Kim Ji Young, Born 1982: Tentang menjadi perempuan, istri, ibu, anak, dan... manusia

by - Februari 26, 2020



Pas film Kim Ji Young, Born 1982 tayang di bioskop tahun lalu, gue pengeeen banget nonton. Sayangnya, nonton bioskop menjadi hal yang nggak bisa lagi gue prioritaskan, sejak ada Rania. Nggak tega aja, rasanya ninggalin anak lebih lama lagi, selain buat kerja di kantor.

Alhasil, keinginan nonton filmnya ketunda sampai gue punya kesempatan untuk nonton online (Monmaap ilegal :')). Agak ironis, nonton Kim Ji Young sambil ngegendong Rania yang saat itu lagi demam dan nggak mau lepas dari pelukan ibunya, sampe gue izin nggak ngantor. So, jadi pengalaman yang sangaaattt relatable. (Mamak nangis sesengukan ngeliat Ji-Young dan bawaannya pengen teriak "I FEEEELLL YOUUUU")

Nggak lama setelah nonton versi filmnya, kebetulan suami pun beli novelnya dan gue baca beberapa bagian (nggak semua), plus ngedengerin review dari Kakiram. And for sum up about both the movie + novel is: It is just an ordinary story. About becoming a woman, a mom, a daughter, a wife, and.... a person.

***

Tentang 'pilihan'.


Setelah jadi ibu, gue merasakan banget gimana seorang ibu tuh punya tanggung jawab, peran, (dan tuntutan!) yang besar.

Setiap hari, gue selalu dirundung perasaan bersalah, dan dilema karena harus ninggalin anak dan nitipin ke nyokap gue, sementara gue pergi kerja. Apa gue ibu yang buruk? Apa gue resign aja dan fokus mengurus anak gue? Masa gue sebagai orangtua, cuma bisa "ngebuat" anak aja, tapi nggak bisa ngurusin sendiri. Tapi di sisi lain, gue suka bekerja dan gue suka mendapatkan uang dari hasil kerja keras gue. Dan kalau mau menjadikan anak sebagai alasan, gue akan bilang, gue kerja juga demi anak gue. Demi menciptakan kehidupan yang layak, untuknya tumbuh dan berkembang. 

Kehidupan pasca punya anak membuat perubahan yang sangat besar buat gue. Secara fisik, mental, semuanya. I'm an ambitious person, to say. Gue punya banyak target, keinginan, dan ambisi besar untuk diri gue sendiri. Gue pengen merasa berdaya, gue pengen mengejar kesuksesan, gue pengen menjadi orang yang remarkable. Apalagi gue merasa gue masih muda, banyak yang pengen gue raih. Tapi sekarang, seringkali gue merasa hidup tuh jadi..... melambat (?). 

Sering gue bilang ke Kakiram, "aku dilema banget. Di satu sisi aku pengen berkembang dan ngejar karier tinggi, tapi di sisi lain aku butuh kantor yang bisa ngasih fleksibilitas biar aku juga bisa ngurus Rania". Kantor gue yang sekarang bisa memberikan yang kedua. Dan gue nggak tau apa prioritas gue. So for now... I stick with the latter. Flexibility. 

Ada satu scene di film Kim Ji Young, Born 1982 yang pretty much reflect that situation. Gue suka banget waktu scene di mana Ji Young lagi ngobrol sama atasannya (yang juga perempuan, punya anak, dan udah punya karier tinggi di perusahaannya). Kira-kira gini dialognya:

"Kamu pasti ngira saya punya segalanya ya?", kata si atasan. Ji Young ngangguk-ngangguk.

"Kenyataannya, nggak. Maybe I look like successful career-woman. But behind this, I'm a bad mom, a bad wife, and a bad daughter".

Yup, untuk menjadi perempuan yang sukses dalam karier, si atasan Ji Young harus ngorbanin banyak hal. Dia nggak bisa ngurus anaknya sendiri, "nyusahin" emaknya karena nitipin anaknya, dan nggak bisa ngurusin suaminya.

Pilihan. Ini yang harus dihadapi banyak perempuan. Bahkan punya pilihan menurut gue adalah privilege. Bisa memilih antara menjadi wanita karier, atau ibu rumah tangga, adalah hak istimewa. Banyak dari kita yang bahkan memutuskan untuk bekerja atau nggak, karena keadaan. Andai kita bisa memilih....

Waktu itu gue juga pernah ngelihat potongan video seorang standup comedian luar (maaf lupaa banget siapa namanya). Intinya dia bilang bahwa dia dan suaminya bisa ngelakuin apa yang mereka suka karena mereka punya privilege. Mereka punya privilege untuk bisa hire baby sitter buat ngurusin anak di rumah dan maid untuk beresin urusan rumah. Dan privilege itu mahal harganya. Some of us didn't born with it, some of us didn't get to have it even we've worked hard, and some of us have to live without it, until the rest of our life. 

***

Tentang 'pengorbanan'.


Gue pernah nanya ke Kakiram, "kenapa, aku sering ngelihat perempuan memuja muji pasangannya ketika pasangannya mau ngebantu ngurus anak, ikut beberes rumah, dll, serasa itu adalah hal yang besaaar banget? Tapi laki-laki yang ngelakuin hal serupa ke istrinya nggak sebanyak itu."

Suami gue bukan tipe cowok yang flattering me with sweet words. Jadi sejujurnya gue pun kadang DYING TO HEAR THOSE WORDS OF AFFIRMATIONS hahahah. 

"Terima kasih istri, udah hamil, ngebawa-bawa orok 9 bulan, mual muntah, sakit pinggang, susah tidur, etc etc."

"Terima kasih udah hidup dan mati ngeluarin bayik segitu gede dari dalem perut."

"Terima kasih udah ngurusin anak bayi yang kadang susah ditebak maunya apa, ngurusin pekerjaan rumah, ngurusin kerjaan kantor, etc etc etc."

Kenapa nggak semua laki-laki berterima kasih atas semua itu? Karena masih banyak yang menganggap, bahwa hamil, melahirkan, ngurusin anak dan rumah tangga, emang udah "kodrat" dan tugasnya perempuan.

Di novel Kim Ji Young: Born 1982 (btw sayang banget dialog ini nggak ada di filmnya, padahal menurut gue powerful banget!), ketika suaminya Ji Young meminta untuk punya anak dan ngomongin soal "peran" dan "pengorbanan" yang mereka lakuin, ada yang jlebbb dan relate banget.

Kim Ji Young bilang, ada banyak hal yang mesti dia korbanin ketika punya anak. Dia bakal  ngalamin perubahan pada tubuhnya, ngorbanin kariernya, waktu untuk diri sendiri, bergaul sama temen-temen, dll dll. Ada banyak hal yang bakal hilang dari dirinya.

Trus si suami Ji Young bilang kira-kira, "Jangan fokus sama apa yang bakal hilang. Aku tuh juga bakal berkorban banyak hal. Kalau nanti kita punya anak, aku bakal nggak bisa pulang malem, nggak bisa ikut nongkrong sama temen-temen, nggak bisa ikut acara kantor", dll dll. Kira-kira kayak gitu ya.

Dan reaksi Ji Young kayak.... "WTH MEEN YOU CALLED THAT AS A SACRIFICEEEE?? HAHH LO BANDINGIN NOH SAMA GUEHH!"... trus gue bacanya sambil nunjuk-nunjuk suamik. Nih lo liat nih woy! (because it's so real!!!!) hahahaha.

Gue paling sebel kalo Kiram udah bawa-bawa statement "udah berusaha pulang cepet dari kantor, etc etc etc". Ih nggak ngeliat nih gue udah bedarah-darah perut dibelek, nyusuin sampe nih tetek dioperasi, nggak bisa tidur gegara anak maunya nempel sepanjang malem. HIIIHHHH SEGITU AJA LO BILANG USAHA!!! *emaap emosyii sayahhh hahaha.

Kim Ji Young: Born 1982 tuh kayak calling men to look at their privilege, uncomfortable enough to make them uncomfortable. Persis sama reaksi Kakiram yang langsung cengar cengir genggeus pas gue berapi-api unjukkin part di atas, huehehehe.

Ngomongin pengorbanan emang nggak bakal ada habisnya. Masing-masing pasti ngerasa "paling". Jadi daripada ngerasa PALING berkorban, emang mending berusaha SALING berkorban lah. Ngertiin satu sama lain, saling bahu membahu. Karena nggak ada tuh istilah "membantu" di urusan rumah tangga dan anak menurut gue. Toh itu rumah berdua, anak berdua, bikinnya berdua, ya mbok ngurusnya juga berdua dong. Sama-sama punya tugas bersama.

***

In the end... Kim Ji Young: Born 1982 emang ngegambarin aja gitu kehidupan sehari-hari kita, yang menurut gue sangat relate di banyak hal. And I looooove everything about the novel & movie, except the mental ilness part. I'm sorry I just can't buy it. Mungkin karena ada banyak pertanyaan dan nggak ada jawaban dan penjelasan yang jelas soal bagian mental ilness nya Kim Ji Young. 

Tapi teteuuuup, ai mewek puooolll pas emaknya Kim Ji Young nangis-nangis ngelihat keadaan anaknya. Sampe kapanpun kita emang bakal tetep butuh ibu ya. Even every mom, needs their mom too. :')


Dan sesedih itu pas scene Gong Yoo (Dae Hyun) di meja makan sama Jung Yu Mi (Kim Ji Young) dan jujur soal ketakutannya dia ngelihat istrinya yang sakit, dan ngerasa bersalah karena mikir istrinya sakit gitu gara-gara nikah sama doi. (Girls, find yourself a husband like Gong Yoo Dae Hyun!).


Kim Ji Young: Born 1982 will help us, not only women to realise the very common things that we often didn't even care so much because they happen on daily basis are actually a part of gender inequality. And from my two cents: treat your partner well, teman-temaaan!

You May Also Like

0 comments