twitter instagram linkedin
  • HOME


"Keramaian adalah dengung yang semakin didengarkan, justru membuatmu semakin kesepian." -KAMU

Gue sukak, sukak banget sama sebuah novel berjudul KAMU karya Sabda Armandio ini. Sesungguhnya gue nggak tau siapa dia, dan gimana sepak terjangnya. Sesungguhnya juga, gue nggak segitu familiarnya sama buku-buku model gini. Pengetahuan gue tentang buku sangatlah cetek, dan bacaan gue pun juga cuma seputar itu-itu aja. Kalau nggak novel fantasi luar, teenlit, ya buku pengembangan diri. Sampai akhirnya dikenalkan pada novel ini. (Makasih ya, Kamu yang udah ngenalin KAMU ke aku! :D)

Membaca KAMU tuh jadi pengalaman yang sangat menyenangkan, juga personal. Biasanya gue membaca dengan memindai, tapi kali ini gue bener-bener memperhatikan kata demi kata, berhenti, senyum-senyum sendiri, trus nggak lupa mencatatnya ke dalam buku notes gue. Yang terakhir memang seringkali gue lakukan tiap membaca. Ketimbang memfoto kata-kata yang bagus atau ngasih highlight di bukunya, gue lebih suka untuk mencatat ulang dengan tulisan tangan di notes. Entah buat apa, gue juga nggak paham sih. Suka aja pokoknya. :)

Balik lagi ke KAMU. Kenapa pengalamannya sangat personal? Karena baca buku ini tuh kayak baca transkrip lamunan-lamunan yang setiap hari si penulis -dan juga mungkin kita- pikirin. Pertanyaan-pertanyaan yang filosofis. Gue rasa kita pernah, kalau nggak sering, bengong sambil mikir buat apa dan kenapa sih kita dilahirkan. Mikirin soal Tuhan dan iman. Soal manusia dan peradaban. Soal sistem yang kacrut. Sampai soal cinta, patah hati, kehilangan, dan yang mesti gue highlight saking sukanya: tentang kesepian.

Bicara soal kesepian, gue bener-bener ngerasa tersentuh dan UUUHHH banget bacanya. "Aku cuma senang tertawa. Kau tahu kenapa? Mungkin aku hanya sedang berusaha mengecoh kesepian." Duuuuuuhhh, jatuh cinta! :)))

Kita sering gitu nggak sih? Atau gue doang? Nggak mungkin kan yaaa. Untuk "mengelabui" kesepian, kita cenderung buat mencari keramaian. Berusaha melebur di dalamnya. Berusaha mencari teman. Berusaha untuk..... nggak sendirian. (?)

Gue kayaknya punya semacam love-hate relationship deh sama si kesendirian dan kesepian. Di satu sisi, gue sangat sangat sangat nggak suka ngerasa sepi dan sendiri. Gue butuh ditemani orang lain. Gue butuh suasana yang ramai, tapi bukan cuma ramai, melainkan familiar, hangat, dan intens. Gue suka banget ketawa dan bercanda, apalagi cerita-cerita. Kayak, gue mengabsorb energi dari kondisi sekitar gue. Untuk nggak merasa sendu, gundah, dan merana durjana, gue harus berada di tempat yang sekitarnya bersemangat dan menyenangkan. Gue membutuhkan punya orang-orang terdekat yang bisa gue "cari" setiap saat, kapanpun ketika ketakutan gue akan sepi ini melanda.

"Semua orang kesepian, mereka pergi ke tempat-tempat ramai untuk menipu diri sendiri, dan berpura-pura bahagia." -KAMU.

Tapi di sisi lain, kadang gue juga craving banget untuk sendiri dan ngerasain sepi. Gue suka banget, lagi rame-rame trus tiba-tiba pengen ngilang aja ke tempat yang cuma ada gue doang. Ketawa-ketawa sama orang, trus lima menit kemudian gue pergi gitu aja karena ngerasa terlalu sumpek. Cerita atau dengerin cerita, padahal pikiran gue melayang entah ke mana. DAN, hal yang paling sering serta menyenangkan dan menenangkan yang selalu gue lakukan adalah: bengong, melamun, sampai skip sama dunia sekitar.

Gue hobi banget bengong! Ritual bengong ini gue lakukan di mana-mana, kapanpun. Kalau lagi jalan, bukan Rima namanya kalau nggak kesengklek, kesandung, bahkan sampe jatuh. Gara-gara gue suka nggak fokus sama apapun saking "hilang" sendiri sama pikiran-pikiran gue. Gue bisa duduk berjam-jam di atas kasur sambil mainin rambut kayak orang gila, padahal sebenernya lagi ngelamunin banyak hal. Gue bisa bengong gitu aja di pinggiran jalan ngeliatin orang-orang dan kendaraan lewat, tanpa mikirin apa-apa. Kosong.

Dan akhirnya, hasil gue melamun dan bengong-bengong itulah yang jadi "sampah" di blog ini. Hahahaha. Oh ya jadi inget. Seorang teman gue pernah ngomong,
"Lo kok kalo di blog beda banget ya sama kalo pas ketemu langsung?"
"Hah gimana gimana?"
"Kalo di blog kayaknya sendu sedih-sedih berat banget gitu omongannya, tapi kalo ketemu kek cacing dikasih garem, nggak bisa diem."

*eiya sekalian aja, udah lama mau nulis ini tapi lupa mulukkk.*

Gue selalu dikesankan sebagai anak yang nggak bisa diem, petakilan, nggak penting, kebanyakan gula, dan kerjaannya ketawa mulu. He euh, pakaian luar gue yang gue perlihatkan adalah demikian. Tentu, gue memakainya bukan cuma untuk dilihat orang, tapi karena gue memang nyaman, dan merasa aman. Udah bawaan dari sananya gue, kalau sama orang, mau baru kenal apalagi lama, ya akan tetep nggak bisa diem dan petakilan sih. Tapi ada kalanya gue diem.

Dan ketika gue diem kalo lagi sama orang, maka ada dua kemungkinan: Pertama, gue nggak suka banget sama orang itu. Kedua, gue suka banget sama orang itu dan udah deket banget.

Biasanya kalau kita baru kenal sama orang, pasti yang terjadi adalah diem-dieman karena awkward. Nah untuk mengenyahkan rasa awkward itu, justru gue akan jadi sangat hype dan terlihat *terlalu* ramah serta akrab. Sebenernya ke-easy going-an itu, yang selalu dibilang orang, adalah cara gue buat menutupi kegelisahan dan ketakutan gue sendiri, sama situasi dan orang yang baru. Karena gue nggak suka berada dalam situasi diem-dieman gitu sama orang. Bahkan sama temen pun, kalau ditinggalin berdua doang, gue akan ngerasa sangat awkward dan nggak tau mesti ngapain sampe akhirnya jadi heboh sendiri biar nggak awkward. Ribet ya? Hahahaha. Tapi gue akan jadi sangat diam, cenderung jutek, ketika gue emang bener-bener nggak suka sama orangnya. Jahat sih ya, gue kalau udah nggak suka sama orang tuh....... gitu banget.

Tapi percaya nggak, ada orang-orang tertentu juga yang bisa bikin gue diem. Dan itu terjadi ketika gue ngerasa udah sangat attached, dan percaya, dan merasa dekat sama mereka. Gue yang ceria bisa berubah jadi sangat sendu dan mellow dan tenang, kayak di blog tapi nggak pernah keliatan langsung. Sama seorang sahabat gue, gue bahkan bisa berduaan sepanjang malam tanpa kita ngomong apa-apa. Gue diem sendiri, dia pun sibuk sama urusannya dia sendiri. Dan itu dulu sering banget gue, dan dia, lakuin. Bahkan kayak udah jadi rutinitas. Dia tau ketika gue lagi pengen diem aja nggak ngomong, dan dia juga nggak bakal ribet maksa gue ngomong atau nyuruh gue pergi aja gitu sendiri daripada bareng-bareng tapi nggak ada obrolan. Nggak. Kita bareng-bareng, tapi nggak kerasa awkward sama sekali. Masing-masing menikmati sepi, bersama.

Pun ketika gue bisa mengutarakan lamunan-lamunan gue secara langsung. Jarang deh ada orang yang tahan buat gue ajak ngomong berjam-jam, berulang-ulang, tentang segala hal absurd yang gue pikirin. Dan cuma orang-orang terpilih, ekstra sabar, dan... entah kenapa mau-maunya aja gue ajak buat ngelamun bareng. Ketemuan sama si "sepi", yang sangat gue sebelin tapi sering juga gue kangenin dan butuhin. Diem-dieman, meladeni pikiran masing-masing, tapi bareng-bareng. Itu cuma bisa gue lakuin sama beberapa orang aja sih. Tanpa gue merasa awkward dan merasa harus mencairkan dan memeriahkan suasana, seperti yang biasanya gue lakukan.


Mmmmhh...

Mmmmm.......

Perasaan tadi.... lagi ngomongin novel KAMU yah?



HAHAHAHAHAHAHAHDAHBIASAHAHAHA.



Yah...


Pokoknya gitu deh. Intinya, KAMU tuh emang uuuuuhhhh sekali. Bikin makin pengen bengong dan ngelamun lagi setelah baca! Dan dalam hidup, kayak apa yang KAMU bilang, nggak ada yang salah dengan "merayakan kegilaan" serta "mengelabui kesepian". :)

Ayo, ayo, dibaca!




Hello. Well, what's going on is, I made an agreement with mon petit ami that we have to write one post in English every Friday, hahaha. So, here I am. Trying to write 'bout... I dunno, just babbling random things as always.

Got mixed emotion since this morning. Not so a long time after I arrived at the office, a mysterious package came in. A big one. As soon as I received that cardboard and saw a sticker on it, I knew who's sent this kind of thing. And I thought, "what kind of surprises this time?" with an immensely big smile on face, even before I opened the package.

You know what's in it? It's full of plastic bubble wrap, and a card. I was still searching to see is there something more, until I realized that, THAT is the surprise. Yes, THAT plastic bubble wrap and THAT card. Kiram is soooo being Kiram. Unexpected. Unique. But full of surprises and affections. And, I love him. :)

It's his little things that he does make me fall deeper and deeper. It's not the extravagant moment or expensive gift or sweet words. It's him.

My Friday was goes on like that. One fine and cheerful half-day, busy to chatting and laughing with friends at work, and of course, cracking the bubble wraps! Until I remembered that I want to continue to watch 'Me Before You', which I haven't finished last few days.

And hours later, my mood drops to the ground. As I write this, I still sobbing and my heart is still broken. Hahaha, The movie isn't exactly that sad, until last approximately-20 minutes. Oh how I hate a sad sad sad and bad ending. Huaaahhh. It's just a movie, right. But can you imagine a little thing like that, can also change our moods, feelings, or even day. Funny, is it? :)

Life, is just like that. It's always every little things that matters.

Sadly, sometimes we keep forgetting that. We are so focused on the big things in life that we don't pay much attention to every single and small things, which can actually be the things that can change our life.

These days my mind is so full about many complicated things that I feel like to explode. You know... like, I have this urgency to do and be something big. To reach the another level in life. To... succeed (?).

The definition of success is vary to certain people, but so many around me is revolve around three things. Either fame, power, or money. Or even the three of it all. It's got me contemplating, is that the real definition of perfect life in this world? When you got big amount of money and you can go anywhere and buy almost anything, and you got the fame in your name and walk? Yes, it might be is. Says some part of my logic brain and heart. But the other part of me is still kind of believe that the nearly perfect life in this world (because there's nothing really perfect) is when you can living life to the fullest. When you can feel the happiness, in every thing you have in the life.

There's nothing  wrong about that two contradictions. But what I often forget is, to reach and arrive and see the big things, we can't neglect the every knock and tiny little things that will unify the big pictures that we search.

It's not about the ideas of falling in love with one specific person, it's about every little thing and moment we enjoy being with them. It's about every little feeling we feel. It's about feeling the love itself, that can make ourself falling.

It's not about the ideas of being successful person, it's about how far we would go, how hard we could try, and how strong we will get, until we reach our dream. It's about process, and progress. It's about every checklist on our simple goals, every accomplished tasks, and every commitment we make.

It's not about the ideas of making a very huge impact to this world, it's about spreading the kindness and happiness to others. It's about the willingness to help. It's about creating something that can change our own life, and people's. It's about our smile, our thoughts, and our heart that we shared.

It's always about every little thing in life, that matters the most.


:)


I just found this cute-and-oh-so-relatable infographics of ENFP on visual.ly, and couldn't resist to post it here. :D


Manusia tuh kadang emang suka banget mengkotak-kotakkan diri sendiri ya. Seakan-akan mencari pengakuan, pembenaran, pemakluman, dan teman senasib sepenanggungan atas segala bentuk sikap, sifat, bawaan, kelakuan, kebiasaan, dan lain-lainnya itu.

"Gue kan anaknya introvert, jadi emang nggak suka banyak omong."

"Leo tuh emang gitu tau, udah born to be leader dari sananya."

"Namanya juga golongan darah O, ya panikan lah anaknya!"

"Sebagai ENFP, gue bisa ngakak-ngakak kegirangan di luar tapi di dalam otak gue lagi maki-maki."

"Jangan nyari pacar orang Padang, nanti kalau minta beliin cincin berlian, dikasihnya cincin mainan."

"Ih orang Indonesia, emang susah dikasih tau!"

"Shio gue Ayam, maklum deh kalau suka ngurek-ngurek nyari cacing di tanah."

Truuusss aja gitu.


Seakan-akan, semua penggolongan itu bisa mendefinisikan diri kita. Seakan-akan, kalau kita udah masuk ke dalam sebuah golongan itu, kita merasa 'ada', kita merasa 'jelas', kita merasa menjadi bagian dari sesuatu.

Padahal, katanya setiap diri manusia adalah makhluk yang unik dan berbeda-beda. Katanya, nggak ada orang yang sama. Lantas, kenapa kadang kita sendiri yang mau-maunya aja dipeta-petakan kayak gitu ya? Di-stereotype-kan, di-sama-ratakan. Kayak berusaha mengenal dan mendefinisikan diri lewat definisi yang justru udah diciptakan oleh orang lain, bukan diri kita sendiri.


He euh. Kenapa ya?

Tapi tapi tapi, saya salah satu yang suka ngelakuinnya sih. Hahahaha.

Apalagi sama penggolongan kepribadian MBTI nya Myers & Briggs ini. Lagi seneng banget ngurek-ngureknya. Dan kayak amaze sendiri gitu, waaaw kok bisa ada sih orang yang saya nggak kenal, yang tiba-tiba bisa segitu menjabarkan dan menelanjangi diri saya, cuma lewat beberapa test dan pertanyaan aja! Hebat banget!

Tentu, nggak semua-muanya segala bentuk penggolongan ini benar dan sesuai sama diri kita. Tapi, seneng aja gitu nyoba-nyoba dan nyari tahunya. Kayak saya yang selalu ngangguk-ngangguk setiap ngebaca zodiak Scorpio yang katanya keras kepala tapi sangat intimate, golongan darah O yang panikan dan nggak bisa diem, ENFP yang girang di luar tapi rapuh di dalam, sampai percaya bahwa saya kayaknya 'divergent' karena udah tiga kali test di Pottermore tapi selalu masuk asrama yang beda, pertama Ravenclaw, lalu Hufflepuff, dan yang terakhir Gryffindor. (Iya, nggak mau terima kalau kata adik saya, "Itumah kamu muggle kali kak!" hahahaha).

Yah, asal senang, nggak ada salahnya kan ya? Ya kan ya kan ya kan? :p ENPF all the way, baby!




Judul post ini terinspirasi dari sebuah tulisan Edward Suhadi. Saya tahu beliau, seorang fotografer profesional tersebut semenjak bersama-sama terlibat dalam Gerakan Turun Tangan, beberapa tahun yang lalu.

Kata-kata Mas Edward melintas di benak saya, "looking at the distant dream makes you want to give up, but celebrating progress makes you want to continue the fight." That is a powerful stuff. :)


*
Belum lama, saya curhat panjang lebar kali tinggi ke pacar, tentang ketidakpuasan saya tentang pekerjaan dan karier. Tentang hal-hal besar yang ingin saya capai. Tentang permasalahan-permasalahan kehidupan. Yang rasanya begitu njelimet dan memenuhi pikiran saya, yang tanpa mikirin itu pun sebenarnya udah sangat njelimet.

Saya seakan terjebak dalam dua kontradiksi yang sama-sama memberikan saya tuntutan. Pertama, sebagai anak pertama, ada kebahagiaan, kebanggaan, dan harapan orang tua serta adik saya di pundak. Melihat teman-teman saya yang udah mencapai banyak hal dalam karier, mendengar cerita-cerita bangga dari om dan tante saya tentang sepupu-sepupu saya yang udah naik pangkat dan punya anak buah, saya cuma senyum-senyum setiap mendengar pertanyaan mengenai pekerjaan. Pun dengan orang tua saya. Nggak ada yang salah, memang, dengan apa yang saya lakukan. Yang mengherankan bagi mereka adalah, kenapa saya yang udah disekolahin susah-susah untuk jadi seorang insiyur, kok malah sekarang sibuk ngurusin anak-anak SMA dan nulis-nulis artikel tentang jomblo.

Kedua, sebagai orang yang meyakini -atau memenuhi ego diri- prinsip "follow your passion", saya selalu gembar gembor kalau saya memilih pekerjaan dan karier saya, karena saya senang menjalaninya. Ini emang passion gue, mo apa lohhh? Dan saya merasa, melakukan pekerjaan yang saya sama sekali nggak suka dan nggak bikin saya bergairah, setiap harinya, selama saya hidup, adalah sebuah hal yang mengerikan buat saya.

Tapi belakangan, saya jadi sering mempertanyakan hal kedua tersebut. Saya merasa, saya udah menjalani passion saya. Yang seharusnya katanya bisa bikin saya bahagia. Yang membuat kerja nggak serasa bekerja. Yang setiap harinya meluapkan gairah dan semangat untuk berkarya. Lalu?

Ternyata, kok saya masih merasa kurang. Masih merasa ada sesuatu yang hilang yang belum bisa saya temukan. Masih mencari-cari banyak hal yang saya butuhkan. Masih meraba-raba mengenai masa depan.

Idealisme saya, yang selama ini saya pertahankan, bahwa saya akan melakukan hal yang saya senangi dan saya akan menjadi diri saya yang saya mau, rasanya perlahan runtuh, atau seenggaknya goyang. Saya udah mendapatkan kenyamanan dari apa yang saya lakukan. Tapi kenyamanan itu justru membuat saya takut dan merasa nggak ke mana-mana.

Lalu, dari pergulatan-pergulatan itu saya jadi mikir, apa sebaiknya saya kembali ke root dan asal saya, sebagai anak teknik? Apa saya harus cari kerja sebagai insiyur, duduk manis, kerja yang bener, punya karier yang bagus, kayak temen-temen saya? Atau saya harus melakukan sesuatu yang besar sehingga saya merasa berdaya dan gairah-gairah membuncah dalam diri saya ini bisa tersampaikan dan terpetakan dengan semestinya?

Saya putar otak, mikir, ngerasain, nanya orang lain, minta saran ke sana ke sini, saya masih tetep bingung. Sampai akhirnya saya keinget ini, "celebrating progress".

Rasanya, saya terlalu fokus pada hal-hal yang besar banget. Bahwa saya harus begini, saya harus begitu. Saya harus mencapai ini, saya harus mencapai itu, sampai saya lupa dan nggak menyadari sejauh mana sih saya udah melangkah dari titik awal saya berdiri.

Saya jadi melihat orang-orang aja dan lupa untuk mensyukuri diri sendiri. Dan hal itu bikin saya ngerasa nggak ada apa-apanya, ngerasa nggak puas, ngerasa harus mengejar dan melebihi mereka, ngerasa..... gitu deh. Harus ini, itu, tapi pada akhirnya justru looking down sendiri dan nyerah. Kayak semacam, self-pity heroin.

Mmmm, kayak, we are too busy to look at other people's achievements and sometimes we don't realize that we shrug our shoulder, or sighing with a loud voice say, "kayaknya gue nggak bisa deh sesukses dia", "Ya dia kan emang udah kaya dari sananya", "Emang dari dulu pinter banget sih", "Gue banyak yang harus ditanggung", dll, dll, dll.

Nah, terkadang, kita terlalu nge-push diri kita sendiri, sampai kita lupa buat bersyukur. Nggak ada yang salah dengan punya mimpi yang tinggi. Bahkan buat saya, mimpi itu harus tinggi! Iya, karena kita cuma dikasih Tuhan hidup satu kali, masa nggak mau dimanfaatkan dengan semaksimal yang kita bisa?

Tapiiiii, jangan lupa untuk merayakan langkah demi langkah yang udah berhasil kita jalani. Misal, "Goal gue tuh bisa punya gaji perbulan 35 juta! Masa sekarang masih 3,5 juta aja sih?", Bandingkan dengan, "Goal gue bisa punya gaji 35 juta/bulan. Sekarang udah 10 persennya nih, asiiik tinggal 90 persen lagi!". Beda ya? He euh. Ternyata, what matters most is: selalu tentang cara kita mengucapkan ya. 

Pemilihan kata-kata kita itu bisa berdampak banget ke diri kita sendiri, menimbulkan pesimis atau menaruh optimis. Situasinya sama, tapi yang tersampaikan bisa beda jauh, tergantung cara kita melihat, merasa, dan berbicara.

Dan ketika saya memikirkan tentang "celebrating progress" ini, saya jadi semacam diingatkan kembali, sebenarnya selama ini saya melangkahnya tuh ke mana? Tujuan awal saya apa? Arahnya mau ke mana dan rute yang saya pilih lewat jalur apa. Dari situ, saya mulai merunutkan lagi, apakah track saya masih sama seperti di awal, atau saya mau putar kemudi dan ganti arah tujuan nih, Either saya mau tetep jalan sesuai rencana atau ganti yang baru, nggak ada yang salah. Yang salah ketika keasikan tidur dan jadi nggak tau udah sampai mana dan akan ke mana.

Yes, sometimes we have to stop for a moment and look around. This is all we have, this is what we get, what we have to do now, where we have to go next. And that way, it'll make us grateful, instead of groanful. :)


"Fixing your eyes on the goal may discourage and frustrating, but celebrating progress gives you energy, strength, and persistance to carry on. Looking at the distant dream makes you want to give up, but celebrating progress makes you want to continue the fight. So celebrate progress, and before you know it, you may have hit your goal." -Edward Suhadi.



PS: Jadi, Rima udah tau abis ini mau apa? Mmmmhhhh.... Belum. Mau kamu aja gimana?
~~~~ᕕ( ᐛ )ᕗ

It's true that we never know how precious things and times are, until it gone. Another 30 days passed. Not just an ordinary month but Ramadan. A full month of blessings, gifts, and forgiveness.

I wonder how was I undergo the Ramadan this year. Am I really giving the best out of mine? Am I really going throughout it to the fullest? Am I really using this precious time to get closer and closer to God?

I guess not. So here I am, praying and hoping that this won't be my last Ramadan. That there are still plenty, and many more years to come. And to the holy month I love, thank you, thank you, thank you. I've been receiving so many joys and blessings, that I can't get enough but to feel grateful.

To the breath and heartbeats. To the life and living. To the hardships and strength. To the trials and patience. To the lost and willingness to let go. To the experiences and lessons. To the smile and happiness. To every little thing that matters. :)

I believe everything happens for a reason. I've always been a firm believer of that. Life always works itself out. The people we meet, the places we were taken to, the experiences we got to deal with. Sometimes we don't get it, sometimes we feel lost or out of place, sometimes we just don't understand. But then, there just comes a time. A time when we finally realize that everything falls perfectly together, seaming itself into becoming a complete pieces.

Now, we make it to the next new page of a new book. A book of stories, life, journey that still white, pure, and empty. How will we write on it, the path we will take, the choices we will make, determine the end of the result of our new book.

Are you ready?


PS: Eid Mubarak! May the auspicious occasion of Eid bless us with peace and bring joy to our heart and home! :)


Warmest greetings,

Rims.




This will be the most personal -and the longest, hardest writing I've ever write, In my 22 going on 23 years of existence.

\

Menurut lo, bener nggak setiap orang, setiap manusia, pasti punya topengnya masing-masing? Gue adalah orang yang sangat meyakini hal itu. People wear their masks of emotions. Kayak pakaian, kita memilih topeng seperti apa, modelnya kayak gimana, yang mau kita perlihatkan ke orang lain. Dan sama kayak pakaian, nggak ada juga yang mau jalan-jalan dalam keadaan telanjang. Pun, sama kayak pakaian, kita akan berusaha tampil se-menarik mungkin untuk nutupin kekurangan.

Beberapa tahun belakangan, gue mengalami masa-masa dan fase hidup yang menurut gue, sepanjang gue 'ada', adalah yang paling berat. Mungkin terberat setelah dulu ditanya Tuhan mau milih untuk lahir sebagai manusia atau kucing anggora. I've been hit the rock bottoms, jatuh setajuh-jatuhnya, kehilangan segala-galanya, semuanya bener-bener gue alami. Dan ini, bukan lagi ngomongin kisah cinta-cintaan kehilangan pacar trus galau, nggak sama sekali.

Ada part dalam hidup gue itu, yang nggak pernah gue ceritakan ke siapapun. I repeat, ke siapapun. Kecuali gue dan keluarga gue yang mengalami langsung, dan saudara-saudara yang emang tau kondisinya. Tapi untuk menceritakan ke orang lain, bahkan ke orang-orang terdekat, dari mulut gue sendiri, nggak pernah gue lakuin........ sampai satu bulan terakhir ini.

Di masa-masa yang berat banget, gue mengalami sejuta pergolakan batin dan emosi. Kekalutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, ke-putus-asaan, ke-nggak mampuan untuk menerima keadaan, keinginan yang besar banget untuk melarikan diri, semuanya campur aduk jadi satu. Nggak pernah kepikir dan kebayang sama sekali, bahwa gue akan ada di titik tersebut, dan mengalami hal se-'mengerikan' itu. Kayak dunia gue yang tadinya aman, tentram, dan damai kayak air yang ada di dalam baskom, tiba-tiba dibalik gitu aja dan tumpah semua-muanya, sampai habis.


\

Tapi ditengah keterpurukan itu, ternyata ego gue sebagai manusia nggak ikut hilang. Gue nggak mau orang tau dan melihat gue sebagai seorang Rima yang 'hancur'. Apalagi, gue sebelumnya terbiasa untuk memperlihatkan diri sebagai orang yang 'hidupnya-yaudah-gitu-aja-kayak-nggak-ada-masalah-ya-normal-dan-datar'. Gue masih ingin untuk terlihat baik-baik aja.

Kenapa? Karena gue takut. Takut orang lain nggak menerima keadaan gue yang berubah 180 derajat. Takut dengan judgment dan omongan-omongan orang yang buruk tentang gue. Takut kehilangan 'muka'. Takut semuanya nggak lagi sama. Gue malu. Malu untuk menceritakannya. Gue bingung. Bingung harus mulai dari mana. Di satu sisi, gue pengen terlihat baik-baik aja, tapi di sisi lain, gue tau gue terpuruk banget dan butuh bantuan.

Dan pada akhirnya, gue merasa gue nggak bisa sendirian. Gue pengen keluar dari masalah ini dan ngelupain semua-muanya. Gue butuh orang lain untuk bisa menambal hidup gue yang bolong itu. Gue butuh pelarian. Gue pada akhirnya juga, jadi kayak semacam 'craving' and 'seeking' love and affection for validation. Caranya gimana?

Demi punya seseorang yang bisa 'ada' buat gue dan bikin gue seneng, gue jadi kayak rela ngelakuin apa aja untuk keeping that person. Gue semacam..... hmmm bahasanya gimana yah, willing to do anything, willing to be everything, willing to serve and give anything and everything that left in me. Sampai akhirnya, orang yang menjadi pegangan dan sandaran gue itu juga hilang.


\

Ketika kehilangan demi kehilangan, keterpurukan demi keterpurukan itu yang seakan nggak ada ujungnya, I reedem myself. Ketika lo udah nggak punya apa-apa, you have nothing to lose. Itu bener-bener gue rasain. Dan gue mencoba untuk kembali memungut apa yang tersisa.

I made unforgivable mistakes to my own family, that I forever will regret. Nggak ada hal yang bisa gue lakuin untuk menebus dosa gue itu, selain untuk mencurahkan kasih sayang, perhatian, dan segala yang gue punya sekarang untuk mereka. Gue punya banyak hutang dan keinginan yang belum bisa gue wujudin buat mamah, ayah, dan adik gue, dan karena ke-belum mampuan gue, gue berusaha untuk setidaknya, selalu ada buat mereka.

Ketika gue nggak punya apa-apa itu, gue sadar kalau ya yang kesisa sekarang cuma keluarga gue sendiri. And instead of running away from them, leaving them behind, I should stick together with them. Because they're part of myself, and I'm a part of them. We just have our own selves, together. Dan ketika kami justru terpecah belah, apalagi yang bisa tersisa?

Gue belajar untuk menghargai orang lain. Sangat, sangat, sangat. Semenjak gue sadar kalau gue ngebutuhin perhatian dan kasih sayang dari orang lain banget, gue tau kalau manusia memang butuh satu sama lain. Gue tau gimana rasanya ketika lo ngebutuhin uluran tangan, tapi nggak ada yang bersedia menolong lo. Gue tau gimana rasanya ketika lo butuh tempat cerita, tapi nggak ada yang menunjukkan tanda peduli. Gue tau gimana, manusia, kadang ada ketika kita diatas, tapi hilang gitu aja ketika kita lagi dibawah. Gue tau gimana manusia kadang lupa untuk menghargai orang lain. Habis manis sepah dibuang? Cuma dateng pas butuh doang? Gue khatam banget sama hal-hal itu.

Dan semenjak itu gue semacam bilang ke diri gue sendiri, "gue nggak mau ada orang yang ngalamin hal yang sama kayak gue. Gue harus bisa ada buat orang lain, gue harus bisa ngebantu apapun sebisa gue, gue nggak boleh pelit, gue nggak boleh sedikitpun ngelupain kebaikan orang." Karena gue tau gimana nggak enaknya, gimana marahnya, gimana ngerasa sakit hatinya, ketika lo ada di posisi itu.

Kayak sebagian besar manusia yang hilang arah juga, gue kembali nemuin Tuhan. Tuhan pasti sebel banget sama gue, ketika gue ngerasa nggak lagi punya pegangan apa-apa, baru deh gue nangis-nangis sujud-sujud ke Tuhan. Udah gitu pake marah-marah dan menuntut keadilan pula. Padahal giliran gue lagi dikasih seneng, ngucapin rasa syukur aja kadang gue lupa.

To sum it up, gue berusaha untuk menerima keadaan. Gue berusaha untuk berdamai, dan yaudah ngejalanin apa yang ada di depan. Apa yang bisa gue lakuin, apa yang Tuhan izinin, apa yang semesta kasih. Gue merasa, gue *udah* menerima itu semua.


Tapi gue baru sadar sebulan belakangan ini kalau gue belum bener-bener menerima deh. Gue masih menutup itu semua, gue masih merahasiakan keadaan gue, gue malah jadi membatasi diri gue sama orang lain. Tau nggak, salah satu alasan gue untuk memilih nggak berpasangan dulu adalah: karena gue mau sukses. Gue nggak mau pasangan gue ngeliat gue yang hancur. Gue nggak mau terlihat buruk dan rendah. Gue nggak boleh keliatan lemah. Nggak cuma soal pasangan, di pertemanan juga gitu. Gue nggak mau terlalu attached sama orang dan ngebiarin temen-temen gue tau bobroknya gue. Gue harus terlihat selalu seneng dan ketawa.

Tuh kaaaaan, trus apa bedanya dong gue sama yang dulu? Katanya udah nerimaaa?



\

Nah, di sinilah gue kayak ngalamin titik balik lagi. Gue nggak pernah nyangka kalau pertemuan gue dengan orang baru ini, bisa mengubah banyak hal dari diri gue. Orang yang bertahun-tahun deket sama gue aja nggak pernah bisa gue ceritain tentang masalah ini, tapi dia yang baru gue kenal beberapa bulan malah bisa ngurek hal-hal yang selama ini gue pendem sendiri. Wow.... Gue amazed.
Awalnya gue takut, gue malu, gue insecure, gue rendah diri, gue maju-mundur untuk cerita nggak ya, cerita nggak ya. Tapi entah kenapa gue pengen banget cerita. Gue pengen banget dia dengerin dan tau tentang gue. Gue pengen membuka diri gue. Pun kenapa akhirnya gue tiba-tiba nulis post yang sangat panjang ini di sini.

Gue capek terus-terusan pake topeng yang nggak pernah gue lepas selama bertahun-tahun, sampai di dalamnya justru jadi makin rusak dan keropos. Dan untuk ngebuka topeng yang selama ini melekat di atas muka lo itu, ngebutuhin keberanian yang luar biasa. Banyak ketakutan yang berkecamuk. Tapi ternyata, ketika gue ngebukanya, gue kayak bisa bernafas dengan lega lagi.

Ada seorang teman yang pernah ngomong, intinya, selama orang lain nggak ngurusin hidup lo, nggak ngebantuin hidup lo, nggak ngebayarin hidup lo, ya kenapa lo harus pusingin apa kata mereka? Ada orang yang bisa nerima lo, ada yang enggak. Ya trus kalo nggak semua orang bisa nerima lo, apa masalahnya?

Iya juga ya..... This is my life. I know it's messed up. It's full of flaws and dark past. It's totally imperfect. It's far from normal. It's not as great as yours. But, so what? I still want to live, and I have to keep living.


Ternyata, mungkin selama ini gue bukan takut orang lain nggak bisa menerima gue, tapi gue yang belum bisa menerima diri gue sendiri.

Duh, panjang banget kek bikin biografi. Hehehe.


\

So now, then what?
I simply want to start a new beginning. Memulai hubungan yang baik dan jujur dengan orang lain. Membiarkan orang lain melihat diri gue apa adanya, dan membiarkan mereka memilih, untuk menerima atau nggak. Menjadi orang yang lebih menghargai diri sendiri, sebelum gue bisa menghargai orang lain. I was restless and unkind even to myself. I pushed myself too hard, I was set the bars too high, tapi sekarang gue mau melepaskan semua beban itu.

I'm not gonna feel inadequate and undeserving for being the way I am anymore. I won't desperately try to change myself for winning other's heart. I won't seek attention and affection for validation, instead I will give a lots of love I have for my special peoples.

The most important thing is, I learn to accept and to be accepted. I have to accept my past, my flaws, my mistakes, and my every wrong turn I take. Humans are imperfect. It is okay to hit the bottom, to failed many times, to feel down and broken, to get lost in this world. But in the end, we have to live the life to the fullest.


Kalau kata Ha No Ra di drama 20 Again yang inspiring banget itu: "Living my life by other people's standards is meaningless. Being overly cautious and try to impress people doesn't make them like you more. You can't force someone to like you. If they get away, then they get away."



Dan gue percaya, akan ada orang-orang yang tau segimana jeleknya, bobroknya, hancurnya, dan nggak sempurnanya kita, they still love us and want to be with us, in their life.

Semoga. :)



Newer Posts
Older Posts

Hello, It's Rima!

Hello, It's Rima!
A free-spirited hippy type that often get soaked from dive so deep into her complex thoughts and a lot of big feelings.

Labels

asi vs sufor engagement korean drama life menujurrumah parenthood Rania review film rima's k-drama recap

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2020 (3)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2019 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2018 (10)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2017 (5)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  April (2)
  • ▼  2016 (35)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ▼  Juli (6)
      • Tentang KAMU dan Sepi
      • Every Little Thing Matters
      • ENFP, Baby
      • Celebrating Progress
      • The End Of The Holy Month
      • Accepting And To Be Accepted
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2015 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2014 (40)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2013 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2012 (31)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)

Find something

Most Popular

  • Apa Cita-Citamu?
  • Everybody's Changing
  • Lumos
  • Do Something, Make Something
  • We Can't Wait Forever
  • Nozomi, A Hope
  • Conquering Query

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates