Untukmu, Aku....

by - Januari 16, 2014



Mengapa kau sudah bangun? Ini masih dini hari. Tidak bisa tidur kah? Masih juga mimpi yang sama? Ah, pasti melelahkan rasanya. Lihat lingkaran hitam dibawah matamu, makin tebal saja rupanya. Lalu, cangkir bekas apa itu? Belum dicuci. Biar ku lihat dulu apa isinya. Ah, kopi lagi pastinya. Pantas saja.

Hei, kamu.

Aku rindu bintang di matamu. Mengapa sekarang sinarnya redup? Bahkan mati sebentar lagi sepertinya. Mengapa ia kalah ditelan gumpalan awan hitam yang seakan-akan selalu mengikutimu? Sedang musim hujan kah? Kau apakan matamu? Bengkak begitu. Dijeram air mata yang tak kunjung henti kau tumpahkan? Pantas saja. Jadi rabun kau rupanya sekarang, sehingga tak bisa melihat mana yang baik dan mana yang jahat. Tak sekalian saja kau tusuk matamu dengan belati sampai berdarah dan buta?

Hei, kamu.

Aku rindu tawamu. Mengapa sekarang sudah tak terdengar? Bahkan jadi sunyi menyeramkan. Sekalinya kau bersuara, hanya isak tangis dan keluhan yang keluar. Penat aku mendengarnya. Lupakah kau caranya untuk tertawa? Perlu kau ku seret ke rumah sakit jiwa biar kau melihat mereka yang bahkan bisa tertawa sendirian?

Tak lelahkah dirimu?

Mengobral senyum diluar sana. Memperlihatkan bahwa kau baik-baik saja. Kau telan mentah-mentah guyonan mereka yang terkadang terlewat batasannya. Kau diamkan mereka yang menjadikan perihmu sebagai hiburan, gratis. Tak perlu bayar, tak perlu jauh-jauh ke Dufan.

Tak lelahkah dirimu?

Memperdulikan dia yang jelas-jelas telah membuangmu. Kau langkahkan kakimu kesana kemari mencarikan solusi untuk dia yang bahkan tidak perduli dengan tugasnya sendiri. Kau perangi rasa sakit hati untuk menemani dia yang selalu bertemankan sepi.

Matamu telah buta. Kau pun seakan menjejalkan permen karet ke telingamu sendiri. Tuli.
Kau bahkan lebih bodoh dari binatang yang masih punya insting sehingga dapat merasakan bahaya yang datang. Atau kau memang sudah mati rasa? Ah, aku bahkan tak tau lagi cacian apa yang pantas kau terima.

Pulanglah.....


Kau mungkin memang merasa sudah besar. Tapi ayah ibumu tak membesarkanmu untuk menjadi perempuan yang lemah dan hilang arah. Jangan kau begini gara-gara cinta. Mencintai itu seperti kuku, harus dipotong jika memang sudah terlalu panjang, agar ia tidak mencakar dirimu sendiri sehingga berdarah. Tapi kuku pasti tumbuh lagi. Kau juga layak untuk dicintai.

Teruntuk perempuan yang ada di dalam cerminku...

Sudah, ya. Berusahalah untuk mengistirahatkan pikiranmu. Kembalilah kesini, kau perlu dipeluk oleh ketentraman yang menghangatkan, agar kau tak lagi beku. Buka juga hatimu, biar Tuhan mengisinya lagi dengan curahan kebahagiaan yang baru.

Aku tunggu.




You May Also Like

0 comments