Peran

by - Agustus 09, 2016


Pertama kali gue nemuin pemikiran tentang Peran ini adalah dari dua orang. Pertama, Mas Anies Baswedan. Kedua, Mas Rene Suhardono. Beberapa tahun yang lalu, gue pernah bersinggungan langsung dengan Mas Anies ketika bergabung bersama Turun Tangan. Ketika itu, kami -para relawannya- bersama-sama dengan Beliau mempersiapkan pencalonannya menjadi Capres dalam Konvensi Partai Demokrat. Dan pada masa-masa itu, pertemuan dengan Mas Anies nggak cuma melulu ngobrolin soal politik aja, tapi juga banyak gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran (which is the reason kenapa gue respek banget sama Beliau).

Sebelum akhirnya menjabat jadi Mendikbud, banyak banget yang menentang Mas Anies untuk terjun ke politik. Namanya bersih, cukup cemerlang sebagai rektor termuda di Indonesia, masuk jadi salah satu cendekiawan berpengaruh di dunia, sekaligus inisiator banyak banget gerakan-gerakan pendidikan. "Buat apasih Pak Anies masuk politik? Politik itu kotor! Kenapa nggak tetep jadi rektor aja dan kalopun mau ngebenahin pendidikan Indonesia, kan bisa dari luar pemerintahan. Kayak yang selama ini udah dilakuin."

Waktu itu, Mas Anies ngejawab intinya bahwa dengan peran yang lebih besar, akan ada lebih banyak hal yang bisa dilakukan. Perannya mungkin akan berubah, dari rektor ke panggung politik. Tapi Beliau tetep punya misi, punya genre yang sama yang akan terus diusung, yaitu: membenahi pendidikan.

Kedua, satu tahun yang lalu gue pernah mewawancara Rene Suhardono secara langsung. Mas Rene dikenal sebagai penulis buku, public speaker, sampe founder beberapa organisasi social empowerment. Gue nanya, "Mas Rene sebenernya profesinya tuh apasih?" dan jawaban dia adalah: "Profesi buat saya tuh kayak peran. Jadi kalo ditanya profesi saya sebagai apa, sama kayak nanya ke Brad Pitt, 'peran lo sebagai apa?' Dia akan jawab, 'tergantung filmnya'. Tapi yang esensial itu karir. Karir tuh segala sesuatu yang kita jalanin untuk mencapai misi kita. Nah peran atau profesi apapun akan saya jalani untuk mencapai misi."

Peran.

Gue jadi inget lagunya Nicky Astria juga, "Dunia ini panggung sandiwara. Cerita yang mudah berubah. Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani. Setiap kita dapat satu peranan. Yang harus kita mainkan."

Sebelumnya gue nggak pernah merhatiin kalo ternyata liriknya se-uuuhh itu ya.

He-euh. Dalam hidup, kayaknya kita akan selalu ganti-ganti peran deh. Di rumah, kita berperan sebagai anak. Di sekolah, kita berperan sebagai murid. Di kantor, kita berperan sebagai pegawai. Tapi peran kita nggak cuma stagnan gitu aja, ada kalanya, dan ada waktunya, kita pasti harus ganti peran.

Di rumah, kita nantinya ganti peran jadi istri/suami, bahkan ibu/bapak, bahkan nenek/kakek. Di sekolah, kita mungkin bisa berganti peran jadi guru. Di kantor, mungkin kita akan berperan sebagai bos. Di lingkungan pertemanan yang beda, kita mungkin juga bisa punya beberapa peran yang beda. Di geng A, kita jadi si temen yang suka ngatur-ngatur. Di geng B, kita jadi pendengar dan tempat curhat yang baik. Di geng C, kita jadi si tukang lawak. Dll. Dsb. Etc.

Suka nggak suka, mau nggak mau, se-idealis-idealisnya kita, kita pasti harus berubah kok. Beradaptasi. Demi bisa bertahan. Udah nature dan fitrahnya makhluk hidup nggak sih, untuk selalu beradaptasi dengan lingkungan buat survive? Dari dulu sih gue selalu diajarin gitu, di pelajaran Biologi. Bukan yang paling kuat yang bertahan, tapi yang paling adaptable.

Seringkali, kita susah atau bahkan menolak buat berubah dan menyesuaikan diri demi beradaptasi. Gue ya gue, gue gini orangnya. Iya. Kita punya prinsip, karena kita butuh pengakuan dan pembuktian eksistensi diri, nggak kayak ikan mati yang ngapung-ngapung gitu aja kebawa aliran air. Kalo airnya ngalir dari sungai ke laut, ya dia ikut. Kalo airnya ngalir dari sungai ke got, ya ngikut juga. Kita ngerasa kita harus punya identitas, yang diikuti dengan sikap. Contohnya, kayak anak-anak Punk yang pokoknya harus punya banyak baju warna item dan nggak usah mandi walopun badan gatel-gatel dan jangan lupa pake pomade sebelum pergi. Ke manapun. Eh tapi gue belum pernah liat sih anak Punk yang setelannya Punk di kondangan atau acara tahlilan. Entah mereka mau beradaptasi buat ganti gaya sejenak buat dateng ke acara kayak gitu, atau nggak mau dan nggak pernah dateng ke acara gituan.

Tapi menurut gue, beradaptasi itu beda kok dengan nggak punya identitas. Nggak berarti dengan kita berganti-ganti peran, kita jadi fake dan nggak berjati diri. Bahkan menurut gue, ketika kita bisa fleksibel dalam beradaptasi, akan banyak ngasih diri kita sendiri keuntungan dan manfaat yang baik. Tapi emang, semua balik lagi ke masing-masing orang. Nggak ada yang salah dengan lo pengen menjalani satu peran yang ituuuu aja, yang emang udah jadi comfort zone lo.

Selanjutnya, peran kita kalo berada dalam sebuah hubungan, atau bersangkutan dengan orang lain. Di sinilah kita akan kenal sama yang namanya berkompromi. Bukan terpaksa, dipaksa, atau memaksakan. Tapi: menyesuaikan peran

Ada kalanya lo yang nggak biasa banyak ngomong tapi mencoba untuk bercerita, ngeluarin isi hati dan pikiran lo ke pasangan yang doyan banget ngobrol. Ada kalanya lo yang nggak biasa ngatur ini itu tapi berusaha buat jadi leader untuk beberapa hal karena pasangan lo tipe yang hayuk-hayuk cicing. Ada kalanya lo yang nggak suka makanan pedes tapi rela nemenin pasangan lo yang kalo makan cabenya harus lima belas sendok. Ada kalanya lo yang nggak biasa beres-beres di rumah tapi pas udah berumah tangga dan dapet pasangan yang super resik jadi memulai untuk beres-beres juga. Semua itu termasuk adaptasi dan menyesuaikan diri serta peran kan?

Dan peran inilah yang harus dibagi, dan dikompromikan dengan baik. Gue sampe sekarang masih nyaru dengan konsep 'kesetaraan'. Oh jelas, gue mendukung konsep-konsep kalo cewek juga punya hak-hak dan kewajiban yang sama kayak cowok, bisa jadi leader, dan nggak boleh ada di kaki cowok. Tapi buat gue, nggak semuanya harus setara. Buat gue lagi, nggak ada salahnya dalam beberapa hal, kita mengambil peran yang besar, dan dalam beberapa hal lainnya, kita melakukan peran yang kecil, sesuai sama kemampuan kita. Jujur aja, kalo misalnya dengan kesetaraan gender, perempuan bisa (atau harus bisa) jadi pemimpin dalam rumah tangga, gue nggak yakin gue bisa ngejalanin peran itu. Gue lebih memilih menyerahkan peran sebagai pemimpin hubungan ke pasangan gue, dan mengambil peran memimpin dalam hal lainnya. Misalnya, memimpin urusan rumah, mimpin ngatur pengeluaran, mimpin urusan anak, mimpin urusan seneng-seneng hahahaha, dll, dll, dll.

Yang jelas, semua peran-peran itu emang harus dikompromiin. Dan kedua belah pihak sama-sama setuju dan mau berkompromi. Nggak boleh ada yang diem-diem kesel jadi pemimpin. Diem-diem nggak suka diatur-atur. Tapi dipendem aja dengan alasan 'sabar'. Menurut gue itu bukan sabar sih, tapi bom waktu. Ketika waktunya habis, sabar itulah yang akhirnya habis dan meledak. Tapi lain halnya kalo lo 'belum' terbiasa, lalu membiasakan diri. Namanya adaptasi. Menyesuaikan peran. Dan itu emang perlu latihan kok. Aktor-aktor ngelakuin itu kan, untuk bisa menyatu dengan peran yang mereka jalani dalam setiap filmnya.

Kenapa akhirnya kita gagal dalam sebuah hubungan? Ketika kadar kompromi kita udah ngelewatin titik kritis. Suhunya (baca: tingkat kesabaran) udah overly high, dan tekanan udah nggak mampu dilakuin lagi. And that's when you called 'you've pushed yourself too hard that you can't do it anymore'. Dan boommm, kita meledak deh. Akhirnya kita nyerah. Sama kayak aktor juga. Mau se-berusaha kerasnya apapun dia mendalami sebuah peran, kalo emang kayaknya nggak cocok, akan kerasa pasti... "hengggg, I can't do this".

Maka itu, punya pasangan yang compatible emang perlu. Ada yang udah by nature, kita ketemu pasangan yang langsung klik dan udah tau perannya masing-masing dengan smooth. Ada yang dengan si dia, kita mampu untuk jadi compatible dan nggak overlap satu sama lain walaupun sebenernya kita beda. Either way, ujung-ujungnya by the grace of God sih ya yang bisa mempertemukan kita sama orang yang kayak gitu. Hahahaha. Dan ketika kita masih belum nemuin orang yang 'ituuuhhh', kita akan terus berganti peran tiap ganti pasangan. 

Panjang abis udah kayak nulis skripsi. Duh jadi kangen peran mahasiswi. Hahah. Dah ah.



Salam sayang,

Rims.


You May Also Like

0 comments