Accepting And To Be Accepted
This will be the most personal -and the longest, hardest writing I've
ever write, In my 22 going on 23 years of existence.
\
Menurut lo, bener nggak setiap orang, setiap manusia, pasti
punya topengnya masing-masing? Gue adalah orang yang sangat meyakini hal itu.
People wear their masks of emotions. Kayak pakaian, kita memilih topeng seperti
apa, modelnya kayak gimana, yang mau kita perlihatkan ke orang lain. Dan sama
kayak pakaian, nggak ada juga yang mau jalan-jalan dalam keadaan telanjang. Pun,
sama kayak pakaian, kita akan berusaha tampil se-menarik mungkin untuk nutupin
kekurangan.
Beberapa tahun belakangan, gue mengalami masa-masa dan fase
hidup yang menurut gue, sepanjang gue 'ada', adalah yang paling berat. Mungkin
terberat setelah dulu ditanya Tuhan mau milih untuk lahir sebagai manusia atau
kucing anggora. I've been hit the rock bottoms, jatuh setajuh-jatuhnya,
kehilangan segala-galanya, semuanya bener-bener gue alami. Dan ini, bukan lagi
ngomongin kisah cinta-cintaan kehilangan pacar trus galau, nggak sama sekali.
Ada part dalam hidup gue itu, yang nggak pernah gue
ceritakan ke siapapun. I repeat, ke siapapun. Kecuali gue dan keluarga gue yang
mengalami langsung, dan saudara-saudara yang emang tau kondisinya. Tapi untuk
menceritakan ke orang lain, bahkan ke orang-orang terdekat, dari mulut gue
sendiri, nggak pernah gue lakuin........ sampai satu bulan terakhir ini.
Di masa-masa yang berat banget, gue mengalami sejuta
pergolakan batin dan emosi. Kekalutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan,
ke-putus-asaan, ke-nggak mampuan untuk menerima keadaan, keinginan yang besar
banget untuk melarikan diri, semuanya campur aduk jadi satu. Nggak pernah
kepikir dan kebayang sama sekali, bahwa gue akan ada di titik tersebut, dan
mengalami hal se-'mengerikan' itu. Kayak dunia gue yang tadinya aman, tentram,
dan damai kayak air yang ada di dalam baskom, tiba-tiba dibalik gitu aja dan
tumpah semua-muanya, sampai habis.
\
Tapi ditengah keterpurukan itu, ternyata ego gue sebagai
manusia nggak ikut hilang. Gue nggak mau orang tau dan melihat gue sebagai
seorang Rima yang 'hancur'. Apalagi, gue sebelumnya terbiasa untuk
memperlihatkan diri sebagai orang yang 'hidupnya-yaudah-gitu-aja-kayak-nggak-ada-masalah-ya-normal-dan-datar'.
Gue masih ingin untuk terlihat baik-baik aja.
Kenapa? Karena gue takut. Takut orang lain nggak menerima
keadaan gue yang berubah 180 derajat. Takut dengan judgment dan omongan-omongan
orang yang buruk tentang gue. Takut kehilangan 'muka'. Takut semuanya nggak
lagi sama. Gue malu. Malu untuk menceritakannya. Gue bingung. Bingung harus
mulai dari mana. Di satu sisi, gue pengen terlihat baik-baik aja, tapi di sisi
lain, gue tau gue terpuruk banget dan butuh bantuan.
Dan pada akhirnya, gue merasa gue nggak bisa sendirian. Gue
pengen keluar dari masalah ini dan ngelupain semua-muanya. Gue butuh orang lain
untuk bisa menambal hidup gue yang bolong itu. Gue butuh pelarian. Gue pada
akhirnya juga, jadi kayak semacam 'craving' and 'seeking' love and affection
for validation. Caranya gimana?
Demi punya seseorang yang bisa 'ada' buat gue dan bikin gue
seneng, gue jadi kayak rela ngelakuin apa aja untuk keeping that person. Gue
semacam..... hmmm bahasanya gimana yah, willing to do anything, willing to be
everything, willing to serve and give anything and everything that left in me. Sampai
akhirnya, orang yang menjadi pegangan dan sandaran gue itu juga hilang.
\
Ketika kehilangan demi kehilangan, keterpurukan demi
keterpurukan itu yang seakan nggak ada ujungnya, I reedem myself. Ketika lo
udah nggak punya apa-apa, you have nothing to lose. Itu bener-bener gue rasain.
Dan gue mencoba untuk kembali memungut apa yang tersisa.
I made unforgivable mistakes to my own family, that I
forever will regret. Nggak ada hal yang bisa gue lakuin untuk menebus dosa gue
itu, selain untuk mencurahkan kasih sayang, perhatian, dan segala yang gue
punya sekarang untuk mereka. Gue punya banyak hutang dan keinginan yang belum
bisa gue wujudin buat mamah, ayah, dan adik gue, dan karena ke-belum mampuan
gue, gue berusaha untuk setidaknya, selalu ada buat mereka.
Ketika gue nggak punya apa-apa itu, gue sadar kalau ya yang
kesisa sekarang cuma keluarga gue sendiri. And instead of running away from
them, leaving them behind, I should stick together with them. Because they're
part of myself, and I'm a part of them. We just have our own selves, together.
Dan ketika kami justru terpecah belah, apalagi yang bisa tersisa?
Gue belajar untuk menghargai orang lain. Sangat, sangat,
sangat. Semenjak gue sadar kalau gue ngebutuhin perhatian dan kasih sayang dari
orang lain banget, gue tau kalau manusia memang butuh satu sama lain. Gue tau
gimana rasanya ketika lo ngebutuhin uluran tangan, tapi nggak ada yang bersedia
menolong lo. Gue tau gimana rasanya ketika lo butuh tempat cerita, tapi nggak
ada yang menunjukkan tanda peduli. Gue tau gimana, manusia, kadang ada ketika
kita diatas, tapi hilang gitu aja ketika kita lagi dibawah. Gue tau gimana
manusia kadang lupa untuk menghargai orang lain. Habis manis sepah dibuang?
Cuma dateng pas butuh doang? Gue khatam banget sama hal-hal itu.
Dan semenjak itu gue semacam bilang ke diri gue sendiri,
"gue nggak mau ada orang yang ngalamin hal yang sama kayak gue. Gue harus
bisa ada buat orang lain, gue harus bisa ngebantu apapun sebisa gue, gue nggak
boleh pelit, gue nggak boleh sedikitpun ngelupain kebaikan orang." Karena
gue tau gimana nggak enaknya, gimana marahnya, gimana ngerasa sakit hatinya,
ketika lo ada di posisi itu.
Kayak sebagian besar manusia yang hilang arah juga, gue
kembali nemuin Tuhan. Tuhan pasti sebel banget sama gue, ketika gue ngerasa
nggak lagi punya pegangan apa-apa, baru deh gue nangis-nangis sujud-sujud ke
Tuhan. Udah gitu pake marah-marah dan menuntut keadilan pula. Padahal giliran
gue lagi dikasih seneng, ngucapin rasa syukur aja kadang gue lupa.
To sum it up, gue berusaha untuk menerima keadaan. Gue
berusaha untuk berdamai, dan yaudah ngejalanin apa yang ada di depan. Apa yang
bisa gue lakuin, apa yang Tuhan izinin, apa yang semesta kasih. Gue merasa, gue
*udah* menerima itu semua.
Tapi gue baru sadar sebulan belakangan ini kalau gue belum
bener-bener menerima deh. Gue masih menutup itu semua, gue masih merahasiakan
keadaan gue, gue malah jadi membatasi diri gue sama orang lain. Tau nggak,
salah satu alasan gue untuk memilih nggak berpasangan dulu adalah: karena gue
mau sukses. Gue nggak mau pasangan gue ngeliat gue yang hancur. Gue
nggak mau terlihat buruk dan rendah. Gue nggak boleh keliatan lemah. Nggak cuma
soal pasangan, di pertemanan juga gitu. Gue nggak mau terlalu attached sama
orang dan ngebiarin temen-temen gue tau bobroknya gue. Gue harus terlihat
selalu seneng dan ketawa.
Tuh kaaaaan, trus apa bedanya dong gue sama yang dulu?
Katanya udah nerimaaa?
\
Nah, di sinilah gue kayak ngalamin titik balik lagi. Gue
nggak pernah nyangka kalau pertemuan gue dengan orang baru ini, bisa
mengubah banyak hal dari diri gue. Orang yang bertahun-tahun deket sama gue aja
nggak pernah bisa gue ceritain tentang masalah ini, tapi dia yang baru gue
kenal beberapa bulan malah bisa ngurek hal-hal yang selama ini gue pendem
sendiri. Wow.... Gue amazed.
Awalnya gue takut, gue malu, gue insecure, gue rendah diri,
gue maju-mundur untuk cerita nggak ya, cerita nggak ya. Tapi entah kenapa gue
pengen banget cerita. Gue pengen banget dia dengerin dan tau tentang gue.
Gue pengen membuka diri gue. Pun kenapa akhirnya gue tiba-tiba nulis post yang
sangat panjang ini di sini.
Gue capek terus-terusan pake topeng yang nggak pernah gue
lepas selama bertahun-tahun, sampai di dalamnya justru jadi makin rusak dan
keropos. Dan untuk ngebuka topeng yang selama ini melekat di atas muka lo itu,
ngebutuhin keberanian yang luar biasa. Banyak ketakutan yang berkecamuk. Tapi
ternyata, ketika gue ngebukanya, gue kayak bisa bernafas dengan lega lagi.
Ada seorang teman yang pernah ngomong, intinya, selama orang
lain nggak ngurusin hidup lo, nggak ngebantuin hidup lo, nggak ngebayarin hidup
lo, ya kenapa lo harus pusingin apa kata mereka? Ada orang yang bisa nerima lo,
ada yang enggak. Ya trus kalo nggak semua orang bisa nerima lo, apa masalahnya?
Iya juga ya..... This is my life. I know it's messed up.
It's full of flaws and dark past. It's totally imperfect. It's far from normal.
It's not as great as yours. But, so what? I still want to live, and I have to
keep living.
Ternyata, mungkin selama ini gue bukan takut orang lain
nggak bisa menerima gue, tapi gue yang belum bisa menerima diri gue sendiri.
Duh, panjang banget kek bikin biografi. Hehehe.
\
So now, then what?
I simply want to start a new beginning. Memulai hubungan
yang baik dan jujur dengan orang lain. Membiarkan orang lain melihat diri gue
apa adanya, dan membiarkan mereka memilih, untuk menerima atau nggak. Menjadi
orang yang lebih menghargai diri sendiri, sebelum gue bisa menghargai orang
lain. I was restless and unkind even to myself. I pushed myself too hard, I was
set the bars too high, tapi sekarang gue mau melepaskan semua beban itu.
I'm not gonna feel inadequate and undeserving for being the
way I am anymore. I won't desperately try to change myself for winning other's
heart. I won't seek attention and affection for validation, instead I will give
a lots of love I have for my special peoples.
The most important thing is, I learn to accept and to be
accepted. I have to accept my past, my flaws, my mistakes, and my every wrong
turn I take. Humans are imperfect. It is okay to hit the bottom, to failed many
times, to feel down and broken, to get lost in this world. But in the end, we
have to live the life to the fullest.
Kalau kata Ha No Ra di drama 20 Again yang inspiring banget
itu: "Living my life by other people's standards is meaningless. Being
overly cautious and try to impress people doesn't make them like you more. You
can't force someone to like you. If they get away, then they get away."
Dan gue percaya, akan ada orang-orang yang tau segimana
jeleknya, bobroknya, hancurnya, dan nggak sempurnanya kita, they still love us
and want to be with us, in their life.
Semoga. :)
0 comments