Hector mutusin buat pergi. Keliling dunia. Tanpa tujuan dan waktu yang pasti. Tanpa tau apa yang harus dia cari, demi bisa ngejawab satu pertanyaan, "What makes people happy?"

Dan ternyata, selama dua jam nonton film yang saya kira bakal nyenengin dan bikin ketawa-ketawa ini, justru malah bikin saya narikin tissue di meja kantor dan sibuk srottt srotttt ngeluarin ingus sambil ngelap air mata. Sial. Temen saya itu bohong banget. Hahahaha.

Selama dua jam ngikutin perjalannya Hector, saya ketawa, senyum-senyum, nangis sesengukan, dan saya juga jadi ikutan belajar nyari tau arti bahagia. Filmnya quote-able banget. Sampe-sampe saya catetin hal-hal dan dialog-dialog yang menurut saya keren. Dan cocok buat caption foto di Instagram. Hahahahahagadeng.

Intinya, iya, emang bener. Kadang kamu harus pergi jauh, buat akhirnya kamu mencari jalan pulang.

Jauh-jauh si Hector keliling dunia dari China sampe Afrika, ujung-ujungnya, he returns with one realization: he HAD everything he needed to be happy, those whole time.

Ada banyak banget hal yang bisa bikin manusia bahagia. Sama kayak yang dicatet sama Hector.

"A lot of people think, happiness means being richer, or more important."

"Happiness could be the freedom to love more than one woman at the same time."

"Happiness is, answering your calling."

"Happiness is being loved for who you are."

"Happiness is feeling completely alive."

"Happiness is, knowing how to celebrate."

etc, etc.

Saya setuju banget sama semuanya, dan rasanya pengen saya bold dan underline satu per satu itu dialog di Hector and The Search For Happiness. Yang saya nggak setuju justru sama pernyataan akhirnya: "We all have an obligation to be happy.'

Nooooooo...... Kita nggak perlu punya kewajiban buat bahagia. Kita nggak perlu punya hak buat bahagia. Happiness is here. It lies within ourself. We all, all of us, have the capacity to be happy. Bahagia udah terletak di dalam setiap diri makhluk hidup kok. Kita tinggal mencari dan menemukannya aja.

And sometimes, we're trying too hard to look for happiness in a place that too far away and too hard to get. Kenapa? Karena kita terlalu fokus sama "the next thing" dan jadi lupa untuk fokus sama "what's right in front of us". Kayak apa yang dicatet Hector; Many people only see happiness, only in their future.

Padahal bahagia adalah kumpulan dari rasa-rasa yang sederhana.

Nggak sesusah ngerjain soal matematika. Atau nggak sejauh harus keliling dunia. Atau nggak segila bisa pacaran sama Maria Ozawa.

Dikumpulin aja, sedikit-sedikit. Satu persatu. Karena bahagia bukan jackpot yang didapetin once in a while atau cuma sekali seumur hidup.

And last, the only way to find happiness, is to create meaning and purpose in our own life.

Kesimpulan: besok-besok emang jangan terpengaruh rating kalau mau nonton film. Hahahaha. Hector and The Search for Happiness baguuuuuuuus! Seselesainya, saya capek nangis. Tapi juga nggak tau kenapa, ngerasa lebih plong dan lega. Ngerasa lebih kaya, perasaan dan hatinya. Dan... bawaannya pengen senyum sepanjang hari ke semua orang. Biar bahagia dan nularin bahagianya.

Jadiiii.... Selamat berbahagia, setiap saat dan kesempatan! :D


Now playing: Lonely Night - Gary ft. Gaeko


Ini adalah lagu favorit saya yang selalu saya putar setiap dalam perjalanan dari kantor menuju rumah. Terlepas dari saya emang suka sama musik-musik Korea (music is universal and have no boundaries, right?), saya suka banget sama lirik dan video klip dari lagu Lonely Night-nya Gary ini. Kenapa?

Saya sarankan kamu coba putar lagunya, dan jangan lupa klik CC nya buat nampilin lirik Bahasa Inggris (kecuali emang jago bahasa Korea hahaha).

Saya ngerasa relate banget sama semua-mua yang ada di MV itu. Kegundahannya, kelelahannya, kebosanannya akan rutinitas yang selalu sama setiap harinya, kesunyiannya, kesepiannya, dan kehampaan yang menusuk hati tanpa kita tau sebenarnya apa yang kurang dan apa yang hilang.

Di setiap perjalanan malam, saya melihat ratusan orang yang juga lalu lalang. Berkendara, berjalan kaki, berhempit-hempitan di tengah keramaian, bercengkrama dengan teman dan kolega di bawah cahaya lampu yang terang. Ada yang sedang menuju rumah, ada yang masih mencari nafkah, ada yang berhenti sejenak untuk beristirahat dari kerumitan apapun yang sedang dikerjakan.

Makanya, saya nggak suka kalau malam-malam masih di luar dan belum pulang. Rasanya sepi. Rasanya hampa. Rasanya ada sesuatu yang membuat sedih.

"The night, I become lonely. The night, everything becomes a burden. The night, I miss everything"
Bismillahirrahmanirrahim.

Gue agak deg-degan sebetulnya mau nulis ini hahaha. Terlepas dari mengikuti isu-isu dan perdebatan yang ada, baik di dunia nyata ataupun di dunia maya, gue sebelumnya nggak pernah mau berkomentar lewat tulisan panjang. Diskusi, yes. Tapi nulis, nggak berani. Hakhak. Tapi topik yang satu ini udah bener-bener mengusik gue, sehingga gue nggak lagi bisa nahan untuk berpendapat.

So, dari mulai huruf pertama yang gue tulis sekarang, adalah murni opini gue sebagai satu individu, dan nggak mewakilkan siapa-siapa, ataupun menjustifikasi hal apapun. Kalaupun tendensius, ini adalah tentang isi hati gue.

Ada dua hal yang bikin gue akhirnya meledak, setelah sekian lama merasa terusik. Oleh hijab. Oleh pandangan orang-orang tentang hijab. Oleh pembenaran banyak kalangan mengenai orang yang berhijab.

Kemarin (bahkan sampai sekarang gue nulis ini), di Twitter lagi rame banget sama perdebatan antara para fans K-Pop dengan salah satu stand-up comedian (yang dulu gue suka karena lucu-lucu berbehel gitu uwuwu. Iyah, gue lemah banget sama cowok behelan hakhak oke lanjuddd). Gue nggak akan ngebahas tentang K-Pop nya sendiri ya, karena gue sih sebagai anak kipop garis keras sebenernya santai-santai aja. Yha mau dibilang alay, dibilang lebay, dibilang suka sama cowok-cowok cantik yang kek hombreng, apapun deh, bodo amat. Lah gue ya gue, situ ya situ. Tuhan kita satu, selera kita yang tak sama. Asyedap.

Tapi ada salah satu statement dari si “comedian” ini yang bener-bener bikin gue pengen misuh-misuh. Ada beberapa twitnya, gue rangkumin aja sebagiannya ya, karena males nge-scroll-scroll lagi.

“Mending liat cewek pake baju sexy di tempat dugem sambil mabok2 daripada liat cewek hijab di konser Korea sambil nangis2. Pfft.”

Dia emang boleh-boleh aja beropini, dan gue juga boleh-boleh aja beropini atas opininya dia. Jadi, maaf, menurut gue, ini bego.

Gue nggak ngerti-ngerti banget tentang agama, tapi pemahaman dan judgement orang tentang seseorang yang berhijab sering banget bikin gue terusik, gelisah, nggak terima, dan hati gue ngerasa pengen menentang. Banyak yang bilang,

“Kok berhijab tapi...... gini, gitu, ini, itu, atas, bawah, depan, belakang, maju, mundur, dll, dll, dll.”
“Daripada lo berhijab tapi......, mendingan lo benerin dulu deh kelakuan lo, omongan lo, dll, dll, dll”

Sering banget kan kita ngedenger yang kek gitu? Hijab selalu dikait-kaitin sama akhlak. Pokoknya kalo lo udah berhijab, lo berarti udah harus suci dan nggak boleh ngelakuin kesalahan apalagi dosa! Kalo masih, berarti lo munafik! MUNAFIK! HAH! LEPAS AJA TUH JILBAB LO! MENDINGAN NGGAK USAH  JILBABAN! HATI LO DULU TUH JILBABIN! PALSU! Hah. Ngos-ngosan. Capek.

Menurut gue, menurut hati gue, menurut pemahaman gue, hijab dan akhlak adalah dua hal yang berbeda. Di kitab gue, sepengetahuan gue (boleh dikoreksi), berhijab atau menutup aurat adalah aturan berpakaian yang nentuin bagian-bagian tubuh mana aja yang nggak boleh terlihat sama orang lain. Sederhananya, ini aturan yang sama kayak lo kalo di sekolah harus pake seragam, bajunya nggak boleh ketat-ketat trus dikeluarin, trus pake rok harus di bawah lutut, kaos kakinya putih polos, sepatunya item nggak boleh pake converse, dll, dll.

Adakah hubungannya sama akhlak? Mereka berbeda, tapi hubungannya jelas ada. Yang udah berhijab pasti diharapkan akhlaknya bisa semakin baik, karena mereka udah mau ngikutin peraturan yang ada. Sama aja, balik lagi kek di sekolah, dengan lo udah ngikutin peraturan pakaian tadi, lo DIHARAPKAN untuk ngikutin peraturan-peraturan lainnya. Tapi...... Belum tentu juga kan?

Lo ngebanding-bandingin mendingan ngeliat cewek seksi mabok di club sama cewek berhijab tapi nonton konser nangis-nangis, maaf, di manakah letak korelasinya? Adakah unsur perbandingan yang bisa dibandingkan?

Gini nih, kalopun mau ngebandingin ya. Misalnya, ada dua orang. Yang satu berhijab, yang satu nggak. Dua-duanya maling. Ibaratnya tuh, yang satu maling tapi pake baju. Yang satu lagi maling tapi telanjang. Dua-duanya salah, tapi letak perbedaannya cuma di pakaian tadi. Apakah dengan lo pake baju, udah jaminan lo nggak jadi maling? Apakah semua orang yang pake baju nggak akan ada yang jadi maling? Atau, apakah yang boleh jadi maling cuma orang-orang yang nggak pake baju aja? “Woy lo mau maling?? Lepas dulu tuh baju lo!!!” Nggak gitu kan?
 "Terkadang suka ngebayangin lebih banyak mana, hijabers yang nonton konser Sulis atau yang nonton konser Suju??? banyakan Suju sih."

Lo cabut “Suju” nya, lo ganti dengan apapun jenis musik dan grup band/musisi favorit lo, tetep aja menurut gue statement ini juga, maaf, bego.

Gue paham maksudnya, dia (mungkin) pengen ngingetin, “hayyy cewek-cewek berhijab, mendingan lo ikut-ikut acara keagamaan yang lebih bermanfaat daripada nontonin acara yang nggak ada tuh anjurannya di Al-Qur’an.” Yes, jaman sekarang, emang kayaknya kita lebih semangat, seneng, dan antusias kalo ke acara-acara kek gitu ya. Bagus banget sebenernya kritik dan pesannya. Tapi... yang gue nggak bisa ngerti adalah.... hijabnya lagi.

Apakah yang harus nonton konser Sulis cuma orang-orang yang berhijab aja? Apakah kalo nggak berhijab berarti boleh milih nonton konser Suju dibanding Sulis? Ini maksudnya gimana mz? Padahal kan, berhijab atau nggak, orang-orang yang agamanya Islam tetep aja sama-sama muslim. Sama-sama punya kewajiban yang sama, sama-sama punya hak yang sama. Gue gagal paham.

Intinya tuh.... Apa ya hakhak. Gue menulis ini bukan sebagai pembenaran kalau cewek jilbab tuh boleh ngelakuin hal-hal yang nggak bener, nggak wajar, dan dosa. Nggak. Tapi kayaknya memandang akhlak cuma dari segi "hijab" aja juga kok ya rasanya terlalu sempit. Iya, hijab, jilbab, kerudung, dsb adalah identitas lo sebagai Muslim. Merepresentatifkan agama lo yang harus lo jaga. Tapi apakah kalo lo nggak berhijab, lantas identitas lo sebagai Muslim hilang, dan lo berhak untuk melakukan hal-hal yang nggak bener, nggak wajar, dan dosa?


Udah ah jadi pusing, jadi takut juga. Kalo gue salah, boleh ya dikoreksi.

Terakhir, Dear Uus, kalo klub bola favorit lo berhasil nyabet semua gelar dalam satu musim, lo ada perasaan bahagia dan terharu nggak? Kalo lo ngeliat musisi favorit lo secara langsung trus ngebawain lagu yang lo suka banget, ada perasaan seneng yang membuncah gitu nggak? Kalo lo berhasil ngeliat adek-adek lo di wisuda, lo bangga sampe pengen keluar air mata nggak?

Berhijab, nggak berhijab, seksi, ataupun suka mabok, semuanya sama-sama manusia, sama-sama punya emosi. Nah nangis di konser, itu juga salah satu bentuk emosi. Sama kek nonton film sedih abis putus trus nangis bombay. Atau pas di acara muhasabah atau seminar-seminar motivasi. Apalagi pas lagi sholat, lagi doa. Bedanya nangisnya ya kalo ibadah mah nangis sendiri aja, diem-diem aja. Yha masa di apdet ke sosmed. Eh gapapa sih biar dibilang alim. Eh tapi ntar dibilang pencitraan juga. Hah, serba salah. Dah ah. Capek. Mwah!
(Sumber: http://theodysseyonline.com)

Jadi ceritanya, beberapa hari yang lalu connector HP gue rusak. Gara-gara gue anaknya emang suka buru-buru gituh kalo nyolok-nyabut casan. Jadilah itu ada yang kegeser eik nggak ngerti apanya dan berakhir pada nggak bisa ngecas.

Panik dong gueeee, GIMANA INI KALO NGGAK ADA HAPE? Yha walopun jomlo, kaga ada yang nyariin, chat selalu sepi, tapi tak apah. Ku tetep butuh HP buat scroll-scroll Path ngeliatin apdetan orang-orang yang lagi kesini, makan disitu, sama si ini, dll dll. Ku tetep butuh HP buat love-love foto di instagram yang udah di-filter 131437 milyar kali trus ditambahin quote-quote bijak nan indah. Ku tetep butuh HP buat nulis-nulis status nggak penting di Twitter trus nanti beberapa jam kemudian di hapus lagi setelah nyadar, idih ngapain sih gue nulis ginian. Pokoknya, KU BUTUH HAPE. TITIK.

Berbekal ke-nggak sabaran dan ke-super butuhan itu, akhirnya gue memutuskan untuk ngebawa HP yang nggak-sehipster-iphone-tapi-berguna ini ke Blok M. Nggak usah disensor, udah pada tau kalo Blo'M adalah surganya segala yang murah-murah. Baju murah, dvd bajakan murah, sampe benerin gadget murah.

Nyampe di satu toko yang gue milihnya asal-asalan aja nggak pandang bibit bebet dan bobot karena ini bukanlah nyari jodoh, gue langsung berkeluh kesah ke si abang. Tanpa banyak babibu, si abang yang sepertinya handal ini bilang, "Connectornya harus diganti mbak." Sungguh canggih, membuktikan doi udah banyak pengalaman yang bisa ditaro di CV.

Karena gue anaknya percaya aja sama si abang, yaudah gue serahkan HP gue tersebut buat di utak atik. Satu jam kemudian, HP gue pun udah bisa ngecas lagi dengan biaya servis 100 ribu. Mayan, pikir gue. Yang penting kegiatan per-medsosan gue akhirnya nggak terganggu.

Tapi ternyata, pas nyampe di kantor, gue baru menemukan keanehan. Emang sih, HP gue bisa ngecas, tapi selalu ada notif "slow charging" tiap dicolok. Udah gitu, tiap gue colokin HP ke laptop, SD card nya nggak kebaca sama sekali. Kzl dooong, besoknya gue balik lagi ke si abang dan kembali berkeluh kesah. Dan apa yang terjadi?

Dengan santainya, si abang menjelaskan ke gue kalo sparepart LG disana nggak ada, jadi dia ngegunain sparepartnya Samsung yang udah jelas-jelas beda. Dan dia juga udah tau itu nggak cocok, dan lalu bilang, "Yah, kan yang penting bisa ngecas Mbak... Ya toh?" YA TOH, YA TOH, NDASMUH! Gue nggak terima dong, rasanya tuh kek lo jadian sama orang yang sebelumnya ngaku single, eh abis itu lo baru tau ternyata cucunya udah 15. Akhirnya gue minta sparepart asli HP gue yg kemaren dimasukin lagi, dan si abang pun setuju sambil ngebalikin duit gue.

Kenapa sih gue nggak langsung benerin di LG Service Centernya aja? Soalnya pikiran gue, 1. Biasanya pasti lama; 2. Harganya lebih mahal.

Tapi karena kepepet, ujung-ujungnya gue dateng ke LG. Setelah ngantri yang nggak lama-lama banget sih ternyata masih lamaan ngantri masuk konser Korea, gue menghadap mas-mas teknisi dan langsung curhat panjang lebar kali tinggi jadi volume. Trus si mas-mas tersebut bilang, "Ya pantes aja mbak nggak bisa masuk casannya, ini bukan connectornya LG." ....Lah gue bingung dong, "Ta... ta.. tapi mas! Ini udah diganti lagi pake connector saya yang asli kok! Udah dituker lagi!" Si mas teknisi kekeuh, "bukan mbak, ini beda."

Iyah. Si abang Blok M ternyata menipu gue dengan naro connector entahlah punya siapa dan jenis apa ke HP gue, padahal gue udah minta dibalikin kayak semula. Dan gara-gara gue udah males capek dan lelah buat balik ke si abang buat protes dan marah-marah, gue pasrah minta di ganti aja sekalian semuanya sama sparepart original yang baru. Ternyata pengerjaannya cepet banget nggak nyampe 15 menit, tapi kena 250 ribu.

Di akhir, si mas-mas teknisi LG bilang ke gue, "Padahal kalo mbak langsung bawa kesini, nggak bakal kayak gini loh mbak. Itu connectornya mbak awalnya cuma kegeser aja gara-gara nyabut kabel casan terlalu kenceng, tinggal dibenerin aja disini sebentar, cuma 15 ribu."

.....

.........

..............

OH. OKE MAS. MAKASIH LOH, BIKIN SAYA MAKIN NYESEL.


****

Setelah kejadian itu, gue balik ke kantor dengan pikiran yang kusut. Bukan cuma gue kesel ditipu abang Blok M, bukan cuma gue sedih kehilangan 250 ribu yang notabene lebih 10x lipat dari yang seharusnya bisa gue keluarin, tapi gue juga mikir.... Ini gara-gara gue nggak sabaran dan pengen yang serba instan.

Sama nggak sih sama yang kita sering banget, sadar nggak sadar, lakuin sekarang? Kita hidup di jaman semua serba harus cepet, buru-buru, dan pengen dapet hasil yang instan. Kalo dulu, kakek nenek kita harus kerja banting tulang trus nabung berpuluh-puluh tahun lamanya buat bisa beli rumah, sekarang kita baru pertama kali kerja aja udah ngarep gaji puluhan juta. Kalo dulu, apa-apa harus pake proses yang panjang, sekarang maunya langsung sampe ke tujuan.

Padahal, apa masalahnya sih kalo gue sabar nunggu beberapa hari aja itu HP dibenerin, kan dunia nggak bakalan kiamat (ya kecuali emang udah waktunya ya). Apasih yang gue lakuin pake HP? Nggak mau ketinggalan kabar terbaru dari temen-temen di medsos? Nggak mau kesepian nggak megang-megang HP dan nggak ada yang bisa diajak ngobrol?

Berangkat dari itu, gue diskusi sama satu temen gue. "Eh sadar nggak sih sekarang kita tuh lebih tau kabar temen kita dari medsos, ketimbang ketemu dan cerita-cerita langsung?" Dengan adanya medsos, lo udah tau sehari dia kemana aja, ngapain aja, sampe dengerin lagu apa. Dan itu ngebuat ketika lo ketemuan sama temen lo itu, udah nggak ada lagi yang perlu lo tau. Semua udah duluan keekspos. Dan lo sekarang lebih sibuk ketemu buat foto-foto trus di update di medsos lo. Ya nggak?

Padahal lagi, yang kita butuhin lebih dari itu semua. Gue sempet kepikiran buat berhenti mainan medsos, tapi kerjaan gue membutuhkan gue buat selalu up sama media sosial. Gue juga kepikiran buat meng-unshare dan meng-unfollow sahabat-sahabat gue di medsos, tapi belum tau nih sanggup apa nggak ya.... Huvt.

Eh btw, tadi kan gue awalnya lagi cerita HP rusak ya? Yha, yaudala, udah biasa.

Saya sampai kepada titik di mana saya sendiri nggak memahami kenapa saya bisa jadi saya yang sekarang.

I used to be the kind of person that full of affection and super passionate towards other people. Tapi semuanya kerasa berubah, dan nggak lagi sama.

Saya kehilangan keinginan untuk membuka diri kepada orang lain, saya kehilangan perhatian untuk orang-orang di sekeliling, bahkan saya kehilangan semangat dan niat hanya untuk sekedar membalas chat dari seseorang, siapapun itu. Yang bisa saya tunda berjam-jam lamanya, atau hanya mengetik jawaban seadanya,

Seolah-olah ada sebuah tembok besar tak tau dari mana asalnya, yang memisahkan diri saya dengan dunia luar. Dengan orang-orang,

Anti sosial? Nggak, bukan seperti itu.

Tapi lebih kepada, nggak ingin mempunyai hubungan yang lebih deep dan personal, dengan siapapun. Termasuk soal pasangan.

Seorang temen lama sampai bilang, "Kamu sense of belonging nya udah hilang ya?" Trus saya mikir... iyakah? Kayaknya iya deh. Saya ngerasa sekarang jadi orang yang dingin, dan heartless, setiap ada orang yang mencoba masuk ke kehidupan saya.

Awalnya mungkin biasa aja, saya dengan senang hati bersosialisasi sana sini. Tapi ketika saya ngerasa tembok besar itu mulai "diganggu" sama seseorang, self-defense saya akan dengan segera, dan impulsif, keluar. And in my head, there are sounds that said to that person, don't. Don't cross the line, turn yourself back, or I'll go away. Selalu seperti itu,

Kenapa ya? Saya juga nggak tau, dan nggak punya jawaban yang bisa meyakinkan orang lain, bahkan diri saya sendiri setiap ada pertanyaan, "Lo mau nya apa sih?" Maunya yaudah gini aja, sendiri. Berhubungan baik sama semua orang, tapi jangan ada yang menyangkut ke perasaan.

Eh tapi saya nggak depresi atau kesepian gimana ya hahaha. Justru saya ngerasa aman banget seperti ini, nggak ada yang perlu saya takutin, nggak ada yang perlu saya khawatirin.

Nggak tau sampai kapan. Mudah-mudahan temboknya bisa segera roboh. Mudah-mudahan di dalam tembok ini, isinya bisa cepat nggak rapuh lagi, biar nggak usah dibentengi.



PS: Tapi Rima nya temenan masih sama kayak dulu loh ya. Suka bingung kalo di bilang sombong atau sibuk mulu, padahal nggak. Dan beberapa hari lalu baru aja ketemuan sama temen lama, dan ngedengerin beberapa ceritanya yang ternyata udah banyak banget yang saya nggak up-date.

Dan nggak surprise, ketika kita ketemu sama orang yang udah lama nggak kita temuin, ada banyak banget hal yang berubah ya. Ada pelajaran-pelajaran yang bisa kita dapet, ada pengalaman-pengalaman yang dibagi, dan ada pendewasaan-pendewasaan yang sebelumnya mungkin nggak pernah kita kira.

Saya jadi kepikiran pengen bikin #TemanBercerita. Jadi kita ketemu, ngobrol-ngobrol, dan saya pengen nulis beberapa cerita (atau beberapa kalimat aja kalau saya males nulisnya hahahaha) yang menurut saya layak banget buat dibagi ke orang lain. Karena semua orang butuh didengarkan, karena semua orang butuh teman untuk bercerita. Ya nggak sih? Nah, saya pengen bikin #TemanBercerita ini semacam movement nya Brandon yang bikin Humans of New York gitu deh. Duh, pengen banget!

Sayangnya, pas saya bilang ke temen saya itu bahwa saya pengen nulis cerita dia, dia langsung ngancem, "Awas aja ya kalau kamu nulis-nulis ini di blog!" Hih, nggak ngerti banget esensi cerita ya. Kzl.

Btw, kalau ada yang tertarik, yuk, shall we grab a coffee? :)



Karena menulis adalah teman.
Di saat kamu terjebak pada kesunyian.
Di kala kamu merasa kesepian.
Di mana kamu sedang mencari ketenangan.

Menulislah.

Karena menulis adalah keistimewaan.




*Tadinya mau nulis panjang lebar setelah blog nggak di update berbulan-bulan. Tapi begitu buka post-post lama, dengerin lagunya Banda Neira, sambil blog walking kemana-mana, malah jadi lupa mau nulis apa. Biasa.

Nanti ya, kita sambung lagi ceritanya.



Nothing is important, selama kita nggak punya interest sama suatu hal. Tapi premis itu juga bisa jadi kebalikannya. Nothing is UNIMPORTANT, selama kita bisa lebih mengerti dan memahami hal tersebut.


*****


Nggak kerasa, 10 bulan saya berkecimpung di bidang jurnalistik. Walaupun belum bisa dibilang jurnalis-jurnalis banget, tapi saya buanyaaaakkk banget dapet pengalaman dan pelajaran berharga, yang rasanya sayang banget kalau nggak saya tulis disini. (Finally I succeed to beat my laziness huehehe :P)

Jadi kemaren saya baru aja ngeberesin dokumen-dokumen di pc kantor, dan tersadar kalau saya selama ini udah nulis ribuan berita, artikel, dan segala macem tulisan lainnya. 2179 tulisan, to be exact! Itu belum apa-apa buat seorang penulis, mungkin, tapi buat saya yang masih busa-busa sabun ini, it feels UNREAL! Gile, ini blog aja udah tiga taun lebih, isinye kagak nyampe 100 ahahahaha. And for each of my writing, THERE’S A LOT OF THOUSANDS PEOPLE WHO READ IT. I feel so grateful, yet responsible of that.

Tapi intinya bukan itu sih. Intinya sampe sekarang pun, saya masih nggak ngerti apa inti dari tulisan saya. HAHAHA.

Waktu pertama dapet kerjaan di media online ini, orang tua saya, saudara-saudara, dan temen-temen mempertanyakan. Kalaupun saya tiba-tiba nyemplung di dunia yang jauh banget dari latar pendidikan saya, kenapa saya nggak masuk ke media yang udah ketauan gede macem Kompas dan Tempo sekalian. Jawaban saya satu: LAH SIAPA GUE. I mean, saya nggak punya basic apa-apa tentang menulis dan jadi jurnalis, nggak tau seluk beluk media, nggak punya pengalaman jurnalistik apapun sebelumnya, masih bener-bener nol.

Saya sering banget dapet pertanyaan, “Rim, kerjaan lo ngapain sih?”, tiap saya apdet-apdet di medos. IYE, kerjaan saya emang makan gratis, nonton film gratis, dateng ke konser gratis, nyobain barang-barang gratis, dan gratisan-gratisannya. Hakhak. Kalau kata temen kuliah saya, “Si Rima mah kerjaannya enak siah, kayak anak lagi studi tur. Tinggal dateng, nulis resume, kelar.”
He euh, bener banget, KELIHATANNYA emang gitu doang. Ahahahaha :p

Tapi sesungguhnya kawan, dibalik itu semua................................ :”))) :’’)))

There's always a price to everything.


***


10 bulan ini...

Saya belajar banyak banget tentang menulis. Dari ribuan tulisan itu, banyak yang nggak lolos scanning buat di publish sampe kadang-kadang  KZL sendiri. Banyak yang di edit dengan sangat kejam oleh editor saya sampe saya ngenes sendiri, PAK, TADINYA TULISAN SAYA BUKAN MAU NGEBAHAS ITU. Baaaanyak banget pelajarannya. Awalnya saya pikir, ah gampil, tinggal nulis doang. Tapi ternyata, menulis yang baik dan benar itu butuh belajar.

Saya sampe sekarang belum tau gimana caranya bikin tulisan yang bagus, baik, dan benar. Tapi yang saya setiap hari pikirin adalah, gimana caranya, maksud dan tujuan saya, informasi dari saya, opini saya, bisa sampai ke orang yang baca. Gimana caranya, orang bisa baca dan mau tulisan saya dari awal sampai titik terakhir. Gimana caranya, orang bisa tertarik untuk mencari tulisan saya lagi.

10 bulan ini....

Saya belajar banyak banget tentang apa yang terjadi di dunia, setiap harinya, setiap jam nya, bahkan setiap menitnya. Saya udah beberapa kali pindah tugas, dari di dunia anak muda, musik, film, fashion, lifestyle, sampe yang terakhir, saya di rotasi ke desk politik dan internasional. And those.... was. a. super. priceless. and. crazy. experiences!

Khusus di desk terakhir ini, internasional, yang paling pengen saya tulis (KARENA BANYAK BANGET UNEK-UNEKNYA HAHAHA). Awalnya, saya desperate dan nggak terima banget dapet tugas itu. Dari sekian banyak, KENAPA GUEEEHHH. Tau apa gue tentang kabar dunia? Bukan, bukan tau, tapi “peduli” apa gue tentang kabar dunia?

Di hari-hari pertama gabung desk internasional, saya bener-bener nggak ngerti apa-apa. Kayak, just five minutes ago I didn’t know who the heck Malcolm Turnbull is, then five minutes later, I wrote an article about him. (BTW, LO TAU NGGAK SIAPA TURNBULL, TANPA LIAT GOOGLE? BUKAN, BUKAN ABANGNYA PITBULL)

Selama ini gue cuma sekedar tau, di Suriah lagi ada perang. Tanpa gue tau seluk beluknya, kenapa bisa terjadi, gimana perkembangannya sekarang, dll.

Selama ini gue nggak peduli sama ekonomi China, yang gue tau cuma China banyak banget ngeproduksi barang KW. Hahaha. Dsb. Dsb. Dsb.

But you know what, prove this world is so much bigger than we thought it was. Di saat saya nulis ini, ada ribuan pengungsi dan imigran yang lagi desak-desakkan dalam kondisi nggak layak buat nyari suaka aman ke Eropa. Di saat kamu baca ini, Korea Utara lagi ngegali terowongan buat nguji senjata nuklirnya. Di saat kita lagi sibuk ngegalauin mantan dan gaji yang kurang buat seneng-seneng, ada jutaan anak Palestina yang berjuang bertahan hidup di tengah-tengah perang.

Dan 10 bulan ini.....

Saya belajar banyak tentang menjadi seorang pendengar. Saya belajar banyak tentang menjadi seorang penyampai pesan.

Namanya jadi reporter, kita harus mau dan siap disuruh buat ngeliput apa aja, bukan cuma numpang nonton film yang saya suka, bukan cuma dapet tiket konser gratisan buat dipamerin ke sosial media. Jauh, lebih dari itu. Nggak jarang saya ngantuk-ngantuk, bosen, sampai desek-desekan di acara konferensi pers, seminar, ngejar-ngejar narasumber, dll-dll.

Tapi gimanapun saya nggak tertarik, dan nggak ngerti, dan ngerasa nggak penting-nya suatu acara itu, saya belajar buat melihat nggak cuma diri saya aja. Buat orang-orang, perusahaan, lembaga, band-band, artis, dll, di acara itu, that event could be their precious step, their memorable experience, their live-or-die chance.

Dan walaupun saya nggak tertarik, nggak ngerti, nggak ngerasa penting, masih ada orang lain yang mau, atau butuh berita itu. That could be an important news for them. Bahkan walaupun cuma ada satu orang yang tertarik sama sebuah pemberitaan, saya tetep punya tugas dan tanggung jawab untuk menyampaikan.

Menjadi seorang pendengar yang baik, saya pelajari dari setiap wawancara yang saya lakuin. Saya belajar untuk menyimak, memahami, dan merasakan cerita yang disampein sama mereka. Saya percaya, setiap orang butuh didengerin, tanpa perlu untuk dicekokin terlalu banyak pertanyaan ini itu. And that’s why I enjoy the most interviewing people. I didn’t ask much, but I always got a lot of answer and explanations. Saya banyak banget terinspirasi dan termotivasi.

Dari beberapa bulan pekerjaan pertama ini, saya belajar banyak hal yang bahkan nggak saya pelajarin di belasan tahun masa sekolah saya, yaitu: Belajar melihat dunia. Dengan lebih luas.

Nggak ada yang nggak penting, tergantung dari sisi mana kita mau melihatnya, tergantung dari sejelas apa kacamata yang kita gunain, tergantung dari seberapa peduli kita dengan hal tersebut.



Semoga saya, dan kamu semua, bisa lebih banyak belajar, lebih banyak bersyukur, lebih banyak peduli dan berempati, serta lebih banyak memahami bahwa ada hal-hal yang mungkin menurut kita nggak penting, tapi menjadi begitu berarti buat orang lain.


And clearly, we are not the center of the universe.




Beberapa minggu lalu gue pernah nulis di twitter, kalau gue bakalan. bener-bener. nulis tentang #TwentyAgain di blog. And here I am.

Gue cinta banget sama drama Korea. Hakhak. Saking cintanya, gue lebih betah ngejomblo daripada kehabisan drama dan nggak tau mau nonton apah. IYALOH. :’’)) Tapi dari sekian banyak drama yang gue tonton, dari sekian cowok-cowok ganteng yang bikin mata gue melek, dari sekian cerita romantic-comedy favorit yang bikin senyum-senyum geli sendiri, gue nggak pernah niat buat bikin rekap atau review atau apapun lah bahasanya, dalam sebuah post panjang gini.

Ini pertama kalinya, and #TwentyAgain just deserve it. Gue pengen banget nyuruh semua orang nonton drama ini, bahkan yang nggak suka drama sekalipun. Kenapa?  #TwentyAgain is a simple story about a woman and her road to self-discovery an uplifting, emotional journey. As a woman, as a wife, as a mother.

Plus... This movie has.... HIM!!!!



PERFECT KAAAAAN <3


*****


Singkat cerita, pemeran utamanya, Ha No-Ra (38 tahun) ini ibu-ibu yang dulunya nikah muda habis lulus SMA, punya suami namanya Kim Woo-Chul dan anak laki-laki yang baru masuk kuliah, Kim Min-Soo.

No-Ra sama suaminya lagi dalam proses mau cerai. Alasannya? Karena si suami bilang kalau mereka berdua nggak bisa nyambung komunikasi, beda strata, because he is a professor in college, and No-Ra just an uneducated housewife. Nah biar bisa sederajat sama suaminya, si No-Ra ini akhirnya diem-diem ikutan tes masuk kuliah, dan keterima di kampus yang sama bareng anaknya, sekaligus tempat suaminya ngajar.

Di kampus itu juga, dia ketemu sama temen SMA nya dulu, and also her first love, Cha Hyun-Suk yang ternyata juga masih cinta sama No-Ra (iye, bagian ini klise banget emang, tapi nyenengin kaaan hoho), sampe akhirnya tau kalau suaminya, Woo-Cul selingkuh selama tiga tahun sama salah satu profesor di kampus itu, Kim Yi-Jin.




The problems in #TwentyAgain aren't huge or dramatic, it's just a realistic story that centered one person, Ha No-Ra. I love the character developments, from the first episode to the finale. She's growing in me.

Gue ikutan ketawa sama ke-naifan seorang ibu-ibu yang baru ngerasain dunia kuliah, gue ikutan pengen ngejambak suaminya yang sok kegantengan dan sok laku, gue ikutan gemes ngelihat No-Ra yang diem aja tau suaminya selingkuh, gue ikutan nyesek sekaligus keinget nyokap gue sendiri di adegan No-Ra sama anaknya, everything in that story is just well-putted in their own places.

Karena gue juga anaknya drama abis, gue gampang banget kebawa suasana sama film, buku, apapun. And seeing this movie, I learned a lot.


*****


Yang nonton film ini, pasti juga kzlll banget, why is Nora loving a guy like Woo-chul. But Woo-chul became Nora’s entire universe at 18, and she has been living with thim for 20 years. Clearly the idea of divorce terrified her.

But I love after she’s experienced more of the real world, reassessed her life, found friends, and reclaimed a little of her old self, she can see everything crystal clear, understanding things with different perseptions, and eventually... dare to let Woo-Chul go.


Apalagi waktu No-Ra ketemu sama Yi-Jin, selingkuhan suaminya dan bilang.......


COLD. EMOTIONLESS. YASSSSHH YOU GO GIRL!


Gue nangis bombay (IYE LEBAY HAHA) setiap scene No-Ra dan Min-Soo. Hubungan ibu-anak ini yang menurut gue paling riil dan ditemuin sama semua orang. Kita tuh kadang (bahkan sering) take our mom for granted. Karena kita udah kebiasa, selama hidup diurusin sama nyokap, kita jadi nggak ngehargain dan lupa sama jasa-jasa Beliau.



Dan setiap orang tua, nggak ada yang mau ngebebanin anaknya. Karena itu, ada masalah seberat apapun, pasti orang tua berusaha mendem sendirian, sementara kita sibuk sama dunia kita. We left them alone, and lonely. Tapi yang namanya orang tua, akan tetep pengen yang terbaik buat anak-anaknya, akan tetep inget sama anaknya, seberapapun kita lupa sama mereka.



Jadi gue ikutan bahagia ketika dalam film ini, hubungan No-Ra dan anaknya makin lama makin baik, dan jadi erat banget. It’s so heartwarming :”) Sekaligus jadi pengingat buat gue sendiri. When we hit adulthood, we start to see our parents in different view. We become understand how they feel.



She’s now confident enough to choose herself over Woo-chul. And THAT puts the biggest smile on my face. Apalagi pas Woo-Chul nyesel udah nyia-nyiain No-Ra, dan pengen balik lagi (walaupun he’s just so full of himself until I can’t really hate him because he’s sooooo..... stupid XD).



But you know, all relationships grow too familiar and eventually get taken for granted. We just got back to our senses IF we lost them. And if, that relationship breaks down and lost, now gifts or belated efforts or deepest regrets will become... meaningless. It’s all too late.



Dan ketika kita terlalu jauh dan dalam berada dalam satu hubungan, we often lost ourself in it. So there will comes a time, when we need to take it off. When we have to give it a rest, to re-discover ourself. Alone.



And if it necessary, we have to move on too. To see what will wait for us in the future. As cliche as it sounds, but everything will fall into its place, in the perfect time.






******

Pada akhirnya, it’s all happy ending. No-Ra nemuin dunia dan cinta baru sama Hyun-Suk (I APOLOGIZE NOT TALKING MUCH ABOUT THIS GUY BUT THIS MR. DIMPLES IS THE BEST AND THE CUTTEST PARTNER EVER YOU SHOULD WATCH IT YOURSELF).



Min-Soo berusaha nemuin apa cita-citanya, as he’s only 20 years old so he’ll have much times to it. Bahkan nggak tau kenapa gue ikutan seneng si Woo-Chul balik lagi ke selingkuhannya, Yi-Jin. Hakhak. Well, they were together for 3 years so.... let them be. :’) They’re clearly living in a different world than the rest of the cast.




For saying goodbye to this show, is quite hard. I’m too attached to #TwentyAgain. But I shall thank all the cast, the crews, THE WRITER, for giving us such a great great lessons through amazing movie.


We don’t have to go back and fix all the things we regret. The future is not determined by the past.




 We just have to see ourself clearly, and choose exactly what we want to be. Because we just have only one life to live, so forge our own path and grab onto love we see it.




\
My rating for #TwentyAgain: 10/10. I urge everyone to watch it, immediately! Go go!

Until next time, Ha No-Ra and Cha Hyun-Suk. :'')))



Something is missing in your life, isn't it?

This longing feeling (of... I don't even know what is it I'm longing) is coming again, after been a while.
Have you ever been in this kind of situation? I believe we all have.

You know, we're working hard, trying to get ahead, doing everything we possibly can to make our life a little bit better. We're having a good job, we're making time to do what we love to do, we're spending the rest of it with our beloved family and friends. Does it sounds perfect?

Yes, it is. Except for that one stupid thing that keeps tugging at our heart.

I don't really know what it is, but this emptiness feeling is really there, and sometimes it's driving me a little crazy. (...or not, maybe I'm a bit exaggerating :p but it stills disturbing though)

Many of us have different perspective towards that feeling. It's often called unhappiness, fatigue, loneliness, and so on. And how to make it gone, we've been trying many methods.

If it's called loneliness, you tried to fall in love.
If it's called boredom, you tried to go off and do vacations.
If it's called re-discover yourself, you tried to do the things you would never try in a million years.

It's all just to see if those activities can settle the strange, inexplicable emptiness we feel.

But the problem is, when we return, this feeling is till here. Still nagging at us, still comeback to the surface once in a while, just when we thought they're gone.

And we still don't have idea what's exactly missing.

Am I right?

Can anybody tell me the answer?
Newer Posts
Older Posts

Hello, It's Rima!

Hello, It's Rima!
A free-spirited hippy type that often get soaked from dive so deep into her complex thoughts and a lot of big feelings.

Labels

asi vs sufor engagement korean drama life menujurrumah parenthood Rania review film rima's k-drama recap

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Januari (1)
      • Three years later....
  • ►  2020 (3)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2019 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2018 (10)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2017 (5)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  April (2)
  • ►  2016 (35)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2015 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2014 (40)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2013 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2012 (31)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)

Find something

Most Popular

  • Apa Cita-Citamu?
  • Everybody's Changing
  • Lumos
  • Do Something, Make Something
  • We Can't Wait Forever
  • Nozomi, A Hope
  • "Kalau nggak enak, kasih kucing aja"

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates