Pertama kali gue nemuin pemikiran tentang Peran ini adalah
dari dua orang. Pertama, Mas Anies Baswedan. Kedua, Mas Rene Suhardono.
Beberapa tahun yang lalu, gue pernah bersinggungan langsung dengan Mas Anies
ketika bergabung bersama Turun Tangan. Ketika itu, kami -para relawannya-
bersama-sama dengan Beliau mempersiapkan pencalonannya menjadi Capres dalam
Konvensi Partai Demokrat. Dan pada masa-masa itu, pertemuan dengan Mas Anies
nggak cuma melulu ngobrolin soal politik aja, tapi juga banyak gagasan-gagasan
dan pemikiran-pemikiran (which is the reason kenapa gue respek banget sama
Beliau).
Sebelum akhirnya menjabat jadi Mendikbud, banyak banget yang
menentang Mas Anies untuk terjun ke politik. Namanya bersih, cukup cemerlang
sebagai rektor termuda di Indonesia, masuk jadi salah satu cendekiawan
berpengaruh di dunia, sekaligus inisiator banyak banget gerakan-gerakan
pendidikan. "Buat apasih Pak Anies masuk politik? Politik itu kotor!
Kenapa nggak tetep jadi rektor aja dan kalopun mau ngebenahin pendidikan
Indonesia, kan bisa dari luar pemerintahan. Kayak yang selama ini udah
dilakuin."
Waktu itu, Mas Anies ngejawab intinya bahwa dengan peran
yang lebih besar, akan ada lebih banyak hal yang bisa dilakukan. Perannya
mungkin akan berubah, dari rektor ke panggung politik. Tapi Beliau tetep punya
misi, punya genre yang sama yang akan terus diusung, yaitu: membenahi
pendidikan.
Kedua, satu tahun yang lalu gue pernah mewawancara Rene
Suhardono secara langsung. Mas Rene dikenal sebagai penulis buku, public
speaker, sampe founder beberapa organisasi social empowerment. Gue nanya,
"Mas Rene sebenernya profesinya tuh apasih?" dan jawaban dia adalah:
"Profesi buat saya tuh kayak peran. Jadi kalo ditanya profesi saya sebagai
apa, sama kayak nanya ke Brad Pitt, 'peran lo sebagai apa?' Dia akan jawab,
'tergantung filmnya'. Tapi yang esensial itu karir. Karir tuh segala sesuatu
yang kita jalanin untuk mencapai misi kita. Nah peran atau profesi apapun akan
saya jalani untuk mencapai misi."
Peran.
Gue jadi inget lagunya Nicky Astria juga, "Dunia ini
panggung sandiwara. Cerita yang mudah berubah. Kisah Mahabarata atau tragedi
dari Yunani. Setiap kita dapat satu peranan. Yang harus kita mainkan."
Sebelumnya gue nggak pernah merhatiin kalo ternyata liriknya
se-uuuhh itu ya.
He-euh. Dalam hidup, kayaknya kita akan selalu ganti-ganti
peran deh. Di rumah, kita berperan sebagai anak. Di sekolah, kita berperan
sebagai murid. Di kantor, kita berperan sebagai pegawai. Tapi peran kita nggak
cuma stagnan gitu aja, ada kalanya, dan ada waktunya, kita pasti harus ganti
peran.
Di rumah, kita nantinya ganti peran jadi istri/suami, bahkan
ibu/bapak, bahkan nenek/kakek. Di sekolah, kita mungkin bisa berganti peran
jadi guru. Di kantor, mungkin kita akan berperan sebagai bos. Di lingkungan
pertemanan yang beda, kita mungkin juga bisa punya beberapa peran yang beda. Di
geng A, kita jadi si temen yang suka ngatur-ngatur. Di geng B, kita jadi
pendengar dan tempat curhat yang baik. Di geng C, kita jadi si tukang lawak.
Dll. Dsb. Etc.
Suka nggak suka, mau nggak mau, se-idealis-idealisnya kita,
kita pasti harus berubah kok. Beradaptasi. Demi bisa bertahan. Udah nature dan
fitrahnya makhluk hidup nggak sih, untuk selalu beradaptasi dengan lingkungan
buat survive? Dari dulu sih gue selalu diajarin gitu, di pelajaran Biologi.
Bukan yang paling kuat yang bertahan, tapi yang paling adaptable.
Seringkali, kita susah atau bahkan menolak buat berubah dan
menyesuaikan diri demi beradaptasi. Gue ya gue, gue gini orangnya. Iya. Kita punya
prinsip, karena kita butuh pengakuan dan pembuktian eksistensi diri, nggak kayak
ikan mati yang ngapung-ngapung gitu aja kebawa aliran air. Kalo airnya ngalir
dari sungai ke laut, ya dia ikut. Kalo airnya ngalir dari sungai ke got, ya
ngikut juga. Kita ngerasa kita harus punya identitas, yang diikuti dengan
sikap. Contohnya, kayak anak-anak Punk yang pokoknya harus punya banyak baju
warna item dan nggak usah mandi walopun badan gatel-gatel dan jangan lupa pake
pomade sebelum pergi. Ke manapun. Eh tapi gue belum pernah liat sih anak Punk
yang setelannya Punk di kondangan atau acara tahlilan. Entah mereka mau
beradaptasi buat ganti gaya sejenak buat dateng ke acara kayak gitu, atau nggak
mau dan nggak pernah dateng ke acara gituan.
Tapi menurut gue, beradaptasi itu beda kok dengan nggak
punya identitas. Nggak berarti dengan kita berganti-ganti peran, kita jadi fake
dan nggak berjati diri. Bahkan menurut gue, ketika kita bisa fleksibel dalam
beradaptasi, akan banyak ngasih diri kita sendiri keuntungan dan manfaat yang
baik. Tapi emang, semua balik lagi ke masing-masing orang. Nggak ada yang salah
dengan lo pengen menjalani satu peran yang ituuuu aja, yang emang udah jadi
comfort zone lo.
Selanjutnya, peran kita kalo berada dalam sebuah hubungan,
atau bersangkutan dengan orang lain. Di sinilah kita akan kenal sama yang
namanya berkompromi. Bukan terpaksa, dipaksa, atau memaksakan. Tapi: menyesuaikan peran.
Ada kalanya lo yang nggak biasa banyak ngomong tapi mencoba
untuk bercerita, ngeluarin isi hati dan pikiran lo ke pasangan yang doyan
banget ngobrol. Ada kalanya lo yang nggak biasa ngatur ini itu tapi berusaha
buat jadi leader untuk beberapa hal karena pasangan lo tipe yang hayuk-hayuk
cicing. Ada kalanya lo yang nggak suka makanan pedes tapi rela nemenin pasangan
lo yang kalo makan cabenya harus lima belas sendok. Ada kalanya lo yang nggak
biasa beres-beres di rumah tapi pas udah berumah tangga dan dapet pasangan yang
super resik jadi memulai untuk beres-beres juga. Semua itu termasuk adaptasi
dan menyesuaikan diri serta peran kan?
Dan peran inilah yang harus dibagi, dan dikompromikan dengan
baik. Gue sampe sekarang masih nyaru dengan konsep 'kesetaraan'. Oh jelas, gue
mendukung konsep-konsep kalo cewek juga punya hak-hak dan kewajiban yang sama
kayak cowok, bisa jadi leader, dan nggak boleh ada di kaki cowok. Tapi buat
gue, nggak semuanya harus setara. Buat gue lagi, nggak ada salahnya dalam
beberapa hal, kita mengambil peran yang besar, dan dalam beberapa hal lainnya,
kita melakukan peran yang kecil, sesuai sama kemampuan kita. Jujur aja, kalo
misalnya dengan kesetaraan gender, perempuan bisa (atau harus bisa) jadi
pemimpin dalam rumah tangga, gue nggak yakin gue bisa ngejalanin peran itu. Gue
lebih memilih menyerahkan peran sebagai pemimpin hubungan ke pasangan gue, dan
mengambil peran memimpin dalam hal lainnya. Misalnya, memimpin urusan rumah, mimpin
ngatur pengeluaran, mimpin urusan anak, mimpin urusan seneng-seneng hahahaha, dll,
dll, dll.
Yang jelas, semua peran-peran itu emang harus dikompromiin. Dan kedua
belah pihak sama-sama setuju dan mau berkompromi. Nggak boleh ada yang diem-diem
kesel jadi pemimpin. Diem-diem nggak suka diatur-atur. Tapi dipendem aja dengan
alasan 'sabar'. Menurut gue itu bukan sabar sih, tapi bom waktu. Ketika
waktunya habis, sabar itulah yang akhirnya habis dan meledak. Tapi lain halnya
kalo lo 'belum' terbiasa, lalu membiasakan diri. Namanya adaptasi. Menyesuaikan
peran. Dan itu emang perlu latihan kok. Aktor-aktor ngelakuin itu kan, untuk
bisa menyatu dengan peran yang mereka jalani dalam setiap filmnya.
Kenapa akhirnya kita gagal dalam sebuah hubungan? Ketika
kadar kompromi kita udah ngelewatin titik kritis. Suhunya (baca: tingkat
kesabaran) udah overly high, dan tekanan udah nggak mampu dilakuin lagi. And
that's when you called 'you've pushed yourself too hard that you can't do it
anymore'. Dan boommm, kita meledak deh. Akhirnya kita nyerah. Sama kayak aktor
juga. Mau se-berusaha kerasnya apapun dia mendalami sebuah peran, kalo emang
kayaknya nggak cocok, akan kerasa pasti... "hengggg, I can't do
this".
Maka itu, punya pasangan yang compatible emang perlu. Ada
yang udah by nature, kita ketemu pasangan yang langsung klik dan udah tau
perannya masing-masing dengan smooth. Ada yang dengan si dia, kita mampu untuk
jadi compatible dan nggak overlap satu sama lain walaupun sebenernya kita beda.
Either way, ujung-ujungnya by the grace of God sih ya yang bisa mempertemukan
kita sama orang yang kayak gitu. Hahahaha. Dan ketika kita masih belum nemuin orang yang 'ituuuhhh', kita akan terus berganti peran tiap ganti pasangan.
Panjang abis udah kayak nulis skripsi. Duh jadi kangen peran
mahasiswi. Hahah. Dah ah.
Salam sayang,
Rims.