twitter instagram linkedin
  • HOME

Judul post ini terinspirasi dari sebuah tulisan Edward Suhadi. Saya tahu beliau, seorang fotografer profesional tersebut semenjak bersama-sama terlibat dalam Gerakan Turun Tangan, beberapa tahun yang lalu.

Kata-kata Mas Edward melintas di benak saya, "looking at the distant dream makes you want to give up, but celebrating progress makes you want to continue the fight." That is a powerful stuff. :)


*
Belum lama, saya curhat panjang lebar kali tinggi ke pacar, tentang ketidakpuasan saya tentang pekerjaan dan karier. Tentang hal-hal besar yang ingin saya capai. Tentang permasalahan-permasalahan kehidupan. Yang rasanya begitu njelimet dan memenuhi pikiran saya, yang tanpa mikirin itu pun sebenarnya udah sangat njelimet.

Saya seakan terjebak dalam dua kontradiksi yang sama-sama memberikan saya tuntutan. Pertama, sebagai anak pertama, ada kebahagiaan, kebanggaan, dan harapan orang tua serta adik saya di pundak. Melihat teman-teman saya yang udah mencapai banyak hal dalam karier, mendengar cerita-cerita bangga dari om dan tante saya tentang sepupu-sepupu saya yang udah naik pangkat dan punya anak buah, saya cuma senyum-senyum setiap mendengar pertanyaan mengenai pekerjaan. Pun dengan orang tua saya. Nggak ada yang salah, memang, dengan apa yang saya lakukan. Yang mengherankan bagi mereka adalah, kenapa saya yang udah disekolahin susah-susah untuk jadi seorang insiyur, kok malah sekarang sibuk ngurusin anak-anak SMA dan nulis-nulis artikel tentang jomblo.

Kedua, sebagai orang yang meyakini -atau memenuhi ego diri- prinsip "follow your passion", saya selalu gembar gembor kalau saya memilih pekerjaan dan karier saya, karena saya senang menjalaninya. Ini emang passion gue, mo apa lohhh? Dan saya merasa, melakukan pekerjaan yang saya sama sekali nggak suka dan nggak bikin saya bergairah, setiap harinya, selama saya hidup, adalah sebuah hal yang mengerikan buat saya.

Tapi belakangan, saya jadi sering mempertanyakan hal kedua tersebut. Saya merasa, saya udah menjalani passion saya. Yang seharusnya katanya bisa bikin saya bahagia. Yang membuat kerja nggak serasa bekerja. Yang setiap harinya meluapkan gairah dan semangat untuk berkarya. Lalu?

Ternyata, kok saya masih merasa kurang. Masih merasa ada sesuatu yang hilang yang belum bisa saya temukan. Masih mencari-cari banyak hal yang saya butuhkan. Masih meraba-raba mengenai masa depan.

Idealisme saya, yang selama ini saya pertahankan, bahwa saya akan melakukan hal yang saya senangi dan saya akan menjadi diri saya yang saya mau, rasanya perlahan runtuh, atau seenggaknya goyang. Saya udah mendapatkan kenyamanan dari apa yang saya lakukan. Tapi kenyamanan itu justru membuat saya takut dan merasa nggak ke mana-mana.

Lalu, dari pergulatan-pergulatan itu saya jadi mikir, apa sebaiknya saya kembali ke root dan asal saya, sebagai anak teknik? Apa saya harus cari kerja sebagai insiyur, duduk manis, kerja yang bener, punya karier yang bagus, kayak temen-temen saya? Atau saya harus melakukan sesuatu yang besar sehingga saya merasa berdaya dan gairah-gairah membuncah dalam diri saya ini bisa tersampaikan dan terpetakan dengan semestinya?

Saya putar otak, mikir, ngerasain, nanya orang lain, minta saran ke sana ke sini, saya masih tetep bingung. Sampai akhirnya saya keinget ini, "celebrating progress".

Rasanya, saya terlalu fokus pada hal-hal yang besar banget. Bahwa saya harus begini, saya harus begitu. Saya harus mencapai ini, saya harus mencapai itu, sampai saya lupa dan nggak menyadari sejauh mana sih saya udah melangkah dari titik awal saya berdiri.

Saya jadi melihat orang-orang aja dan lupa untuk mensyukuri diri sendiri. Dan hal itu bikin saya ngerasa nggak ada apa-apanya, ngerasa nggak puas, ngerasa harus mengejar dan melebihi mereka, ngerasa..... gitu deh. Harus ini, itu, tapi pada akhirnya justru looking down sendiri dan nyerah. Kayak semacam, self-pity heroin.

Mmmm, kayak, we are too busy to look at other people's achievements and sometimes we don't realize that we shrug our shoulder, or sighing with a loud voice say, "kayaknya gue nggak bisa deh sesukses dia", "Ya dia kan emang udah kaya dari sananya", "Emang dari dulu pinter banget sih", "Gue banyak yang harus ditanggung", dll, dll, dll.

Nah, terkadang, kita terlalu nge-push diri kita sendiri, sampai kita lupa buat bersyukur. Nggak ada yang salah dengan punya mimpi yang tinggi. Bahkan buat saya, mimpi itu harus tinggi! Iya, karena kita cuma dikasih Tuhan hidup satu kali, masa nggak mau dimanfaatkan dengan semaksimal yang kita bisa?

Tapiiiii, jangan lupa untuk merayakan langkah demi langkah yang udah berhasil kita jalani. Misal, "Goal gue tuh bisa punya gaji perbulan 35 juta! Masa sekarang masih 3,5 juta aja sih?", Bandingkan dengan, "Goal gue bisa punya gaji 35 juta/bulan. Sekarang udah 10 persennya nih, asiiik tinggal 90 persen lagi!". Beda ya? He euh. Ternyata, what matters most is: selalu tentang cara kita mengucapkan ya. 

Pemilihan kata-kata kita itu bisa berdampak banget ke diri kita sendiri, menimbulkan pesimis atau menaruh optimis. Situasinya sama, tapi yang tersampaikan bisa beda jauh, tergantung cara kita melihat, merasa, dan berbicara.

Dan ketika saya memikirkan tentang "celebrating progress" ini, saya jadi semacam diingatkan kembali, sebenarnya selama ini saya melangkahnya tuh ke mana? Tujuan awal saya apa? Arahnya mau ke mana dan rute yang saya pilih lewat jalur apa. Dari situ, saya mulai merunutkan lagi, apakah track saya masih sama seperti di awal, atau saya mau putar kemudi dan ganti arah tujuan nih, Either saya mau tetep jalan sesuai rencana atau ganti yang baru, nggak ada yang salah. Yang salah ketika keasikan tidur dan jadi nggak tau udah sampai mana dan akan ke mana.

Yes, sometimes we have to stop for a moment and look around. This is all we have, this is what we get, what we have to do now, where we have to go next. And that way, it'll make us grateful, instead of groanful. :)


"Fixing your eyes on the goal may discourage and frustrating, but celebrating progress gives you energy, strength, and persistance to carry on. Looking at the distant dream makes you want to give up, but celebrating progress makes you want to continue the fight. So celebrate progress, and before you know it, you may have hit your goal." -Edward Suhadi.



PS: Jadi, Rima udah tau abis ini mau apa? Mmmmhhhh.... Belum. Mau kamu aja gimana?
~~~~ᕕ( ᐛ )ᕗ

It's true that we never know how precious things and times are, until it gone. Another 30 days passed. Not just an ordinary month but Ramadan. A full month of blessings, gifts, and forgiveness.

I wonder how was I undergo the Ramadan this year. Am I really giving the best out of mine? Am I really going throughout it to the fullest? Am I really using this precious time to get closer and closer to God?

I guess not. So here I am, praying and hoping that this won't be my last Ramadan. That there are still plenty, and many more years to come. And to the holy month I love, thank you, thank you, thank you. I've been receiving so many joys and blessings, that I can't get enough but to feel grateful.

To the breath and heartbeats. To the life and living. To the hardships and strength. To the trials and patience. To the lost and willingness to let go. To the experiences and lessons. To the smile and happiness. To every little thing that matters. :)

I believe everything happens for a reason. I've always been a firm believer of that. Life always works itself out. The people we meet, the places we were taken to, the experiences we got to deal with. Sometimes we don't get it, sometimes we feel lost or out of place, sometimes we just don't understand. But then, there just comes a time. A time when we finally realize that everything falls perfectly together, seaming itself into becoming a complete pieces.

Now, we make it to the next new page of a new book. A book of stories, life, journey that still white, pure, and empty. How will we write on it, the path we will take, the choices we will make, determine the end of the result of our new book.

Are you ready?


PS: Eid Mubarak! May the auspicious occasion of Eid bless us with peace and bring joy to our heart and home! :)


Warmest greetings,

Rims.




This will be the most personal -and the longest, hardest writing I've ever write, In my 22 going on 23 years of existence.

\

Menurut lo, bener nggak setiap orang, setiap manusia, pasti punya topengnya masing-masing? Gue adalah orang yang sangat meyakini hal itu. People wear their masks of emotions. Kayak pakaian, kita memilih topeng seperti apa, modelnya kayak gimana, yang mau kita perlihatkan ke orang lain. Dan sama kayak pakaian, nggak ada juga yang mau jalan-jalan dalam keadaan telanjang. Pun, sama kayak pakaian, kita akan berusaha tampil se-menarik mungkin untuk nutupin kekurangan.

Beberapa tahun belakangan, gue mengalami masa-masa dan fase hidup yang menurut gue, sepanjang gue 'ada', adalah yang paling berat. Mungkin terberat setelah dulu ditanya Tuhan mau milih untuk lahir sebagai manusia atau kucing anggora. I've been hit the rock bottoms, jatuh setajuh-jatuhnya, kehilangan segala-galanya, semuanya bener-bener gue alami. Dan ini, bukan lagi ngomongin kisah cinta-cintaan kehilangan pacar trus galau, nggak sama sekali.

Ada part dalam hidup gue itu, yang nggak pernah gue ceritakan ke siapapun. I repeat, ke siapapun. Kecuali gue dan keluarga gue yang mengalami langsung, dan saudara-saudara yang emang tau kondisinya. Tapi untuk menceritakan ke orang lain, bahkan ke orang-orang terdekat, dari mulut gue sendiri, nggak pernah gue lakuin........ sampai satu bulan terakhir ini.

Di masa-masa yang berat banget, gue mengalami sejuta pergolakan batin dan emosi. Kekalutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, ke-putus-asaan, ke-nggak mampuan untuk menerima keadaan, keinginan yang besar banget untuk melarikan diri, semuanya campur aduk jadi satu. Nggak pernah kepikir dan kebayang sama sekali, bahwa gue akan ada di titik tersebut, dan mengalami hal se-'mengerikan' itu. Kayak dunia gue yang tadinya aman, tentram, dan damai kayak air yang ada di dalam baskom, tiba-tiba dibalik gitu aja dan tumpah semua-muanya, sampai habis.


\

Tapi ditengah keterpurukan itu, ternyata ego gue sebagai manusia nggak ikut hilang. Gue nggak mau orang tau dan melihat gue sebagai seorang Rima yang 'hancur'. Apalagi, gue sebelumnya terbiasa untuk memperlihatkan diri sebagai orang yang 'hidupnya-yaudah-gitu-aja-kayak-nggak-ada-masalah-ya-normal-dan-datar'. Gue masih ingin untuk terlihat baik-baik aja.

Kenapa? Karena gue takut. Takut orang lain nggak menerima keadaan gue yang berubah 180 derajat. Takut dengan judgment dan omongan-omongan orang yang buruk tentang gue. Takut kehilangan 'muka'. Takut semuanya nggak lagi sama. Gue malu. Malu untuk menceritakannya. Gue bingung. Bingung harus mulai dari mana. Di satu sisi, gue pengen terlihat baik-baik aja, tapi di sisi lain, gue tau gue terpuruk banget dan butuh bantuan.

Dan pada akhirnya, gue merasa gue nggak bisa sendirian. Gue pengen keluar dari masalah ini dan ngelupain semua-muanya. Gue butuh orang lain untuk bisa menambal hidup gue yang bolong itu. Gue butuh pelarian. Gue pada akhirnya juga, jadi kayak semacam 'craving' and 'seeking' love and affection for validation. Caranya gimana?

Demi punya seseorang yang bisa 'ada' buat gue dan bikin gue seneng, gue jadi kayak rela ngelakuin apa aja untuk keeping that person. Gue semacam..... hmmm bahasanya gimana yah, willing to do anything, willing to be everything, willing to serve and give anything and everything that left in me. Sampai akhirnya, orang yang menjadi pegangan dan sandaran gue itu juga hilang.


\

Ketika kehilangan demi kehilangan, keterpurukan demi keterpurukan itu yang seakan nggak ada ujungnya, I reedem myself. Ketika lo udah nggak punya apa-apa, you have nothing to lose. Itu bener-bener gue rasain. Dan gue mencoba untuk kembali memungut apa yang tersisa.

I made unforgivable mistakes to my own family, that I forever will regret. Nggak ada hal yang bisa gue lakuin untuk menebus dosa gue itu, selain untuk mencurahkan kasih sayang, perhatian, dan segala yang gue punya sekarang untuk mereka. Gue punya banyak hutang dan keinginan yang belum bisa gue wujudin buat mamah, ayah, dan adik gue, dan karena ke-belum mampuan gue, gue berusaha untuk setidaknya, selalu ada buat mereka.

Ketika gue nggak punya apa-apa itu, gue sadar kalau ya yang kesisa sekarang cuma keluarga gue sendiri. And instead of running away from them, leaving them behind, I should stick together with them. Because they're part of myself, and I'm a part of them. We just have our own selves, together. Dan ketika kami justru terpecah belah, apalagi yang bisa tersisa?

Gue belajar untuk menghargai orang lain. Sangat, sangat, sangat. Semenjak gue sadar kalau gue ngebutuhin perhatian dan kasih sayang dari orang lain banget, gue tau kalau manusia memang butuh satu sama lain. Gue tau gimana rasanya ketika lo ngebutuhin uluran tangan, tapi nggak ada yang bersedia menolong lo. Gue tau gimana rasanya ketika lo butuh tempat cerita, tapi nggak ada yang menunjukkan tanda peduli. Gue tau gimana, manusia, kadang ada ketika kita diatas, tapi hilang gitu aja ketika kita lagi dibawah. Gue tau gimana manusia kadang lupa untuk menghargai orang lain. Habis manis sepah dibuang? Cuma dateng pas butuh doang? Gue khatam banget sama hal-hal itu.

Dan semenjak itu gue semacam bilang ke diri gue sendiri, "gue nggak mau ada orang yang ngalamin hal yang sama kayak gue. Gue harus bisa ada buat orang lain, gue harus bisa ngebantu apapun sebisa gue, gue nggak boleh pelit, gue nggak boleh sedikitpun ngelupain kebaikan orang." Karena gue tau gimana nggak enaknya, gimana marahnya, gimana ngerasa sakit hatinya, ketika lo ada di posisi itu.

Kayak sebagian besar manusia yang hilang arah juga, gue kembali nemuin Tuhan. Tuhan pasti sebel banget sama gue, ketika gue ngerasa nggak lagi punya pegangan apa-apa, baru deh gue nangis-nangis sujud-sujud ke Tuhan. Udah gitu pake marah-marah dan menuntut keadilan pula. Padahal giliran gue lagi dikasih seneng, ngucapin rasa syukur aja kadang gue lupa.

To sum it up, gue berusaha untuk menerima keadaan. Gue berusaha untuk berdamai, dan yaudah ngejalanin apa yang ada di depan. Apa yang bisa gue lakuin, apa yang Tuhan izinin, apa yang semesta kasih. Gue merasa, gue *udah* menerima itu semua.


Tapi gue baru sadar sebulan belakangan ini kalau gue belum bener-bener menerima deh. Gue masih menutup itu semua, gue masih merahasiakan keadaan gue, gue malah jadi membatasi diri gue sama orang lain. Tau nggak, salah satu alasan gue untuk memilih nggak berpasangan dulu adalah: karena gue mau sukses. Gue nggak mau pasangan gue ngeliat gue yang hancur. Gue nggak mau terlihat buruk dan rendah. Gue nggak boleh keliatan lemah. Nggak cuma soal pasangan, di pertemanan juga gitu. Gue nggak mau terlalu attached sama orang dan ngebiarin temen-temen gue tau bobroknya gue. Gue harus terlihat selalu seneng dan ketawa.

Tuh kaaaaan, trus apa bedanya dong gue sama yang dulu? Katanya udah nerimaaa?



\

Nah, di sinilah gue kayak ngalamin titik balik lagi. Gue nggak pernah nyangka kalau pertemuan gue dengan orang baru ini, bisa mengubah banyak hal dari diri gue. Orang yang bertahun-tahun deket sama gue aja nggak pernah bisa gue ceritain tentang masalah ini, tapi dia yang baru gue kenal beberapa bulan malah bisa ngurek hal-hal yang selama ini gue pendem sendiri. Wow.... Gue amazed.
Awalnya gue takut, gue malu, gue insecure, gue rendah diri, gue maju-mundur untuk cerita nggak ya, cerita nggak ya. Tapi entah kenapa gue pengen banget cerita. Gue pengen banget dia dengerin dan tau tentang gue. Gue pengen membuka diri gue. Pun kenapa akhirnya gue tiba-tiba nulis post yang sangat panjang ini di sini.

Gue capek terus-terusan pake topeng yang nggak pernah gue lepas selama bertahun-tahun, sampai di dalamnya justru jadi makin rusak dan keropos. Dan untuk ngebuka topeng yang selama ini melekat di atas muka lo itu, ngebutuhin keberanian yang luar biasa. Banyak ketakutan yang berkecamuk. Tapi ternyata, ketika gue ngebukanya, gue kayak bisa bernafas dengan lega lagi.

Ada seorang teman yang pernah ngomong, intinya, selama orang lain nggak ngurusin hidup lo, nggak ngebantuin hidup lo, nggak ngebayarin hidup lo, ya kenapa lo harus pusingin apa kata mereka? Ada orang yang bisa nerima lo, ada yang enggak. Ya trus kalo nggak semua orang bisa nerima lo, apa masalahnya?

Iya juga ya..... This is my life. I know it's messed up. It's full of flaws and dark past. It's totally imperfect. It's far from normal. It's not as great as yours. But, so what? I still want to live, and I have to keep living.


Ternyata, mungkin selama ini gue bukan takut orang lain nggak bisa menerima gue, tapi gue yang belum bisa menerima diri gue sendiri.

Duh, panjang banget kek bikin biografi. Hehehe.


\

So now, then what?
I simply want to start a new beginning. Memulai hubungan yang baik dan jujur dengan orang lain. Membiarkan orang lain melihat diri gue apa adanya, dan membiarkan mereka memilih, untuk menerima atau nggak. Menjadi orang yang lebih menghargai diri sendiri, sebelum gue bisa menghargai orang lain. I was restless and unkind even to myself. I pushed myself too hard, I was set the bars too high, tapi sekarang gue mau melepaskan semua beban itu.

I'm not gonna feel inadequate and undeserving for being the way I am anymore. I won't desperately try to change myself for winning other's heart. I won't seek attention and affection for validation, instead I will give a lots of love I have for my special peoples.

The most important thing is, I learn to accept and to be accepted. I have to accept my past, my flaws, my mistakes, and my every wrong turn I take. Humans are imperfect. It is okay to hit the bottom, to failed many times, to feel down and broken, to get lost in this world. But in the end, we have to live the life to the fullest.


Kalau kata Ha No Ra di drama 20 Again yang inspiring banget itu: "Living my life by other people's standards is meaningless. Being overly cautious and try to impress people doesn't make them like you more. You can't force someone to like you. If they get away, then they get away."



Dan gue percaya, akan ada orang-orang yang tau segimana jeleknya, bobroknya, hancurnya, dan nggak sempurnanya kita, they still love us and want to be with us, in their life.

Semoga. :)





Gue selalu percaya kalau "happiness is contagious". Untuk menjadi bahagia, lo bisa ngedapetinnya dengan menularkannya ke orang lain. Dan ketika orang lain bahagia, lo juga bisa tertular bahagia itu lagi. Dan gue percaya kalau semakin banyak kita membahagiakan orang, semakin banyak juga kebahagiaan yang akan balik lagi ke diri kita.

Tapi ternyata, manusia emang punya "porsi"-nya masing-masing. Se-gimana pun kita nyoba untuk membahagiakan orang, kita emang nggak bisa bikin SEMUA orang bahagia. Sama apa yang kita lakuin. Apa yang menurut kita baik, belum tentu menurut orang lain juga baik. Dan semakin sering atau banyak kita berbuat baik ke orang tersebut, they often take us for granted, instead. Gue nggak tau:
Apakah kebaikan memang benar-benar 'tak ternilai', atau justru 'tak bernilai'.
Priceless, or worthless.
Nggak semua orang seperti itu, ya, tapi bukan berarti orang-orang seperti itu nggak ada.

Seorang teman bilang ke gue, kemarin. "Jangan terlalu mikirin orang. Karena nggak selamanya orang mikirin kita." Dan permasalah gue yang paling utama dari diri gue ini adalah, gue terlalu, sangat amat teramat, mikirin orang lain. I know I really need to stop overthinking and feeling so overwhelmed about what others think and feel about me. Sayangnya, gue belum, atau kata teman gue yang lain, gue nggak akan bisa berhenti ngelakuin itu. Because it simply my disposition.

Dan terkadang, eh sering deh, itu tuh bikin sedih bangeeeeeeet. Seakan-akan gue punya kewajiban untuk selalu melakukan hal yang benar, untuk orang, padahal belum tentu buat diri gue sendiri itu benar. Seakan-akan gue punya kewajiban untuk mementingkan orang lain, padahal nggak jarang orang tersebut juga nggak mementingkan gue, ketika dia punya kepentingan sendiri. Dan ketika satu kali gue gagal atau gue nggak melakukan hal yang biasa gue lakukan, gue dianggap salah. Gue dianggap berubah.

Sometimes I feel so lonely. Selalu berusaha untuk ada bagi orang lain. But I craving the same things toooooooo. Gue juga pengen diperlakukan se-peduli, se-perhatian, se-sayang itu. Tapi kata teman gue lagi (yang bakalan gue ingat terus sampai nanti-nanti), bahwa setiap orang punya cara dan kapasitasnya masing-masing. Dan gue harus menerima itu. Begitu juga gue harus menerima diri gue sendiri, bahwa gue nggak harus kok untuk selalu terlihat baik-baik, menerima, menyenangkan, mengerti, dll, di depan orang. Ada saatnya gue punya prioritas, keinginan, kemauan, dan kemampuan gue sendiri.

Jadiiii, my dear stubborn self, tolong diingat-ingat yah ini (dan bukan cuma diingat, tapi dilakuin!):
"Keep doing good thing, but don't forget that you don't need to do everything."


It's been nearly two years, since I choose to be alone, and not having a -romantic- relationship with anybody. To the point of I clearly love being in love with myself. To be alone. To not committed. To not feel love. And I found peace with that. I feel like I'm on my most comfort zone and got nothing to worry about.

Everyone knows the feeling of being broken. I've been there too. And it hurts, so much, to the core. I experienced mixed emotions, of sorrow, anger, hopeless, and.... traumatic. I know, I am never whole. I am never the same again. And through my healing period, I learned so much. To not giving my heart easily. To not trusting people deeply. And to not falling in love... utterly.

So I built a huge defenses in my self, which set me apart of others. No one can touch it, no one can destroy it. Until... I met this, one particular person.

Isn't it astonishing, and weird, how the universe works? Just when I thought that I better of alone, that I don't need anybody to complete me, that I don't seek for love nor relationship, and right then... I meet someone who make me melt. Someone I never think of, someone who has different world from mine, someone who never on my list, but right when he came to my life, I know everything has changed.

I feel what's coming, but I tried to deny, and even escaped. I'm scared.

But you know what, maybe we just can't run away from love. "When it's right, it just clicks." And.... yes. Our heart know what it wants. There's something in him that I can't resist. There's something in him that always bring me this.... kind of feeling.... oh I can't even described it. But I know you know, right? :)) My years of defense collapsed just like that. Before I recognize it, I'm falling in love with him. And then I realize, that we can never say no, to love. :)


Am I ready for this new relationship? Actually, and honestly.... no. There are so many fears, and doubts, going on in my head. I'm scared to be the one who love more, who give more, who trust more, who care more. I doubt that he loves me the same as I love him, that he will love me for who I am, that he will accept me for all the flaws and past. And one thing I can't afford of, is: to know that one day, he will leave me.

But I decided to jump. To set my heart free, and let my heart do what it wants, and what it needs. Maybe I'll never be the same me, just like the past. Everything in life is already changed. I grew up. I took lessons. I think a lot. I make move gradually. But one thing that I can assure will never change is: how I'm capable of giving all this love, within his chest.

I'll love him as much as I can, as deep as I will, and as fierce as I want. I will give it all, and love him until my heart content.

Just because I love him. :)



“Kenapa ya, kita bisa berubah gara-gara orang lain? Apalagi orang yang deket gitu.”

“Ih iya bangeeeeettt! Gilak ya, gara-gara dia suka sama Zayn Malik, gue sampe dengerin tuh lagunya berulang-ulang kali. Apa yang dia suka, gue harus suka juga. Apa yang menurut dia bagus, gue juga harus ngerasa bagus. Waktu itu gue lagi beli parfum sama dia, trus ada nih parfum yang wanginya gue suka banget, gue tanya ke dia. Dia bilang, dia lebih suka parfum yang satunya lagi. Akhirnya, gue beli parfum yang kata dia suka itu.”

“Hahahahahahahahahaha apaan sih!”

“Iiiih sialan malah ketawa!”

“Hahahahaha... Kayak, mau nge-impress dia gitu ya?”

“Iya! Biar nyambung! Biar nggak kalah sama cewek-cewek hipster lainnya yang ada di deket dia juga.”

“Hahahahahaha. Trus, akhirnya gimana?”

“Akhirnya pas dia ilang, gue ngerasa ikutan ilang juga. Kayak, dia udah jadi separuhnya gue gituuuuu.”

“APAAN SIH LEBAY AMAT HAHAHAHAHA”

“Emang lo enggak, Rim? Lo juga kan? Iya kaaaaaaaan?”

“Hahahahahahahayajugasihahahahaha”


Seringkali kita emang gitu ya. Berusaha mendekatkan diri, dengan mencari kemungkinan-kemungkinan yang sama dengan orang lain. Kalau dirasa susah atau bahkan nggak ada, pada akhirnya kita menciptakan persamaan-persamaannya sendiri. Boleh nggak? Salah nggak? Ya boleh-boleh aja dan nggak ada salahnya sih.

Kan jadi enak juga, kalau bisa tau referensi-referensi yang baru dan bagus. Yang mungkin ternyata akan ngebawa kita sama hal-hal baru yang akan kita sukai juga. Yang bakalan bikin pengetahuan kita makin luas, dan makin banyak kesenangan yang akan didapat. Yang dari situ juga bisa ngebantu lebih mendekatkan kita sama si orang tersebut. Yang mungkin, kayak apa yang temen saya bilang, bisa ngebantu bersaing sama orang-orang lainnya yang udah duluan satu frekuensi sama dia. Hahahahaha.

Yang disayangkan adalah, kalau kita jadi berubah *untuk* dia. Bukan karena kita emang pengen berkembang, tapi justru memaksakan diri. Padahal nggak suka Zayn Malik, tapi terpaksa dengerin dan dihafal-hafalin lagunya biar bisa nyanyi bareng. Padahal lebih suka minyak telon daripada parfum Victoria Secret, tapi maksain beli karena dia bilang suka wanginya. Padahal nggak ngerti art sama sekali kayak Milly, tapi diusahain sekeras-kerasnya nyari tau sampe ngalahin seriusnya belajar waktu SNMPTN.

Dan yang lebih menyedihkan dari berubah *untuk* orang lain, is loving the idea of being with that person, instead of actually falling in love with her/him, and let her/him fall in love with you, too. Maksudnya, sering kali kita tuh nggak mengenali hati kita sendiri. Karena kita tertarik sama orang, atau ada orang yang tertarik sama kita, maka secara sadar atau nggak, kita udah terpatri untuk "Oh, I have to be with her/him."

Dan untuk itu, kita jadi ngelakuin berbagai macam cara, salah satunya adalah berusaha berubah sesuai sama *apa yang kelihatannya* menjadi ideal type nya atau kesukaannya si orang tersebut. We were happy, in disguise, for we used to try to please that person. While unconsciously, we slowly turned into someone else.

Gitu, yang pada akhirnya, saking sibuknya kita berusaha menciptakan persamaan-persamaan itu, kita jadi kehilangan. Kehilangan diri kita sendiri. Makanya, banyak kan yang kalau habis pisah, bukan cuma ngerasa patah hati, tapi lebih dari itu. Kita kehilangan potongan-potongan puzzle yang tadinya udah –dengan sesuainya- menyusun diri kita.


“Padahal mungkin awalnya dia bisa deket sama lo, karena ngeliat lo yang emang..... diri lo sendiri lho. Ngerti nggak?”

“Iya sih Riiiiiiiimmmm.”

“Heeuh, kadang padahal sebenernya kita nggak perlu nge-impress siapa-siapa. Nggak perlu harus sok-sok berubah buat orang. Padahal mungkin lo yang asik sama dunia lo sendiri, lo yang beda dari yang lain, lo yang kayaknya bahagia dan semangat dan punya prinsip tuh yang bikin dia tertarik. Trus pas lo justru berusaha buat jadi sama, ya lo bukan jadi diri lo sendiri lagi.”

“.....”

“Trus pas akhirnya balik sendirian, jadi repot deh buat self discovery lagi. Hahahahaha.”

“IYA! Sampe harus travelling sendirian, sampe harus nyari-nyari kesibukan ini itu, trus akhirnya nemuin ‘diri kita yang sebenernya’ lagi. Ya kan Rim? Kayak lagunya Taylor Swift yang ‘Out of the Woods’ tuh. “She lost him, but she find herself"."

“Heeuh. Tapi Taylor Swift juga berubah tuh. Jadi cewek typical yang dulu dia omongin sendiri di lagu ‘You Belong With Me’. Hahahaha”

"Iya juga ya. Auk ah, pusing gue."



Yaudah, nge-Taylor Swift ajalah :))








Energetic and Enthusiastic


"As they observe, forming new connections and ideas, they won't hold their tongues –they're excited about their findings, and share them with anyone who'll listen. This infectious enthusiasm has the dual benefit of giving them a chance to make more social connections, and of giving them a new source of information and experience, as they fit their new friends' opinions into their existing ideas. All this adaptability and spontaneity comes together to form a person who is approachable, interesting and exciting, with a cooperative and altruistic spirit and friendly, empathetic disposition. They get along with pretty much everyone, and their circles of friends stretch far and wide."


but,


Overthink Things and Get Stressed Easily


"They don't take things at face value – they look for underlying motives in even the simplest things. It's not uncommon for them to lose a bit of sleep asking themselves why someone did what they did, what it might mean, and what to do about it. All this overthinking isn't just for their own benefit – they are very sensitive, and care deeply about others' feelings. A consequence of their popularity is that others often look to them for guidance and help, which takes time, and it's easy to see why they are sometimes get overwhelmed, especially when they can't say yes to every request."

#ENFP




Walaupun hari ini belum Hari Minggu, tapi dari awal minggu ini saya lagi ngalamin dan ngerasain hal-hal yang abstrak. Saya nyebutnya depresi musiman. Hahahaha. Walaupun bukan depresi beneran, tapi depresi random ini emang sering kali datang kalau lagi musimnya. Biasanya sih kalau habis patah hati, tapi nggak tau deh ini kenapa ngerasain lagi. Padahal pacar aja nggak punya :') *lah curhat*. Pokoknya kalau nggak gara-gara patah hati, berarti suntuk sama daily routine yang nggak bikin saya meledak-ledak ngerjainnya, atau... butuh teman bicara. Bukan sekedar ngobrol yang artificial, tapi a deep, intense conversation.

Anyway tiap lagi depresi musiman, saya yang emang pada dasarnya random, bisa menjadi jauh lebih random sampe-sampe depresi sendiri saking nggak ngertinya. This rollercoaster of emotions is so overwhelming, and exhausting. Dan yang lebih bikin bingung adalah, saya nggak ngerti harus ngapain.

Misalnya, dulu, saya pernah jalan kaki dari asrama ngelilingin kampus malam-malam, sambil dengerin lagu dari earphone. Pernah juga impulsif berangkat sendirian dari Dramaga ke kota, cuma buat makan di angkringan sendirian. Pernah langsung nyari kesibukan absurd sampe ikutan timses politik, dan masiiiih banyak lagi,

Dan beberapa hari belakangan saya lagi membutuhkan itu. Udah capek ngobrol dan ketawa sama temen-temen kantor, udah ngulik-ngulik Anime, udah saking apa yah gemesnya saya nggak ngerti mau apa dan gimana, beberapa saat setelah nyampe kantor, saya tiba-tiba aja jalan ke Blok M. Trus memutuskan untuk nonton bioksop, jam 11 pagi. Sendiri. Iya, begitulah. Hahahaha.

Habis nonton, malah makin pusing. Malah makin 'penuh', pikiran dan hatinya. Tapi setelah itu, saya langsung mendapatkan re-charge energy sebanyak tiga kali.


---


Pertama, waktu makan di Sate Apjay bareng Koh Johan, MD baru di kantor. Jadi ceritanya, sehabis nonton saya laper. Dan pas lagi makan, tiba-tiba ada Koh Johan yang juga mau makan di situ, dan akhirnya duduk bareng sambil ngobrol-ngobrol.

Selama beberapa jam kami ngobrol banyak banget, dari ngomongin Donald Trump, presiden barunya Filipina, orang indigo yang punya kemampuan khusus, seleb homo, sampe ngomongin masalah sosial. Saya lupa lagi ngebahas apa, tapi saya kepikiran perkataan teman yang bilang, "Berbuat baik kan nggak ada ruginya," dan saya sampaikan itu ke Koh Johan. Kemudian dia bilang, "Gini Rim, gue mau ceritain suatu kasus yang nyata terjadi...."

"Ini kisah nyata lho ya. Ada satu cewek muda, yang emang baik sekali. Ramah sama semua orang. Nggak mandang apapun. Di lingkungan rumahnya, semua yang ketemu dia pasti disapa dan diajak ngobrol. Begitu juga ke seorang tetangganya, cowok. Cowok ini ekonominya beda sama si cewek, si cewek lebih beruntung, tapi dia nggak memperlakukannya dengan beda. Karena sikap baiknya itu, ternyata si cowok beranggapan beda. Dia kira, cewek itu punya perasaan sama dia. Akhirnya ditembaklah si cewek. Nah, ceweknya kaget dong. Lha orang dia cuma berusaha bersikap baik aja."

"Trus, trus, gimana Koh?"

"Lo tau akhirnya gimana? Si cewek meninggal. Dibunuh sama cowok itu, setelah dia ditolak dan merasa sakit hati."

"HAH??? Eerrrr,,,,,,," Trus saya diam bentar karena shock. KOK BISA GITU SIH!

"Itulah Rim, kenapa gue bilang gini lho, lo berbuat baik it's okay. Memang udah kewajiban kita. Tapi lo juga harus bisa mikirin, gimana kalau lo ada di posisi orang lain, orang yang nerima itu. Karena lo nggak bisa ngarepin orang semua sama. Apalagi jaman sekarang."

Lalu pembicaraan kami berlanjut dengan membahas topik-topik lainnya. Dan meninggalkan sepotong percakapan ini membekas di pikiran saya.


---


Kedua, besoknya, setelah pulang kerja, saya menunggu seorang teman yang juga katanya pengin cerita. Saking "mendesak"nya, dia rela datang dari Gondangdia ke Panglima Polim. Hahahaha. Yah, topik yang dibicarain masih seputar asmara. Tapi dari ngomongin soal cowok, saya dan dia yang tipe nya mirip ini jadi ngebahas banyak hal.

"Gue pengen deh, terkadang ada di posisi orang yang nggak peduliin perasaan orang lain. Yang nggak terlalu mikirin orang lain, Segalak-galaknya orang ngeliat gue, secuek-cueknya gue sama orang, sebenernya gue nggak enakan gitu. Trus kepikiran teruuuus!" kata dia.

Saya cuma bisa senyum dan jawab, "Capek ya, punya pikiran yang nggak pernah berenti mikir. Tapi mikirinnya hal-hal yang seharusnya nggak usah dipikirin."

"Iya! Gue pernah mikir, gimana caranya gue berenti mikir, tapi pada akhirnya gue mikir juga."

"Hahahaha."

Dari yang tadinya rencana cuma sebentar sambil makan Mie Kari, nggak terasa sampai berjam-jam lamanya. Dari ketawa, bengong, ngangguk-ngangguk, sampe tiba-tiba obrolannya makin serius dan mulailah mengalir cerita-cerita yang tadinya cuma bisa dipendem di dalam hati masing-masing aja. Lalu temen saya itu nangis, saya jadi ikutan nangis. Trus nangis berdua, di tempat Mie Kari, dan diiringin sama musik jedag-jedug dan diliatin abang-abangnya. Hahahahahaahaha. Setelahnya, kami jadi awkward dan malu sendiri. Tapi saya tau, pembicaraan ini meng-upgrade pertemanan saya sama dia.


---


Dan ketiga, sesampainya di rumah, saya melanjutkan perbincangan dengan teman lain mengenai MBTI. MBTI ini teori psikologi tentang penggolongan sifat dan kepribadian manusia, dan lagi menarik banget buat saya. Dari ngomongin MBTI, sampe ngomongin tentang postingan saya yang saya tulis setelah nonton AADC 2.

Dia: "Tulisan lo semacem nyadarin kalau gw perlu ngeliat diri gw dari jarak yang lebih jauh sedikit, untuk memastikan apakah gw berkutat dengan sesuatu yang tepat."

Saya: "Jarak tuh emang perlu sih. Yang penting jangan cuma diamatin, tapi juga dirasain. Lo ngerasain, atau masih berusaha nginget-nginget rasa yang pernah lo rasain?"

Dia: "Sepasif-pasifnya, menunggu tetep kata kerja yah. Butuh daya, ngabisin tenaga."

Obrolan yang ngawang banget, dan sebenernya kami berdua nggak secara gamblang mengutarakan apa yang lagi diomongin. Hahahahaha. Topik cinta, nunggu, zodiak, MBTI masing-masing, lalu berlanjut ke CEO-CEO muda yang inspiratif mengalir deras dan menutup malam saya. Dengan senyum dan rasa bahagia.


---


Tiga percakapan, dengan tiga orang berbeda yang sedikit-banyak 'menyelamatkan' depresi musiman saya. Lega luar biasa! Kenapa? Karena dari obrolan-obrolan itu, banyak pelajaran dan pengalaman yang saya dapet. Banyak nilai-nilai yang akhirnya bisa saya lempar ke otak buat diolah jadi pemikiran-pemikiran sotoy, yang biasanya akan saya gunain kalau lagi sok ngasih saran dan nasehatin orang, atau saya tulis di sini, dan pastinya juga saya telan sendiri biar kenyang juga. Otak saya itu kemaren ibarat lambung yang harus terus ngolah makanan, tapi nggak ada asupan. Akhirnya cuma bisa ngolah gas yang bikin sakit maag.

Sebagai seorang ENFP (yang lagi getol-getolnya baca-bacain artikel tentang ENFP demi mendapatkan pencerahan pembenaran atas ke-campur-adukan dan keribetan pikiran dan perasaan saya), ketika saya nggak bisa menyalurkan gairah dan excitement saya terhadap sebuah medium, maka yang akan saya rasakan adalah langsung kebalikan dari rasa excited itu sendiri, yaitu depression.

Saya susah banget fokus sama rutinitas. Duduk berjam-jam di ruang kerja, dari pagi sampai sore, kemudian besoknya ngelakuin hal yang sama, besoknya gitu lagi, itu bikin.... apa ya, kayak ada yang menggeliat di dalam diri saya minta dilepasin. Nggak tahaaan! Hahahaha. Jelek banget sih, karena kan ya namanya juga hidup ya harus gitu. Ada yang pernah bilang, "life is not only about having fun." Iya, ngerti banget.

Tapi saya tipe orang yang kalau ngerjain sesuatu nggak bisa lama. Nggak bisa dicicil-cicil atau dikerjain secara terus menerus. Jadi, either saya akan kebut di awal, atau saya akan tunda di akhir. Di sela-selanya, saya butuh asupan energi. And I absorb energy from people. Their stories, opinions, emotions, moods, and values. Saya ngebutuhin itu. Makanya, kenapa saya nggak bisa yang sendirian aja gitu, tenang, nggak ribet-ribet, nggak aneh-aneh. Ada kalanya saya akan menyendiri, dan waktu-waktu tersebut sangat sering terjadi kok. But in order to prevent myself from dive so deep into this complex thoughts and a lot of big feelings, I need to laugh about random and unimportant things, I need to hear stories and give mine, I need to have a deep talk, with people.

"ENFPs are passion-driven 'ideas' people. They gain energy from interacting with the world around them, and become quickly excited over new possibilities. Though ENFPs loves being around people, they crave alone time much more than the average extrovert. ENFPs search for a deeper meaning in just about everything, and use their much-coveted alone time to decide how their experiences fit in with their system of core values. To be frank, it's an exhausting personality to have." -Heidi Priebe.


Begitulah, Ribet dan nyusahin banget ya? Hehehehe, saya juga bingung. :p




Saya bukan mau nge-review film Ada Apa Dengan Cinta 2 yang bikin heboh Indonesyah dan bikin baper satu negara, nggak. Ya tapi ada kaitannya sih dikit. Jadi, tulisan ini terpikirkan setelah nonton filmnya, dan merasa....... kecewa. Iyah. Hahahahaha. Sebenernya bukan kecewa Cinta dan Rangga balikan lagi, hellooooohhhh ngeliat mereka berdua akhirnya bareng-bareng setelah sekian purnama tuh udah jadi salah satu life goals kalik. Hahahahahagadeng lebay, intunya gitulah. Yang saya kecewa adalah, caranya. Saya berharap Cinta dan Rangga bisa menemukan hati mereka lagi dengan cara yang lebih.... apa yah bahasanya henggg.... nggak murahan, mungkin?

Menurut saya, yang jahat di film ini bukan cuma Rangga yang mutusin Cinta tanpa alasan yang jelas trus ngilang gitu aja selama sembilan tahun. Tapi mereka berdua. Jahat, jahat banget. Sama Trian. UUUHH. Sampai filmnya habis, yang saya pikirin adalah gimana perasaannya Trian setelah pengakuan Cinta (yang udah tahu salah tapi masih tetep aja ngotot. LEO BANGET SIH. KZL. hahahaha).

Cerita AADC 2 mirip-mirip sama satu drama korea yang pernah saya tonton juga, judulnya Discovery of Love. Gitu deh, sama ngeselinnya. Jadi si cewek ini udah bahagia ngejalin hubungan sama seorang cowok A yang baik banget, udah tunangan juga. Nggak ada masalah apa-apa di antara mereka berdua, sampai akhirnya tiba-tiba cowok B, mantan pacar si cewek yang selama bertahun-tahun ngilang, eh ketemu lagi. Lalu konflik batin terjadi antara mereka berdua. Unfinished business, yang berarah kepada unfinished feelings ternyata. Sampai akhirnya, si cewek memutuskan hubungannya dengan cowok A, dan akhirnya kembali ke cowok B.

Walaupun saya juga adalah fans berat pasangan Cinta-Rangga dan suka banget sama pasangan cewek dan si mantan di Discovery of Love, tapi hati saya tetep retak untuk Trian dan si cowok A itu. Dan saya bertanya-tanya dalam hati, segitu benar kah istilah "memories are scarier than love" itu? Dan apakah itu berarti, cinta nya Cinta untuk Trian dan cintanya si cewek untuk pacar A nya, sebenarnya bukan benar-benar cinta, sedari awalnya? Pelarian kah? Pengisi kekosongan kah? Tapi mereka bahagia, bukan, sebelum si masa lalu ini dateng lagi?

Banyak yang bilang, lha itu loooh yang namanya cinta sejati! Nggak ada yang bisa memaksakan hati. Dan nggak ada juga yang bisa menyalahkan hati yang pergi. Justru sebenernya nggak pergi, tapi kembali. Kembali ke orang yang tepat, yang udah seharusnya memiliki.

TRUS GIMANA DONG SAMA JANJI DAN KOMITMENNYA CINTA SAMA PASANGAN YANG SEKARANG? Katanya, cinta adalah komitmen? Hmm... Hmm.. Hmm.. Mungkiiin, all promises made on the basis of love, are true. Tapiii kalo kata Discovery of Love ginih: "...but there’s no one who will fulfill that eternal promise after that love has ended. A promise only lasts as long as the love does.” Dan ketika mereka memilih kembali sama masa lalu mereka itu, ya cinta yang ke pasangan sekarang, udah mati.

TAPI, TAPI, TAPI... Berarti semua orang bisa balik ke mantan-mantan legendarisnya dong? Jadi, kenangan lebih kuat dari masa sekarang? Iyah? IYAH?! *kata orang-orang berpacar yang langsung insecure* hahahah. Hengg, nggak juga kok.

Bahkan hampir setiap saya nonton drama korea ya (dan itu buanyak banget!), pasti default ceritanya nggak jauh-jauh dari gini: ada cowok perfect, punya mantan yang perfect juga, trus ditinggalin sama si mantan, trus ketemu cewek baru yang biasa banget, trus saling suka, trus mantannya yang dulu dateng lagi, trus galau, tapi ujungnya, akhirnya si cowok milih cewek yang sekarang.

Why? Karena buat beberapa orang, se-nggak terlupakan apapun dan kayak gimana pun masa lalu mereka, pada akhirnya, they moved on, eventually. Their life, and their hearts. They've grew apart. Udah terlalu banyak hal yang berubah, dan hati mereka juga udah berubah. Kenangan, cuma akan bisa dikenang aja, tapi nggak untuk diulang. Their hearts will shaking for a while, the memories will taking over, tapi setelahnya mereka sadar, they don't live in the past anymore.

Jadi.... intinya apa?

Intinya.....





NGGAK TAU. HAHAHAHAHAHA.

Makanya judulnya teh juga udah gitu, ada apa dengan cinta.



What is love, actually?

Newer Posts
Older Posts

Hello, It's Rima!

Hello, It's Rima!
A free-spirited hippy type that often get soaked from dive so deep into her complex thoughts and a lot of big feelings.

Labels

asi vs sufor engagement korean drama life menujurrumah parenthood Rania review film rima's k-drama recap

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Januari (1)
      • Three years later....
  • ►  2020 (3)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2019 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2018 (10)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2017 (5)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  April (2)
  • ►  2016 (35)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2015 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2014 (40)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2013 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2012 (31)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)

Find something

Most Popular

  • Apa Cita-Citamu?
  • Everybody's Changing
  • Lumos
  • Do Something, Make Something
  • We Can't Wait Forever
  • Nozomi, A Hope
  • "Kalau nggak enak, kasih kucing aja"

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates