Yang Nggak Harus Diperdebatkan: ASI vs Susu Formula

by - Januari 23, 2020



"Whether it's breastfeeding, or bottle-feeding; whether it's mom's milk or formula milk; at the end the most important thing is you feed them."


Disclaimer: ini tulisan gue buat untuk #30haribercerita. Dan gue sharing ulang di sini.


Melihat panasnya perdebatan tentang ASI di twitter membawa gue mengingat lagi momen pertama kali gue datang ke konselor laktasi, setelah dua minggu Rania lahir.

"Ibu, siapa yang bilang Ibu wajib menyusui anak Ibu?" kata sang konselor.
Gue, yang datang ke ruangannya dengan kondisi berantakan -nipple luka berdarah, anak rewel, berat badannya pun turun- bingung tiba-tiba ditanya gitu.

"Henggg.... anjuran WHO?" jawab gue ragu.

"Allah, Bu. Dalam Al-Quran Allah udah menuliskan untuk menyusui dua tahun lamanya." jawaban yang gue nggak sangka, dan dilanjutkan dengan menyodorkan sebuah kertas ke gue yang berisi perbandingan antara anak ASI dan anak susu formula.

Sungguh dahsyat isi tabelnya, seabrek keuntungan yang diperoleh anak ASI dari bonding bersama Ibu, daya tahan tubuh, IQ tinggi, sampai beberapa hal yang bikin gue mengernyit, anak ASI lebih peka dan punya kepedulian tinggi, dan sebagainya.

Lalu, sejak pulang dari konsultasi itu, tertanam di otak gue bahwa: gue harus menyusui. Apapun dan gimanapun caranya. Dan ASI, pasti cukup. Nggak ada yang namanya anak kekurangan ASI.

Hari-hari setelahnya, adalah hari-hari terberat buat gue dalam hidup. MengASIhi, sangat sangat sangat berat.

Di saat gue melihat banyak ibu-ibu yang posting freezer penuh ASIP berbotol-botol, hasil pumping ratusan ml, gue justru harus masuk ruang operasi karena mastitis, dan pasrah satu payudara gue akhirnya nggak lagi mengeluarkan ASI.

Menyusui hanya dari satu payudara, jelas berat buat gue.
Dan yang gue lupa, juga berat untuk Rania.

Di saat gue bersikeras Rania hanya boleh minum ASI, nyokap gue, setengah marah, bilang ke gue, "kamu mau anak kamu kelaparan?!". Sebuah hentakan yang bikin gue sadar.

Gue akhirnya meminumkan Rania susu formula, sambil.... wah bergejolak rasa bersalah, nggak terima, nggak ikhlas, malu, dsb.
Setiap artikel, forum, yang gue baca, seakan-akan mengharamkan meminumkan sufor ke bayi. Bahwa ASI itu tidak tertandingi, ASI itu hak anak, dan nggak sedikit tulisan di forum yang membawa embel-embel "anak sufor adalah anak sapi."

Sampai suatu ketika dokter anak gue bilang, pas gue curhat soal susu formula ini. "Buu, sufor itu bukan racun. Yang penting anaknya tumbuh sehat, ibunya sehat."

Akhirnya yaudah gue jalanin aja sebisanya, nggak ngoyo kayak dulu lagi. Rania masih nyusu langsung, minum ASIP, dan minum susu formula juga. Dan ternyata, waahhh... lebih menyehatkan.
Menyehatkan fisik dan mental gue. Menyehatkan buat orang-orang terdekat gue.
Gue nggak lagi stress, nggak lagi kena mastitis (gue akan sharing tentang terkena mastitis dan abses payudara yang Subhanallahh......), dan Rania, alhamdulillah (dan bismillah semoga terus) sehat.

Yang dulunya gue lebih sering nangis sampai ngerasa nggak bisa ngurus Rania, sekarang sangat sangat sangat menikmati setiap momen bareng dia. Kalau nggak ASI, nggak bisa bonding sama Ibunya? Alhamdulillah Rania nempel banget sama gue.

Di kasta para Nazi, mungkin gue level terbawah kali ya. Udah mah anak dikasih susu formula, diminuminnya pakai botol pula. HIH, nggak memperjuangkan hak anak bgt! (HAHA BODO)

I'm not endorsing formula milk, tapi cuma pengen bilang ke ibu-ibu lain yang mungkin nggak bisa mengASIhi, ASI nya dirasa kurang, atau karena keadaan bahkan pilihan dan anaknya nggak disusuin lagi:

IT IS OKAY. IT'S TOTALLY OKAY.

Dan buat ibu-ibu yang dianugerahi ASI berlimpah, bisa nyetok ber-freezer-freezer, you deserve to be happy, you deserve to be grateful, and you deserve to be proud.

Every mom knows the best for their children. So stop judging, stop comparing.

Dan selain ASI, Ibu yang bahagia adalah juga hak anak.
Jadi, yang penting Ibunya bahagia ya, biar anak kita juga tumbuh bahagia.
It's what they gonna remember, foverer. 

You May Also Like

0 comments