Bahagia yang Pernah Terkubur

by - Oktober 01, 2017


Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. -HR. Ahmad.

Belakangan, saya makin sadar banget kalau kebahagiaan itu ada, dan bisa ada, untuk dibagi, dan karena dibagi dengan orang lain. Dan perasaan bahagia sebenernya sederhanaaaaa banget, sayangnya kadang kita nggak bisa ngerasain karena lupa buat bersyukur.

Salah satu cara bahagia dengan gampang? Berbagi! Berbagi ini macem-macem bentuknya, nggak melulu soal materi. Berbagi senyum dan cengiran aja, kita bakal dapet senyum dan cengiran lagi. Berbagi waktu, kita dapet temen menghabiskan waktu. Berbagi ilmu, kita dapet tabungan pahala. Berbagi kasih sayang dan perhatian, kita dapet rasa "hangat".

Jadi setelah setiap hari berkutat dengan kantor, kerjaan, dsb dsb nya yang bikin kadang lupa bersyukur dan bahagia, saya bersyukur banget punya temen-temen yang masih ngingetin untuk berbagi ini. Bulan September lalu, saya dan temen-temen SIL akhirnya kembali bikin bakti sosial. Ini bukan yang pertama buat kami, tapi Alhamdulillah masih berkesempatan untuk mengadakannya lagi.

Setelah drama yang super panjang berbulan-bulan lamanya, saya langsung lupa sama segala macem pesimisme, males, nggak semangat, apatisme, dll, ketika mendatangi tempat kami mengadakan baksos ini. Untuk sampai di MTs Satu Atap Bina Rahmah, kami harus menempuh perjalanan yang cukup makan waktu, bahkan setelah melewati kampus kami yang udah terpencil pun. Naik gunung, dengan jalanan yang curam dan sempit, sampai sinyal HP hilang sama sekali. Tapi, semuanya terbayarkan ketika bertemu dengan adik-adik di sana.

Hal yang pertama kali saya rasain adalah...... Saya semacam akhirnya ketemu lagi sama sesuatu yang "hilang", sesuatu yang saya rinduuuuu banget, sesuatu yang saya kangenin, tapi nggak tau apa. Selanjutnya, saya kayak nostalgia zaman-zaman kuliah dulu.

Saya selalu terharu ngeliat anak-anak, apalagi anak-anak yang bukan tinggal dan tumbuh di kota besar. Bagi saya, mereka belum terjamah. Belum "terkontaminasi" sama kapitalisme dan semua hal semu yang melelahkan. Bagi saya, mereka penuh dengan harapan. Mereka penuh dengan semangat, dan kesederhanaan yang menghangatkan. Di sana, anak-anak ini nggak kenal profesi "Influencer", "YouTubers", atau "Hijabers". Cita-cita mereka nggak beda sama yang dulu pernah kita impiin. Menjadi guru, jadi pilot, jadi polisi, bahkan jadi presiden.

Cita-cita ini kemudian mereka tuliskan pada kertas berbentuk daun yang kami sediakan, selanjutnya di tempel di sebuah Pohon Impian. Saya percaya, dan berharap, pohon yang tadinya kecil, lalu subur dan tumbuh besar karena impian-impian mereka, akan selalu hidup. 

Kami juga memberikan sebuah hadiah. Jauh dari kata mewah, jauh dari kata 'cukup', dan saya yakin jauh dari kata 'memuaskan' dari mereka. Tapi untuk kami, ini adalah hadiah terbaik yang bisa kami berikan, yaitu masa depan. Dalam bentuk perpustakaan. Lewat buku-buku yang bisa mereka baca, yang bisa memberikan banyak ilmu dan pengetahuan baru untuk mereka, yang bisa membawa mereka ke tempat-tempat yang tidak dibatasi ruang-ruang kelas.

Satu hari yang panjang dan sangat melelahkan. Tapi setelahnya, saya kembali menemukan, bahagia yang pernah terkubur. Yaitu kebahagiaan melihat orang lain berbahagia, karena kita.

You May Also Like

0 comments