twitter instagram linkedin
  • HOME

Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. -HR. Ahmad.

Belakangan, saya makin sadar banget kalau kebahagiaan itu ada, dan bisa ada, untuk dibagi, dan karena dibagi dengan orang lain. Dan perasaan bahagia sebenernya sederhanaaaaa banget, sayangnya kadang kita nggak bisa ngerasain karena lupa buat bersyukur.

Salah satu cara bahagia dengan gampang? Berbagi! Berbagi ini macem-macem bentuknya, nggak melulu soal materi. Berbagi senyum dan cengiran aja, kita bakal dapet senyum dan cengiran lagi. Berbagi waktu, kita dapet temen menghabiskan waktu. Berbagi ilmu, kita dapet tabungan pahala. Berbagi kasih sayang dan perhatian, kita dapet rasa "hangat".

Jadi setelah setiap hari berkutat dengan kantor, kerjaan, dsb dsb nya yang bikin kadang lupa bersyukur dan bahagia, saya bersyukur banget punya temen-temen yang masih ngingetin untuk berbagi ini. Bulan September lalu, saya dan temen-temen SIL akhirnya kembali bikin bakti sosial. Ini bukan yang pertama buat kami, tapi Alhamdulillah masih berkesempatan untuk mengadakannya lagi.

Setelah drama yang super panjang berbulan-bulan lamanya, saya langsung lupa sama segala macem pesimisme, males, nggak semangat, apatisme, dll, ketika mendatangi tempat kami mengadakan baksos ini. Untuk sampai di MTs Satu Atap Bina Rahmah, kami harus menempuh perjalanan yang cukup makan waktu, bahkan setelah melewati kampus kami yang udah terpencil pun. Naik gunung, dengan jalanan yang curam dan sempit, sampai sinyal HP hilang sama sekali. Tapi, semuanya terbayarkan ketika bertemu dengan adik-adik di sana.

Hal yang pertama kali saya rasain adalah...... Saya semacam akhirnya ketemu lagi sama sesuatu yang "hilang", sesuatu yang saya rinduuuuu banget, sesuatu yang saya kangenin, tapi nggak tau apa. Selanjutnya, saya kayak nostalgia zaman-zaman kuliah dulu.

Saya selalu terharu ngeliat anak-anak, apalagi anak-anak yang bukan tinggal dan tumbuh di kota besar. Bagi saya, mereka belum terjamah. Belum "terkontaminasi" sama kapitalisme dan semua hal semu yang melelahkan. Bagi saya, mereka penuh dengan harapan. Mereka penuh dengan semangat, dan kesederhanaan yang menghangatkan. Di sana, anak-anak ini nggak kenal profesi "Influencer", "YouTubers", atau "Hijabers". Cita-cita mereka nggak beda sama yang dulu pernah kita impiin. Menjadi guru, jadi pilot, jadi polisi, bahkan jadi presiden.

Cita-cita ini kemudian mereka tuliskan pada kertas berbentuk daun yang kami sediakan, selanjutnya di tempel di sebuah Pohon Impian. Saya percaya, dan berharap, pohon yang tadinya kecil, lalu subur dan tumbuh besar karena impian-impian mereka, akan selalu hidup. 

Kami juga memberikan sebuah hadiah. Jauh dari kata mewah, jauh dari kata 'cukup', dan saya yakin jauh dari kata 'memuaskan' dari mereka. Tapi untuk kami, ini adalah hadiah terbaik yang bisa kami berikan, yaitu masa depan. Dalam bentuk perpustakaan. Lewat buku-buku yang bisa mereka baca, yang bisa memberikan banyak ilmu dan pengetahuan baru untuk mereka, yang bisa membawa mereka ke tempat-tempat yang tidak dibatasi ruang-ruang kelas.

Satu hari yang panjang dan sangat melelahkan. Tapi setelahnya, saya kembali menemukan, bahagia yang pernah terkubur. Yaitu kebahagiaan melihat orang lain berbahagia, karena kita.

Menjadi orang yang bosenan dan nggak pernah bisa "terkungkung" dalam rutinitas yang itu-itu aja buat orang kayak saya itu nyusahin. Apalagi selama masih jadi manusia, bukan umbi-umbian, saya dan kita semua harus ngikutin aturan main hidup di dunia (yang nggak tau dibikin sama siapa). Ya sekolah, ya kerja, ya nyari uang, dll. Padahal dulu Tuhan nyiptain manusia buat beribadah, bukan buat "duh-sibuk-banget-nih-nggak-sempet-solat".

Akhirnya, manusia jadi kayak robot. Diprogram buat nyari uang. Sekolah biar apa? Biar bisa kerja, katanya. Kerja buat apa? Buat nyari uang, katanya. Nyari uang buat apa? YA BUAT IDUP LAH GILAK.

Iya sih, saya bukan tipe orang yang percaya "money can't buy happiness". Sucks, but it actually is. Mau ngapa-ngapain tuh tetep butuh uang, mau ke mana-mana, perlu uang. Jadi, mau nggak mau, terima nggak terima, ya mesti diikutin aturan mainnya itu. Kerja, minimal 8 jam sehari, dari pagi sampe malem, setiap hari kecuali weekend, begituuuu terus. Sampai kapan? Ya Wallahu alam, tergantung kebutuhan, tergantung kemauan.

Tapi namanya lagi juga manusia, kadang suka lupa bersyukur. Kadang kebanyakan ngeluhnya. Udah punya pekerjaan, ngeluh bosen, ngeluh capek, ngeluh ini dan itu. Kayak manusia-manusia macam saya ini. Akibatnya ya jadi kusut sendiri. Merasa nggak menghidupi kehidupan. Merasa terjebak dalam rutinitas yang mutlak.

Untuk itu, saya tau, saya, dan kita semua, butuh beristirahat. Sejenak. Dari kehidupan dunia yang gila dan nggak ada habisnya ini. Cara mudah bagi saya: me time! Sesederhana menghabiskan waktu sendirian, dan untuk saya sendiri. Mengumpulkan lagi tenaga untuk haha hihi sama orang-orang di weekdays nanti.



Hello...
That scene where we first met is the most heart-fluttering of my life.
We lived just like a movie.
And now with a goodbye, we're saying our farewells.

It was all so fun, every single moment.
I'm going to miss it, all of our past days.
I will imprint the last image of you in my eyes.
Whenever I miss you in my life, I'll close them.

I think I'm living well so far because of you.
And I think I'll be able to live well from now on too, because of you.
Just as we live knowing of our eventual deaths.
We loved awaiting the moment we would part.

This is the last song I'm singing for you.
I'm trying to place the final period on our story.
The beginning and end of our memories, were always accompanied by our last scene.
How will we recall these feelings from our memories?

Though for a while we'll be lonely and sorrowful.
And in such heart-wrenching pain.
We'll probably get used to it.

We'll recall the sweet scents and pieces of us.
And it's probably hurt, but we'll probably get used to it.

The reality still hasn't hit me so it's saddening, but I won't shed tears.
I feel like there's unfinished business before I can go, but I won't stay.

Looking back, we went through it all and so we'll stand before time.
And get used to it.
Thanks for all these time, we were always on one side.
This movie was shorter than I'd thought, a single volume.

Happiness, sadness, hope, despair, longing, regret, loneliness, peace.
Within all those emotions, you were there.
And because of that.... I was able to hold on. :)




PSY




"Oh, I think I landed, where there are miracles at work...."

I never thought that I would see a magic, the adventure of a lifetime, like this.
Under a sky full of stars, within' a head full of dreams.





 Thank you, universe.
Sejak kantor pindah ke Pancoran, jarak yang harus gue tempuh setiap harinya melonjak sampai hampir dua kali lipat. Dari yang tadinya udah jauh dan macet, jadi makin super jauh dan super macet. Dengan menempuh jarak kurang lebih 50 km setiap hari untuk perjalanan rumah-kantor dan kantor-rumah, nggak jarang gue di jalanan bisa mengkhayal lima episode gimana rasanya jadi emak-emak sosialita aja.

Puncaknya adalah beberapa hari yang lalu, di mana gue menghabiskan waktu tiga jam, iyah, TIGA JAM dengan motor untuk pulang. Padahal nggak ada si Komo lewat di sepanjang jalan (YHAAA), tapi entah kenapa hari itu, semua jalan dari mulai Antasari yang biasanya cuma merayap-merayap manjah, tiba-tiba macet total nggak bergerak. Gue pun melipir ke jalan Asem yang kecil, ternyata jadi makin kecil karena penuh mobil dan motor. Sampai akhirnya mencoba peruntungan lewat Fatmawati, malah jadi terjebak.

Jadi tiga jam tersebut (bersama bensin motor yang seperti biasa udah di ambang kritis) gue habiskan dengan: kaget - marah-marah - pusying - berusaha tegar - capek - sesek - nangis - berhenti nangis - pasrah - capek lagi - nangis lagi - berhenti nangis lagi - pasrah lagi - dan terus aja looping. Sambil drama ngadu-ngadu ke orang-orang. Ngadu ke mamah. Ngadu ke Kak Kiram. Ngadu ke anak-anak kantor. Ngadu ke media sosial. Ngadu ke Tuhan.

Nggak lupa juga pake bumbu-bumbu, "WHY AM I HEREEEE?", "WHY SHOULD I WENT THROUGH THIS STRUGGLE EVERYDAAAY?", "WHY CAN'T I BE HAPPY AND LIVING AN EASY LIFE?", sampai mikir.... "why human like us is trying too hard to live, if in the end we all will die and won't bring anything from this world?'. Iya, memang sungguh drama.

Keluhan gue tentang jarak dan macetnya dari rumah ke kantor dan kantor ke rumah terjadi setiap hari selama henggg kira-kira dua minggu terakhir. Tapi gue tetep kekeuh untuk menjalani rute yang itu. Karena ngerasa cuma tau jalanan itu, dan nggak berani buat nyari-nyari jalan lain,walaupun banyak yang ngasih tau ini itu, termasuk Ayah yang sampai kesel dan mere-mere, "Kakak tuh kayak mau ke Bogor tapi lewat Bandung tau nggak!"

Sampai akhirnya di suatu Magrib sebelum , gue mengecek maps lalu tertohok karena melihat warna merah di sepanjang jalan yang biasa gue lewati. "Kayaknya gue nggak sanggup deh nih,"kata gue dalamhati. Trus memutuskan untuk nyoba jalan lain. Setelah nanya-nanya ke anak-anak kantor dan berbekal panduan google maps, gue pulang lewat rute baru, Duren Tiga - Pejaten - Warung Buncit - Cilandak. Dan hasilnya.......sungguh luar biasa. Dua hari ini, gue bisa sampai ke rumah cuma dalam waktu satu jam lebih-lebih dikit. Masha Allah! *lalu sujud syukur*

Trus kesenengan. Trus merasa ih bodoh banget kenapa nggak dari awal aja. Hahaha. Ternyata emang itu fungsinya dibikin banyak jalan ya, biar kita bisa milih, biar kita bisa nyoba, biar kita nggak stuck di satu tempat aja. Karena terkadang, zona nyaman yang udah kita punya justru sebenernya nggak lebih baik dari banyak hal di luar sana. Dan karena kita sibuk living in our bubble, jadi nggak berani untuk step out deh.

Kalo jalan yang ini nantinya stuck juga, ya tinggal ngeberaniin diri untuk nyoba jalan lain. Karena banyak jalan untuk pulang, dan banyak cara untuk mencapai rumah. :)
Newer Posts
Older Posts

Hello, It's Rima!

Hello, It's Rima!
A free-spirited hippy type that often get soaked from dive so deep into her complex thoughts and a lot of big feelings.

Labels

asi vs sufor engagement korean drama life menujurrumah parenthood Rania review film rima's k-drama recap

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2020 (3)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2019 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2018 (10)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Januari (3)
  • ▼  2017 (5)
    • ▼  Oktober (2)
      • Bahagia yang Pernah Terkubur
      • Beristirahat, Sejenak
    • ►  Juli (1)
      • Last Scene
    • ►  April (2)
      • Adventure of a Lifetime
      • Banyak Jalan Untuk Pulang
  • ►  2016 (35)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2015 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2014 (40)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2013 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2012 (31)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)

Find something

Most Popular

  • Apa Cita-Citamu?
  • Everybody's Changing
  • Lumos
  • Do Something, Make Something
  • We Can't Wait Forever
  • Nozomi, A Hope
  • "Kalau nggak enak, kasih kucing aja"

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates