twitter instagram linkedin
  • HOME


Pas film Kim Ji Young, Born 1982 tayang di bioskop tahun lalu, gue pengeeen banget nonton. Sayangnya, nonton bioskop menjadi hal yang nggak bisa lagi gue prioritaskan, sejak ada Rania. Nggak tega aja, rasanya ninggalin anak lebih lama lagi, selain buat kerja di kantor.

Alhasil, keinginan nonton filmnya ketunda sampai gue punya kesempatan untuk nonton online (Monmaap ilegal :')). Agak ironis, nonton Kim Ji Young sambil ngegendong Rania yang saat itu lagi demam dan nggak mau lepas dari pelukan ibunya, sampe gue izin nggak ngantor. So, jadi pengalaman yang sangaaattt relatable. (Mamak nangis sesengukan ngeliat Ji-Young dan bawaannya pengen teriak "I FEEEELLL YOUUUU")

Nggak lama setelah nonton versi filmnya, kebetulan suami pun beli novelnya dan gue baca beberapa bagian (nggak semua), plus ngedengerin review dari Kakiram. And for sum up about both the movie + novel is: It is just an ordinary story. About becoming a woman, a mom, a daughter, a wife, and.... a person.

***

Tentang 'pilihan'.


Setelah jadi ibu, gue merasakan banget gimana seorang ibu tuh punya tanggung jawab, peran, (dan tuntutan!) yang besar.

Setiap hari, gue selalu dirundung perasaan bersalah, dan dilema karena harus ninggalin anak dan nitipin ke nyokap gue, sementara gue pergi kerja. Apa gue ibu yang buruk? Apa gue resign aja dan fokus mengurus anak gue? Masa gue sebagai orangtua, cuma bisa "ngebuat" anak aja, tapi nggak bisa ngurusin sendiri. Tapi di sisi lain, gue suka bekerja dan gue suka mendapatkan uang dari hasil kerja keras gue. Dan kalau mau menjadikan anak sebagai alasan, gue akan bilang, gue kerja juga demi anak gue. Demi menciptakan kehidupan yang layak, untuknya tumbuh dan berkembang. 

Kehidupan pasca punya anak membuat perubahan yang sangat besar buat gue. Secara fisik, mental, semuanya. I'm an ambitious person, to say. Gue punya banyak target, keinginan, dan ambisi besar untuk diri gue sendiri. Gue pengen merasa berdaya, gue pengen mengejar kesuksesan, gue pengen menjadi orang yang remarkable. Apalagi gue merasa gue masih muda, banyak yang pengen gue raih. Tapi sekarang, seringkali gue merasa hidup tuh jadi..... melambat (?). 

Sering gue bilang ke Kakiram, "aku dilema banget. Di satu sisi aku pengen berkembang dan ngejar karier tinggi, tapi di sisi lain aku butuh kantor yang bisa ngasih fleksibilitas biar aku juga bisa ngurus Rania". Kantor gue yang sekarang bisa memberikan yang kedua. Dan gue nggak tau apa prioritas gue. So for now... I stick with the latter. Flexibility. 

Ada satu scene di film Kim Ji Young, Born 1982 yang pretty much reflect that situation. Gue suka banget waktu scene di mana Ji Young lagi ngobrol sama atasannya (yang juga perempuan, punya anak, dan udah punya karier tinggi di perusahaannya). Kira-kira gini dialognya:

"Kamu pasti ngira saya punya segalanya ya?", kata si atasan. Ji Young ngangguk-ngangguk.

"Kenyataannya, nggak. Maybe I look like successful career-woman. But behind this, I'm a bad mom, a bad wife, and a bad daughter".

Yup, untuk menjadi perempuan yang sukses dalam karier, si atasan Ji Young harus ngorbanin banyak hal. Dia nggak bisa ngurus anaknya sendiri, "nyusahin" emaknya karena nitipin anaknya, dan nggak bisa ngurusin suaminya.

Pilihan. Ini yang harus dihadapi banyak perempuan. Bahkan punya pilihan menurut gue adalah privilege. Bisa memilih antara menjadi wanita karier, atau ibu rumah tangga, adalah hak istimewa. Banyak dari kita yang bahkan memutuskan untuk bekerja atau nggak, karena keadaan. Andai kita bisa memilih....

Waktu itu gue juga pernah ngelihat potongan video seorang standup comedian luar (maaf lupaa banget siapa namanya). Intinya dia bilang bahwa dia dan suaminya bisa ngelakuin apa yang mereka suka karena mereka punya privilege. Mereka punya privilege untuk bisa hire baby sitter buat ngurusin anak di rumah dan maid untuk beresin urusan rumah. Dan privilege itu mahal harganya. Some of us didn't born with it, some of us didn't get to have it even we've worked hard, and some of us have to live without it, until the rest of our life. 

***

Tentang 'pengorbanan'.


Gue pernah nanya ke Kakiram, "kenapa, aku sering ngelihat perempuan memuja muji pasangannya ketika pasangannya mau ngebantu ngurus anak, ikut beberes rumah, dll, serasa itu adalah hal yang besaaar banget? Tapi laki-laki yang ngelakuin hal serupa ke istrinya nggak sebanyak itu."

Suami gue bukan tipe cowok yang flattering me with sweet words. Jadi sejujurnya gue pun kadang DYING TO HEAR THOSE WORDS OF AFFIRMATIONS hahahah. 

"Terima kasih istri, udah hamil, ngebawa-bawa orok 9 bulan, mual muntah, sakit pinggang, susah tidur, etc etc."

"Terima kasih udah hidup dan mati ngeluarin bayik segitu gede dari dalem perut."

"Terima kasih udah ngurusin anak bayi yang kadang susah ditebak maunya apa, ngurusin pekerjaan rumah, ngurusin kerjaan kantor, etc etc etc."

Kenapa nggak semua laki-laki berterima kasih atas semua itu? Karena masih banyak yang menganggap, bahwa hamil, melahirkan, ngurusin anak dan rumah tangga, emang udah "kodrat" dan tugasnya perempuan.

Di novel Kim Ji Young: Born 1982 (btw sayang banget dialog ini nggak ada di filmnya, padahal menurut gue powerful banget!), ketika suaminya Ji Young meminta untuk punya anak dan ngomongin soal "peran" dan "pengorbanan" yang mereka lakuin, ada yang jlebbb dan relate banget.

Kim Ji Young bilang, ada banyak hal yang mesti dia korbanin ketika punya anak. Dia bakal  ngalamin perubahan pada tubuhnya, ngorbanin kariernya, waktu untuk diri sendiri, bergaul sama temen-temen, dll dll. Ada banyak hal yang bakal hilang dari dirinya.

Trus si suami Ji Young bilang kira-kira, "Jangan fokus sama apa yang bakal hilang. Aku tuh juga bakal berkorban banyak hal. Kalau nanti kita punya anak, aku bakal nggak bisa pulang malem, nggak bisa ikut nongkrong sama temen-temen, nggak bisa ikut acara kantor", dll dll. Kira-kira kayak gitu ya.

Dan reaksi Ji Young kayak.... "WTH MEEN YOU CALLED THAT AS A SACRIFICEEEE?? HAHH LO BANDINGIN NOH SAMA GUEHH!"... trus gue bacanya sambil nunjuk-nunjuk suamik. Nih lo liat nih woy! (because it's so real!!!!) hahahaha.

Gue paling sebel kalo Kiram udah bawa-bawa statement "udah berusaha pulang cepet dari kantor, etc etc etc". Ih nggak ngeliat nih gue udah bedarah-darah perut dibelek, nyusuin sampe nih tetek dioperasi, nggak bisa tidur gegara anak maunya nempel sepanjang malem. HIIIHHHH SEGITU AJA LO BILANG USAHA!!! *emaap emosyii sayahhh hahaha.

Kim Ji Young: Born 1982 tuh kayak calling men to look at their privilege, uncomfortable enough to make them uncomfortable. Persis sama reaksi Kakiram yang langsung cengar cengir genggeus pas gue berapi-api unjukkin part di atas, huehehehe.

Ngomongin pengorbanan emang nggak bakal ada habisnya. Masing-masing pasti ngerasa "paling". Jadi daripada ngerasa PALING berkorban, emang mending berusaha SALING berkorban lah. Ngertiin satu sama lain, saling bahu membahu. Karena nggak ada tuh istilah "membantu" di urusan rumah tangga dan anak menurut gue. Toh itu rumah berdua, anak berdua, bikinnya berdua, ya mbok ngurusnya juga berdua dong. Sama-sama punya tugas bersama.

***

In the end... Kim Ji Young: Born 1982 emang ngegambarin aja gitu kehidupan sehari-hari kita, yang menurut gue sangat relate di banyak hal. And I looooove everything about the novel & movie, except the mental ilness part. I'm sorry I just can't buy it. Mungkin karena ada banyak pertanyaan dan nggak ada jawaban dan penjelasan yang jelas soal bagian mental ilness nya Kim Ji Young. 

Tapi teteuuuup, ai mewek puooolll pas emaknya Kim Ji Young nangis-nangis ngelihat keadaan anaknya. Sampe kapanpun kita emang bakal tetep butuh ibu ya. Even every mom, needs their mom too. :')


Dan sesedih itu pas scene Gong Yoo (Dae Hyun) di meja makan sama Jung Yu Mi (Kim Ji Young) dan jujur soal ketakutannya dia ngelihat istrinya yang sakit, dan ngerasa bersalah karena mikir istrinya sakit gitu gara-gara nikah sama doi. (Girls, find yourself a husband like Gong Yoo Dae Hyun!).


Kim Ji Young: Born 1982 will help us, not only women to realise the very common things that we often didn't even care so much because they happen on daily basis are actually a part of gender inequality. And from my two cents: treat your partner well, teman-temaaan!


"Whether it's breastfeeding, or bottle-feeding; whether it's mom's milk or formula milk; at the end the most important thing is you feed them."


Disclaimer: ini tulisan gue buat untuk #30haribercerita. Dan gue sharing ulang di sini.


Melihat panasnya perdebatan tentang ASI di twitter membawa gue mengingat lagi momen pertama kali gue datang ke konselor laktasi, setelah dua minggu Rania lahir.

"Ibu, siapa yang bilang Ibu wajib menyusui anak Ibu?" kata sang konselor.
Gue, yang datang ke ruangannya dengan kondisi berantakan -nipple luka berdarah, anak rewel, berat badannya pun turun- bingung tiba-tiba ditanya gitu.

"Henggg.... anjuran WHO?" jawab gue ragu.

"Allah, Bu. Dalam Al-Quran Allah udah menuliskan untuk menyusui dua tahun lamanya." jawaban yang gue nggak sangka, dan dilanjutkan dengan menyodorkan sebuah kertas ke gue yang berisi perbandingan antara anak ASI dan anak susu formula.

Sungguh dahsyat isi tabelnya, seabrek keuntungan yang diperoleh anak ASI dari bonding bersama Ibu, daya tahan tubuh, IQ tinggi, sampai beberapa hal yang bikin gue mengernyit, anak ASI lebih peka dan punya kepedulian tinggi, dan sebagainya.

Lalu, sejak pulang dari konsultasi itu, tertanam di otak gue bahwa: gue harus menyusui. Apapun dan gimanapun caranya. Dan ASI, pasti cukup. Nggak ada yang namanya anak kekurangan ASI.

Hari-hari setelahnya, adalah hari-hari terberat buat gue dalam hidup. MengASIhi, sangat sangat sangat berat.

Di saat gue melihat banyak ibu-ibu yang posting freezer penuh ASIP berbotol-botol, hasil pumping ratusan ml, gue justru harus masuk ruang operasi karena mastitis, dan pasrah satu payudara gue akhirnya nggak lagi mengeluarkan ASI.

Menyusui hanya dari satu payudara, jelas berat buat gue.
Dan yang gue lupa, juga berat untuk Rania.

Di saat gue bersikeras Rania hanya boleh minum ASI, nyokap gue, setengah marah, bilang ke gue, "kamu mau anak kamu kelaparan?!". Sebuah hentakan yang bikin gue sadar.

Gue akhirnya meminumkan Rania susu formula, sambil.... wah bergejolak rasa bersalah, nggak terima, nggak ikhlas, malu, dsb.
Setiap artikel, forum, yang gue baca, seakan-akan mengharamkan meminumkan sufor ke bayi. Bahwa ASI itu tidak tertandingi, ASI itu hak anak, dan nggak sedikit tulisan di forum yang membawa embel-embel "anak sufor adalah anak sapi."

Sampai suatu ketika dokter anak gue bilang, pas gue curhat soal susu formula ini. "Buu, sufor itu bukan racun. Yang penting anaknya tumbuh sehat, ibunya sehat."

Akhirnya yaudah gue jalanin aja sebisanya, nggak ngoyo kayak dulu lagi. Rania masih nyusu langsung, minum ASIP, dan minum susu formula juga. Dan ternyata, waahhh... lebih menyehatkan.
Menyehatkan fisik dan mental gue. Menyehatkan buat orang-orang terdekat gue.
Gue nggak lagi stress, nggak lagi kena mastitis (gue akan sharing tentang terkena mastitis dan abses payudara yang Subhanallahh......), dan Rania, alhamdulillah (dan bismillah semoga terus) sehat.

Yang dulunya gue lebih sering nangis sampai ngerasa nggak bisa ngurus Rania, sekarang sangat sangat sangat menikmati setiap momen bareng dia. Kalau nggak ASI, nggak bisa bonding sama Ibunya? Alhamdulillah Rania nempel banget sama gue.

Di kasta para Nazi, mungkin gue level terbawah kali ya. Udah mah anak dikasih susu formula, diminuminnya pakai botol pula. HIH, nggak memperjuangkan hak anak bgt! (HAHA BODO)

I'm not endorsing formula milk, tapi cuma pengen bilang ke ibu-ibu lain yang mungkin nggak bisa mengASIhi, ASI nya dirasa kurang, atau karena keadaan bahkan pilihan dan anaknya nggak disusuin lagi:

IT IS OKAY. IT'S TOTALLY OKAY.

Dan buat ibu-ibu yang dianugerahi ASI berlimpah, bisa nyetok ber-freezer-freezer, you deserve to be happy, you deserve to be grateful, and you deserve to be proud.

Every mom knows the best for their children. So stop judging, stop comparing.

Dan selain ASI, Ibu yang bahagia adalah juga hak anak.
Jadi, yang penting Ibunya bahagia ya, biar anak kita juga tumbuh bahagia.
It's what they gonna remember, foverer. 


Rania Narakirana Ramadan.

29 September 2019.


Hampir empat bulan, setelah kehidupan gue berubah segitu drastisnya semenjak kehadiran mahluk mungil ini. Rania, nama yang udah gue persiapkan jauh, jauh sebelum kedatangannya. Bahkan jauh sebelum gue ditakdirkan menjadi orang tuanya.

Rania means "queen". Literal queen, in Arabic. And on the other hand, it was the name of Queen Rania of Jordan. The queen I love the most, for her beauty, grace, intelligence, and her advocacy works in various issues.

Narakirana. Nara- Greek origin, means "happy". In Indonesian, Nara is a person. And Kirana, a very beautiful word of "light" in Sanskrit. We put our faith that she always shines brightly, beaming with joy, and radiating happiness to others.

Her lastname is Ramadan. From her dad's name, and our hopes that her life will be full of blessing like the holy month Ramadan.

Ada banyak banget cerita tentang dan untuk Rania, yang suatu saat akan gue ceritakan. Bagaimana perjuangan melahirkannya ke dunia dan membuat gue jatuh cinta dalam sekejap. Bagaimana rasa sakit secara fisik nggak ada apa-apanya dibandingkan melihat dia tumbuh dengan (inshaaAllah) sehat. Dan bagaimana Rania membuat gue berbahagia setiap detiknya.

It's overwhelming, honestly. I'm so nervous, get scared, and unsure about many things and what will come down the road ahead. Parenthood is never easy. But everytime I look into her tiny eyes, it's just feels like she tells me, "we'll figure it out. And we're in this together."

Sehat selalu, cintanya Ibu. ðŸ§¡
.
Newer Posts
Older Posts

Hello, It's Rima!

Hello, It's Rima!
A free-spirited hippy type that often get soaked from dive so deep into her complex thoughts and a lot of big feelings.

Labels

asi vs sufor engagement korean drama life menujurrumah parenthood Rania review film rima's k-drama recap

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2020 (3)
    • ▼  Februari (1)
      • Kim Ji Young, Born 1982: Tentang menjadi perempuan...
    • ►  Januari (2)
      • Yang Nggak Harus Diperdebatkan: ASI vs Susu Formula
      • Yang membuatku berbahagia dan bersinar: Rania
  • ►  2019 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2018 (10)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2017 (5)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  April (2)
  • ►  2016 (35)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2015 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2014 (40)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2013 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2012 (31)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)

Find something

Most Popular

  • Apa Cita-Citamu?
  • Everybody's Changing
  • Lumos
  • Do Something, Make Something
  • We Can't Wait Forever
  • Nozomi, A Hope
  • Conquering Query

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates