twitter instagram linkedin
  • HOME

Girls are taught a lot of stuff growing up. If a guy punches you he likes you. Never try to trim your own bangs and someday you will meet a wonderful guy and get your very own happy ending. Every movie we see, Every story we're told implores us to wait for it, the third act twist, the unexpected declaration of love, the exception to the rule. 
But sometimes we're so focused on finding our happy ending we don't learn how to read the signs. How to tell from the ones who want us and the ones who don't, the ones who will stay and the ones who will leave. 
And maybe a happy ending doesn't include a guy, maybe... it's you, on your own, picking up the pieces and starting over, freeing yourself up for something better in the future.Maybe the happy ending is... just... moving on. Or maybe the happy ending is this, knowing after all the unreturned phone calls, broken-hearts, through the blunders and misread signals, through all the pain and embarrassment you never gave up hope.

-He's Just Not That Into You, 2009



Habis dengerin cerita seorang teman, dan langsung kepengen nonton film ini lagi. Trus langsung nonton, di kantor. Hahahaha :p One of my favs all the time!
Ada 'asa' dalam terbiasa.
Pun halnya dengan 'bias'.
Entah akan jadi harap, atau cuma prasangka yang berujung ratap.


Hari Kamis yang super manis! Berwisata singkat yang akhirnya nggak cuma jadi rencana berujung wacana aja. Wisata bareng berdua sama Betris, teman kenal sebulan di Provoke yang super berisik, rese, tapi nyenengin ini emang udah kami rencanain dari jauh sebelumnya, pas baru seminggu kenal. Hahahaha. Tapi ya biasa, ngomong cuma ngomong, nggak terlaksana sampai Bebe keburu cabut dari kantor duluan.

Dua hari sebelum pergi, Bebe nge-whatsapp saya ngajakin main. Tadinya rencana kami mau ke Bogor, yang saya "iya-in aja dulu" padahal sebenernya males. Ahahahaha. Lebih tepatnya bingung sih, ke Bogor tuh mau ke mana dan mau ngapain. Tapi H-1, rencananya berubah dadakan dari Bogor jadi ke Pecinaan. Iyah, sungguh jauh. Maklum, emang anak-anak random. Rencana nge-date berdua juga berubah jadi berempat, bareng Ocky dan Mas Kiram.

Perjalanan ke Pecinaan (yang katanya dibaca "pe-ci-nan" bukan "pe-ci-na-an") ditemenin sama hujan dan macetnya Jalan Sudirman yang bikin nggak sabar. Padahal saya pikir, Jakarta bakalan kosong ditinggal penghuninya liburan, eh ternyata sama aja. Singkat cerita (karena lagi males nulis huahuahahaha), akhirnya sampai, gerimis-gerimis, nyari parkir, udah dapet trus karena rencananya akan lama jadi disuruh pindah sama kang parkirnya, dengan ancaman "nanti diderek!", cari parkir lagi, dapet, janji dua jam bakal balik.

Tujuan pertama kami di sana adalah Kopi Es Tak Kie. Konon, kedai kopi ini terkenal banget. Saya sih belum pernah denger. Tapi katanya, saking terkenalnya, tempatnya selalu ramai dan jam 2 siang udah tutup. Penasaran, kayak apa rasanya!



Kopi Es Tak Kie ada nggak jauh dari bibir Gang yang kanan kirinya penuh sama orang-orang jualan makanan. Begitu masuk ke kedai kopi ini, kesan pertama buat saya adalah.... Klasik banget! Lucu, khas tempat makan orang Cina, yang di dalamnya penuh sama orang-orang Cina, dan bikin saya agak sungkan sedikit. Hehehehe. Jadi berasa asing sendiri. Berempat mesen es kopi susu dan penasaran kayak apa rasanya, sambil sibuk ngeliatin kanan-kiri-atas-bawah, takjub, dan geleng-geleng ketika ditawarin makan nasi tim sampai mie pangsit.



Es kopinya gimana? Hengggg.... SAMA AJAH KAYAK ES KOPI-ES KOPI DI WARKOP. ahahahahaha. Gatau yah, saya yang nggak ngerti kopi atau gimana :')) tapi ya emang udah, gitu ajah. Harganya pun lumayan, 17 ribu per gelasnya. Tapi buat saya, yang jadi mahal sih emang suasananya. Suasana yang cuma bisa ditemuin di Tak Kie aja. Keluarga besar Cina yang kumpul dan ketawa ramai-ramai, beberapa ibu Cina yang mampir sehabis belanja, dan kami, empat anak-anak muda yang ngeliatin suasana itu dengan tatapan nggak biasa. Hahahaha.

Highlight dari perjalanan ini sebenernya adalah: mau diramal di Vihara. Kata Betris sih gitu. Sebelumnya dia udah gembar gembor kalau di Vihara Petak Sembilan, kita bisa diramal. Tapi begitu sampai di Vihara Dharma Bakti, nggak ada tanda-tanda tempat dan orang yang mau ngeramal tuh. Hissshhh, dasar. Hahahaha.

Tapi untung nggak buru-buru pulang. Pas lagi keliling dan foto-foto, Mas Kiram nanyain ke salah satu penjaga Vihara, namanya Pak Ahin yang lalu ngasih tau kalau kita bisa berdoa dan menanyakan sesuatu sama Dewa di Vihara itu. Hemmm lupa detailnya, nggak terlalu merhatiin. Pokoknya dicoba aja. 

Ritualnya, menyapa nama Sang Dewa, memperkenalkan diri, mengocok sebuah tabung berisi stik kayu (atau bambu?) yang berisikan nomor-nomor sampai keluar satu stik yang akan menjadi penentu "nasib" kita, lalu menyerahkannya ke Dewa dengan melemparkan dua buah batu. Kalau dua buah batu itu sama-sama jatuh terbuka, katanya Dewa ketawa atas pertanyaan kita. Kalau tertutup, Ia marah. Tapi kalau satu terbuka dan satu tertutup, Dewa nya menerima.



Dimulai dari Betris yang emang kayaknya paling semangat. Dalam satu kali coba, dia berhasil ngelakuin ritualnya dengan bener, dari awal sampe akhir, dan langsung dapet kayak semacam "fortune paper" gitu, yang isinya bagus! Itu tuh langsung bikin yang lain jiper duluan. Kayak udah set the bar too high, padahal baru pemain pertama. Ih, sebel. Hahahaha.

Saya mutusin buat nyoba terakhir. Soalnya deg-degaaaaan banget. Deg-degannya bukan takut bakalan dapet ramalan jelek, tapi deg-degan nggak bisa ngelakuin ritual dengan bener, dan ngulang-ngulang terus, dan bikin malu. Hahahaha. Dan ituuuu jadi kenyataan. Dua kali batu saya jatuh dalam keadaan dua-duanya terbuka, saya jadi ngerasa diketawain beneran. Entah sama Dewa, entah sama orang-orang yang ada disitu.

Di percobaan ketiga, akhirnya berhasil juga. FIYUUUHHH. Dan ternyata, kebetulan saya dapet kertas keberuntungan yang baik, jadi tuh kayak bonus aja. I considered myself not a lucky person sih, biasanya. Hahahahaha.

Dibalik ramalannya yang baik, saya suka banget sama kata-katanya. Ini yang bikin pasti penyair! :p





Ramalannya nggak perlu dipercaya sih, tapi pada prinsipnya saya percaya kalau hidup, baik dan buruknya emang tergantung dari gimana kita ngejalaninnya.

"Ada kekhusyukan yang ceria." -Mz Kiram @terlalurisky 📷 Honestly I didn't realize I was smiling when doing this. All I remembered was not my question nor wish to be asked to the 'Dewa', but whether I'm doing this ritual properly. So in my head I just said, "Bismillah semoga ngocoknya bener, semoga stik kayu nya bisa keluar satu doang, semoga gak malu-maluin." hahahaha 🙈 But yes, praying is universal. And I believe the good or the bad of our life, is due to whatever we do. Like my fortune paper says: "Berkah tumbuhnya pada hati jujur, berbudi, beramal, dan mengabdi." It's one fun experience! 😁
A photo posted by Ratu Rima Novia Rahma (@raturima_) on May 5, 2016 at 11:23pm PDT

Kamis manis saya ditutup dengan mengisi perut yang udah keroncongan di sebuah restoran lucuk nan hipster di Kawasan Kota Tua. Namanya Historica. Lucu banget gemes, dan nyamaaan sekali!


One fine day! Terima kasih juga buat Betris, Ocky, dan Mas Kiram! :D




Note: Apa yang saya tanyain waktu berdoa di Vihara? Nggak fokus sih, nggak spesifik nanya satu pertanyaan juga. Tapi dari sekelebat pikiran-pikiran, salah satu jawabannya ada di kertas itu tuh. Katanya, "sesuai pada musim semi." Hahahahaha :p


really? (sumber: pinterest)


Ceritanya, Hari Jumat yang lalu, saya dan seorang teman sedang mengelilingi bursa buku di Blok M Square, mencari buku tentang kolesterol untuk kenang-kenangan teman lain yang akan resign dari kantor, setelah makan soto betawi favorit. Sambil jalan, kami berdua ngobrolin banyak hal seperti biasa, sampai nggak lupa ke topik tentang cowok. Hehehe, maklum, namanya juga cewek-cewek.

"Jadi, lo kenapa nggak berani untuk nyapa dia setiap ketemu langsung?" tanya saya.

"Karena gue belum bisa, dan mungkin belum mau, untuk mengatur ekspektasi gue, ke dia." jawab teman saya itu.

"Ngatur ekspektasi?"

"Iya."


Trus kata-kata dia langsung terngiang-ngiang di dalam kepala saya, sampai sekarang.
Mengatur ekspektasi.

Nggak tau siapa yang mulai, tapi emang katanya, "expectation kills". Kalau kita nggak mau kecewa, ya jangan berekspektasi. Karena kalau kita udah berekpektasi dan hal yang kita harap-harapkan itu nggak sesuai sama bayangan, nanti jadi kecewa sendiri, sedih sendiri, marah sendiri, susah sendiri.

Iya! Bener banget! Setuju!



Tapi......

Living in this world, as a girl yet to be a woman in her 20s who's still unsure about everything, saya ngerasa "mengatur ekspektasi" itu adalah sebuah tugas yang berat. Berat banget nggak sih? Kayak, mau gimanapun, kita pasti akan selalu berekspektasi sama hal apapun. We, humans, set expectations to all our surroundings.

Saya tuh orang yang gampang banget berekspektasi sama segala hal. Uuuuuhhh. Mungkin saya lebih suka ngegunain kata 'faith' daripada 'expectation'. Dan itu, susah untuk bisa diatur. Mau sok-sokan cuek bilang, "Ah gue sih nggak ngarep", atau "Gak mikirin sih, kalau rejeki ya nggak kemana, kalau jodoh ya pasti ketemu, kalau emang udah takdirnya ya pasti ada jalannya." pun, dalam hati pasti tetep aja ada harap-harap cemas degdegserrr sendiri. Hahahahaha. Kayaknya semua orang pasti gitu deh! Eh, iya nggak?

Walaupun kita udah mencoba mengatur, atau sampai mengenyahkan ekspektasi, tapi udah nature nya manusia untuk punya harapan. Dan emang bener, sometimes we expect or put so much faith in certain things/people. And when the things doesn't meet our expectation, we ended up being disappointed. Tapi, nggak lantas kita jadi bisa berhenti buat berharap pada hal-hal selanjutnya nggak sih?

Yes. Expectations create damages, but we can't help to still expect.

Kamu ikutan suatu lomba, pasti kamu ada rasa berharap untuk bisa menang.

Kamu punya perasaan sama orang lain, pasti ada harapan orang itu punya perasaan yang sama kayak kamu.

Itu, wajar sekali. Dan itu, emang fitrahnya manusia. Saya salah satu yang kayak gitu! Hahahaha.


TAPIIII....

Kalau outcome-nya nggak sesuai sama harapan saya, saya lagi dan masih belajar banget buat menerima aja gitu. Kayak, yaudahlah yaaaa. Karena saya tau, nggak semua yang saya mau bisa saya dapet. Nggak semua orang bisa memenuhi ekspektasi saya. Nggak semua orang punya pikiran dan hati yang sama kayak saya. Sama seperti saya, yang juga pasti nggak sesuai sama ekspektasi orang yang udah berekspektasi ke saya (duh, ekspektasi-ception haha).

Untuk nggak ngelakuin sesuatu karena kita takut buat berekspektasi, errrr.... rasanya terlalu disayangkan ya? That would be like saying that we shouldn't have do something, or loved, in the first place. Karena takut kecewa, kita jadi menolak untuk berbuat sesuatu. Saya sering begitu, tapi pada akhirnya saya sadar kalau, people can expect, and people should expect.

Apa yang teman saya bilang itu bener, kita harus bisa mengatur ekspektasi. Tapi juga gimana cara kita mengatur dan menyiapkan perasaan dan diri kita sendiri, untuk menerima apapun hasil dari ekspektasi kita. Karena kalau nggak ada ekspektasi, nggak akan ada sesuatu yang akan kita mulai. Whether that story will turn to be beautiful or give us a heartache, let it be. Because in the end, we will always be okay.

So, set the bar of expectation! But set it where humans can reach, no above the heavens though.

*Semoga bisa diaplikasikan terhadap diri sendiri*

:),

Sumber: google


Bukan, bukan. Post ini bukan post narsis yang akan ngomongin tentang diri saya. Hahaha. Walaupun, memang inspirasinya dari sana.

Jadi, suatu ketika di ruang redaksi kantor, saya dan teman-teman sedang diskusi menentukan sebuah judul tulisan. Lalu saya menyeletuk, "Ih iya yang itu aja, bagus! Berima gitu akhirnya!", dan dibalas oleh editor saya, "Iya, Rima emang bagus. Beraturan, A-A-A-A. Atau A-B-A-B. Nggak kayak Rima yang ini, berantakan. Absurd." katanya, sambil nunjuk ke arah saya. Yang dilanjutkan dengan ngakak-ngakak-an massal satu ruangan. Saya ikutan ketawa sih, walaupun keki juga sebenernya. Hahahaha.

Intinya bukan itu. Intinya, saya, terlepas dari nama saya, emang suka banget sama kata-kata yang berima (Ngomong-ngomong, yang benar tuh "berima" atau "ber-rima" sih?). Jadi kalau membaca tulisan, yang penulisnya jago banget mencari diksi yang bukan cuma sesuai sama apa yang disampaikan, tapi juga membuatnya jadi indah dibaca, tuh rasanya pengen..... UUUUHHH... sungkem! Kalau cewek, mau dijadiin sahabat. Kalau cowok, masih jomblo, duuuh minta dipacarin banget! Hahahahaha. (Btw, jadi keinget pengen banget punya buku kumpulan puisinya Rangga di AADC 2 yang ditulis sama Aan Mansyur. Aaaaaaakkk nggak sabar!)

Selain para penyair, atau penulis, atau apapun itu deh yang bisa membuat kata-kata dan kalimat indah nan berima, saya juga kagum se-kagum-kagumnya sama para...... rapper! IYA LOH. Mereka hebat-hebat banget! Musik hip hop yang erat dengan kebudayaan dan kebebasan berekspresi ini, bukan cuma enak buat didengerin sambil ngangguk-ngangguk hipster gitu, tapi juga diresapin lirik-lirik dan pesan dalam lagunya. Walaupuuuun, saya nggak ngerti-ngerti banget gimana dan yang kayak apasih lagu rap yang keren, punchline dan hook yang oke, atau flow yang asik di hip hop (intinya: pengetahuan saya soal hip hop sangatlah receh), tapi saya sangat menghargai lirik yang poetic dan word play yang bikin saya "whoaahhh... whoaaahhh...." pas dengerinnya.

Selain soal sex, perempuan, dan uang, banyak banget loh hip hop yang berbicara lebih dari itu. Dulu waktu saya kelas 5 SD, saya ngefans berat sama Black Eyed Peas semenjak beli kaset "BIG" yang ada lagu mereka di dalamnya. Judulnya 'Where Is The Love?'. Sampai sekarang, lagu itu masih jadi salah satu lagu favorit saya, yang liriknya powerful banget!


"If you only have love for your own race / Then you only leave space to discriminate / And to discriminate only generates hate / And when you hate then you're bound to get irate"

Trus.... Eminem! Duh, kayaknya siapapun di generasi saya pasti seenggaknya tau cowok ganteng ini deh. Katanya, Eminem adalah salah satu rapper terbaik dengan lirik-lirik terkeren. Dan iya, emang iya banget! Salah satu lagunya yang bikin saya mangap-mangap tuh 'Lose Yourself'. Asli....

"His palms are sweaty, knees weak, arms are heavy / There's vomit on his sweater already: mom's spaghetti / He's nervous, but on the surface he looks calm and ready / To drop bombs, but he keeps on forgetting / What he wrote down. The whole crowd goes so loud / He opens his mouth but the words won't come out / He's choking, how? Everybody's joking now / The clock's run out, time's up, over -- blaow!"

Trus masih banyak lagi.... Ada Missy Elliot, ada M.I.A. Rapper-rapper cewek yang menurut saya wow banget. Missy tuh kayak sesepuhnya rapper perempuan di dunia hip hop, dan M.I.A adalah salah satu alpha female yang berani BANGET ngebahas isu-isu sensitif lewat lagunya. Bahkan saya nangis (hahahaha. tapi emang sedih banget! :( beneran) pas nonton musik videonya M.I.A, 'Born Free' yang sampai di-banned sama Youtube.

Dan baru-baru ini, yang menyita perhatian saya juga adalah rapper dari Korea Selatan, namanya Tablo. Orang Korea tapi lulusan English Literature dan lanjut master degree jurusan Creative Writing, dua-duanya di.... STANFORD UNIVERSITY. Waw.... dan lalu, dengan segala gelar itu, dia milih buat jadi.... rapper. IH! Hahahaha.

Jadi bisa dipercaya ketika si Tablo ini nulis lirik, hasilnya.... BOOM. Gila, gila banget. Poetic, and artistic! Cuma bisa tepuk tangan ajah, sambil meringis, sambil buka-buka kamus dan googling arti dari beberapa kata dalam Bahasa Inggris yang gue pun nggak tau. Ini kok ya jago banget sih. :"))) Nih, salah satunya:



"You're the victor in this pageantry / But the only trophy you deserve, catastrophe."

*ca·tas·tro·phe
kəˈtastrəfē/
noun
  1. an event causing great and often sudden damage or suffering; a disaster.
    "a national economic catastrophe"
    synonyms:disaster, calamity, cataclysm, holocaust, havoc, ruin, ruination, tragedy;More
    • the denouement of a drama, especially a classical tragedy.

:)


"What..."

"When..."

"Where..."

"Who..."

"Why..."

"How..."

"If..."

"What if...."

"How could...."

"Where would..."

"When should...."

.......

.......

Life is about gazillions question waiting to be answered. But, do we really need to answer them all? Another question waiting to be answered.



Saya penasaran, gimana caranya ngasih "nggak enak" ke kucing. Karena saya adalah orang yang "nggak enakan" banget. Banget, banget, banget.

Dan saya nggak bangga dengan hal itu. Malah bagi saya, ini adalah sebuah....... apa ya, saya nggak tau apa ini termasuk kelemahan, kesalahan, atau bisa jadi kebodohan. Iya, kebodohan yang dilakukan secara sadar, oleh saya sendiri.

Rasa nggak enakan saya terhadap banyak hal, dan siapa aja ini udah masuk dalam tahap yang mengkhawatirkan. Dan nggak jarang, justru seringnya, ngerugiin saya sendiri. Sebelumnya mari kita bedakan, antara orang yang baik dengan orang yang lemah, nggak punya prinsip, dan nggak bisa menentukan prioritas. Saya, menurut saya, adalah orang yang terakhir itu.


Dan rasa nggak enakan sama orang lain ini banyak banget contohnya.

Nggak enak buat nolak ajakan atau permintaan orang. Semua saya iya-in, semua saya ayo-in. Nanti, begitu udah dekat-dekat tanggalnya (untuk kasus diajak pergi), saya baru kelabakan begitu sadar ternyata ada beberapa agenda di waktu yang bersamaan, Atau, nanti, sesudahnya, saya baru kelabakan sendiri ngerjain hal-hal yang seharusnya saya kerjain, tapi saya tinggalin demi meng-iya-kan dan meng-ayo-kan ajakan atau permintaan tadi.

Lagi makan-makan, trus teman saya mau bayarin, saya ngerasa nggak enak dan maksa saya aja yang bayar, atau seenggaknya biar aja saya bayar makanan saya sendiri. Ini sering banget kejadian sampai bikin drama di restoran atau di depan kasirnya.

Ada teman yang saya tau hari itu ulang tahun, saya nggak enak kalau nggak ngasih apa-apa (padahal bukan teman dekat juga). Trus saya selalu keliling ngajakin anak-anak yang lain buat ngasih sesuatu ke dia bahkan ngadain surprise (yang jarang banget ditanggepin dengan se-antusias saya oleh yang lain).

Lagi jalan sama orang, terus ternyata macet atau hujan, saya jadi nggak enak ke dia/mereka. Padahal saya tau, bukan salah saya atau gara-gara saya juga itu jalanan macet atau tiba-tiba turun hujan. Tapi saya tetep minta maaf karena nggak enak.

Naik taksi minta dianter ke tempat yang saya juga belum pernah datangi, trus sempat harus muter-muter karena nyari alamatnya, saya berkali-kali minta maaf ke supirnya yang ngedumel. (Dan gara-gara ini pernah saya dimarahin teman yang bilang, "Ngapain sih lo minta maaf! Kita kan bayar!")

Diboncengin abang ojek dari rumah ke kantor (atau sebaliknya). Saya selalu nggak enakan dan sering banget minta maaf ke abangnya. "Maaf ya bang lama banget.", "Maaf ya bang jauh banget". Bahkan kayaknya percakapan kayak gini selalu kejadian deh, setiap naik ojek.

Bikin orang lain nunggu. Saya orangnya nggak sabaran dan nggak suka nunggu, tapi jauh lebih nggak suka kalau telat dan bikin orang lain nunggu. Sepanjang jalan, saya nggak bakalan tenang karena ngerasa nggak enak banget, dan sering sampe sakit perut kram dan maag kambuh gara-gara stres ini. Serius.

Dianterin atau dijemput teman, pacar, siapapun yang saya kenal. Serba salah. UUUH rasanya nggak enak banget. Butuh tapi ngerepotin, ngerepotin tapi butuh. Dilema.

Dll, dll. dll.


Dan sering banget gara-gara rasa nggak enak saya, pada akhirnya saya justru ngerasa kecewa, susah, bahkan sedih sendiri. Karena ternyata orang lain nggak se-peduli itu. Sama saya. Misalnya....

Nungguin orang, trus setelah ditungguin, malah ninggalin duluan. Ini sering terjadi.
Contoh:
"Tugas lo belum selesai? Yaudah gue tungguin, ngumpulinnya besok aja bareng-bareng."
Trus besoknya,
"Gue udah ngumpulin nih, lo juga gih."
.......

Pengen banget sama suatu hal, tapi ada yang pengen juga, akhirnya ngalah. Ini juga sering.
Contoh:
"Tiketnya cuma satu. Gimana nih?"
"Henggg yaudah buat lo aja." (dalam hati berharap ada rasa kesetia kawanan)
"Oh yaudah,"
........

Ituuuuuu, sering banget terjadi. Dan saya pada akhirnya cuma bisa bergerumul sendirian aja dalam hati. Lebih sering lagi saya ngelakuin sesuatu buat orang lain, tapi nggak ada apresiasi apalagi dihargai. Dan nggak kalah seringnya, they take me for granted. Kadang, saya beneran nggak suka, sebel, kesel, sedih, tersinggung, bahkan marah loh. Tapi nggak pernah dianggap serius sama orang. Iya, diajak bercanda dikit emang udah ketawa-ketawa lagi sih, tapi kan nggak berarti tadi marahnya nggak beneran.

Capek. Capek banget, tapi nggak tau gimana caranya buat nggak gitu lagi.


Kayaknya udah 1001 kali saya janji ke diri sendiri, setelah kecewa dan sedih-sedih itu, kalau besok-besok pokoknya saya nggak mau mikirin orang lain! Nggak usah pakai nggak enak-nggak enak. Yang penting saya dulu. Pokoknya prioritasin diri sendiri! Orang lain tuh nggak bakal peduli sama kita, melebihi dirinya sendiri. TITIK.

Tapi...

Tapi...

Tapi....

Ya ujung-ujungnya keulang lagi.

Sebel.


Dan tau nggak apa yang saya pelajari? Udah semakin jarang orang yang bisa menghargai orang lain. Bahkan sesimpel mengucapkan kata "tolong", "maaf", dan "terima kasih" aja langka loh! Beneran. Saya jadi makin sedih. Padahal kan, dengan kata-kata sederhana itu aja, maknanya besar banget buat orang yang menerima.

Saya selalu, berulang kali ngucapin mantra ini: If you do something that you believe it's a good thing, just do it passionately. But don't ever expect others to do, or act, the same as you do. Because their hearts, simply different than yours. So get out while you can and start giving. And if your heart breaks, let it break. Because in the end, it will be okay.

Tapi emang, jadi orang yang ikhlas itu susah sekali.


PS: Kucing saya nggak mau tuh, dikasih makanan yang nggak enak. Boro-boro yang nggak enak, makanan sisa dirinya sendiri aja nolak, maunya yang baru, yang masih fresh, yang lebih enak. Jadi, yang nggak enak ini mestinya dikasih ke siapa dong?


Kayaknya saya tahu deh, kenapa saya galau mulu ngerasa kesepian gitu. Mungkin karena saya orbitnya beda sendiri kali ya, dengan orang-orang yang ada di sekitar saya. Jadi tuh kayak merasa hilang sendirian gitu, mengambang di tengah-tengah ruang yang nggak ber-gravitasi. Seenggaknya kan, kalau ada gravitasi, saya bisa jatuh ke bawah.

Ngobrolin kerjaan sama teman-teman kuliah, saya cuma bisa cengo' dan ngangguk-ngangguk aja ngedengerin mereka yang cerita tentang proyek inilah, perusahaan itulah, Kementerian apalah, dsb, dsb, dsb nya. Bidang ilmu dan pekerjaan yang udah benar-benar saya tinggalkan sejak lulus dari Universitas dan menyandang gelar "Sarjana Teknik", tahun 2014 lalu.

Pun di pekerjaan yang saya lakukan sekarang, saya juga nggak benar-benar mendalaminya terlebih dulu. Jadi suka nggak nyambung juga dan ngerasa kayak ketinggalan kereta.
Setiap hari dicecokin lagu-lagu metal sama Om Refly, bikin saya malah sakit kepala dan ngerasa kalau dengerin lama-lama, bisa-bisa jadi darah tinggi. Sambil mikir, ini yang nyanyi nggak capek ya, teriak-teriak ngegraung-graung gitu.
Diceritain tentang dunia art sama Christ yang anaknya artsy banget, saya juga cuma bisa dengerin aja sambil nanya-nanya terus, di mana sih letak artsy nya, sampai-sampai saya ngerasa kayaknya kalau saya coret-coret ngasal aja, juga bisa dianggap art.
Diajarin desain sama Dandy, saya juga mentok sampai tahap-tahap dasar dan berbekal sama hobi gambar receh saya aja, tanpa bisa benar-benar menghasilkan karya kayak dia yang oke punya.

Kalau lagi ketemuan sama sahabat-sahabat cewek saya, topik yang dibicarain juga seputar itu-itu aja. Dari dulu sampai sekarang, yaudah cinta lagi, cinta lagi. Gimana si ini baru punya pacar lagi setelah kenalan di Tinder, yang ternyata temannya teman-nya yang lain. Gimana si itu udah diajakin serius sama pasangannya, tapi masih bingung dan ngerasa belum siap. Gimana si ono belum bisa move on dari mantannya yang udah bertahun-tahun putus. Gimana si (setelah ini, itu, ono, apa ya? Ya pokoknya gitu lah) cerita gimana asiknya nikah muda, dan nyuruh-nyuruh yang lain ikutan cepat nikah. Dan saya, cuma bisa senyum-senyum ngedengerin semua heboh dan suka dukanya mereka.

Bahkan ya, di keluarga saya sendiri pun, saya juga ngerasa gitu.
Suatu ketika pulang kerja, saya masuk ke kamar Mamah dan mendapati beliau lagi asyik nonton TV sendirian. Saya ikutan nonton di sebelahnya, sambil nanya-nanya tentang sinetron yang jadi favorit Mamah. Nggak sampai 10 menit, saya nyerah. Diceritain dan nonton sendiri pun, saya nggak paham di mana letak seru dan menghiburnya sinetron itu. Saya akhirnya keluar.

Pun sama adik saya, yang gara-gara dia, saya jadi ikutan demam K-Pop.
Saya ngerasa nggak bisa dibilang sebagai anak korea-koreaan banget. Selain suka nonton drama dan punya beberapa aktor favorit aja, pengetahuan saya sebagai fangirl beneran payah banget. Bahkan adik saya sampai sekarang, udah kesel dan nyerah ngasih tau saya nama-nama dan gimana cara ngebedain personil sebuah girl/boyband, yang menurut saya mukanya kalau nggak sama semua, ya tiap foto berubah-berubah.

Apalagi ayah saya, yang kalau nanyain tentang kerjaan saya, bikin kami berdua jadi awkward dan nggak tahu harus ngebahas apa. Suka ada rasa bersalah dan sedikit sesal sama Beliau, karena saya nggak bisa lagi jadi anak yang dibangga-banggain tiap ada acara keluarga kayak dulu. Anak pertamanya yang dulu digadang-gadang jadi penerus insinyur, malah tiba-tiba membangkang dan kerja di media yang Beliau nggak ngerti. Pernah satu hari, Ayah bilang habis baca tulisan saya tentang galau, dan saya malah jadi malu sendiri,

Dan jangan tanya gimana bingungnya saya setiap acara keluarga besar. Sepupu-sepupu saya yang sebaya (maksudnya usianya sama-sama masih 20-an) dan perempuan, semuanya udah menikah kecuali saya, dan satu orang lagi di bawah saya, yang justru saya baru dapat kabarnya sebentar lagi akan dilamar. Semua pembahasannya adalah seputar rumah tangga, ekonomi keluarga, anak, suami, gosip artis, dan ngomongin sepupu lain yang kebetulan lagi nggak hadir.

Gitu.

Semua orang di sekeliling saya rasanya berada dalam orbit mereka masing-masing, dan mengelilingi satu planet. Sementara saya, ngerasa beda orbit sendiri. Bahkan malah kayak nggak punya orbit. Ya nemplok sana, nemplok sini aja gitu. Masih nyari, planet mana yang harus saya kelilingi.

Jadi, di manakah planet saya berada? Sini dooooooooong, biar saya nggak bingung lagi.
Pernah menulis Hilang Dalam Ruang (yang nggak tahu apa maknanya) sekitar empat tahun yang lalu, dan tiba-tiba ingin menulisnya lagi, karena merasa mengalaminya kembali, di waktu-waktu belakangan ini.

Rasanya tuh... Apa ya? Semacam merasa kehilangan suatu hal tapi nggak tahu apa yang harus ditemukan. Semacam merasa tersesat di tengah-tengah jalan bahkan saat nggak tahu harus kemana tujuannya. Semacam.... kesepian, tapi nggak tahu apa sebenarnya yang didamba.

Mungkin seperti itu.

Issssshhh, capek deh. Kebanyakan mikirin hal-hal yang mungkin seharusnya nggak dipikirin. Ngebesar-besarin sesuatu yang aslinya mungkin kecil. Menggerumul sendirian sampai otaknya penuh, trus kesel sendiri nggak tahu apa yang dikeselin.

Sepi. Sepi. Sepi.

Bosan. Bosan. Bosan.

Nggak ada gitu, yang mau diajakin ngitungin jumlah kaki nya ulat kaki seribu, biar dia nggak kena fitnah terus?

Hih.
Newer Posts
Older Posts

Hello, It's Rima!

Hello, It's Rima!
A free-spirited hippy type that often get soaked from dive so deep into her complex thoughts and a lot of big feelings.

Labels

asi vs sufor engagement korean drama life menujurrumah parenthood Rania review film rima's k-drama recap

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Januari (1)
      • Three years later....
  • ►  2020 (3)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2019 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2018 (10)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2017 (5)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  April (2)
  • ►  2016 (35)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2015 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2014 (40)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2013 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2012 (31)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)

Find something

Most Popular

  • Apa Cita-Citamu?
  • Everybody's Changing
  • Lumos
  • Do Something, Make Something
  • We Can't Wait Forever
  • Nozomi, A Hope
  • "Kalau nggak enak, kasih kucing aja"

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates