twitter instagram linkedin
  • HOME

Beberapa hari-bahkan minggu- belakangan ini, pembicaraan-pembicaraan di sekeliling saya lagi dipenuhi sama pembahasan dan diskusi mengenai: kesetaraan, gender, prinsip, pernikahan, hingga hidup. Iyah, sungguh sangat mengherankan, bisa se-berfaedah itu topiknya, hahaha. Yang bikin otak jadi'penuh' sendiri, haha. Kira-kira (sebagian) isinya gini nih:

"Kenapa sih, perempuan kan koar-koar tentang emansipasi, tapi kalau di busway/kereta, maunya diproritasin untuk duduk? Ini terlepas dari lansia atau ibu hamil ya, perempuan biasa aja gitu."

"Kenapa perempuan tuh selalu dianggap/menganggap dirinya lemah, padahal jelas-jelas perempuan justru punya endurance yang lebih daripada laki-laki. Makanya, perempuan sanggup menstruasi, hamil sembilan bulan, melahirkan, sampe menyusui."

"Indonesia masih butuh feminis, tapi feminis yang ngerti permasalahan, dan kebutuhan perempuan yang sebenernya, di ranah bawah, di daerah, orang-orang yang masih kurang pendidikan dan masih terbelakang. Nggak cuma koar-koar pake permasalahan orang kota doang."

"Kenapa cewek kalo manja, kesannya tuh nyusahin cowok banget. Padahal kalo cowok yang manja, cewek biasa aja, malah seneng."

"Apa sih bedanya manja sama nggak mandiri?"

"Menurut lo bener nggak, kalau gimanapun juga, cowok emang kodratnya sebagai pemimpin. Apalagi dalam rumah tangga?"

"Di Indonesia tuh, penghasilan suami ya untuk suami sama istri. Kalo penghasilan istri, buat dirinya sendiri. Tapi gue sama istri gue nggak apa-apa sih, kayak gitu."

"Itu menjunjung tinggi kesetaraan, atau sebenernya si cowok nggak mau/nggak mampu aja punya tanggung jawab yang lebih? Jadinya berlindung di balik 'kesetaraan'."

"Kalo cowoknya punya penghasilan yang lebih rendah dari si ceweknya, apa cowok masih tetep harus menafkahi si cewek?"

"Tapi ketika menikah kan, cowok mengambil alih seluruh tanggung jawab atas si cewek, yang tadinya jadi tanggung jawab orangtua si cewek. Termasuk soal menafkahi, lahir batin."

"Waktu gue mau nikah, calon suami gue minta gue untuk belajar, seenggaknya baca-baca soal hadist tentang pernikahan, termasuk juga soal tanggung jawab dan kewajiban istri-suami."

"Gue tetep butuh nahkoda buat kapal gue nanti sih. Gue jadi co-nahkodanya."

"Kalo udah nikah, prinsip tentang finansial itu penting banget. Nggak bisa boong, kita nggak bisa hidup cuma pake cinta."

"Menurut lo, nikah tuh butuh nggak sih?"

"Gue sih butuh nikah, biar kalo nanti udah tua, ada yang ngurusin."

"Kenapa sih pernikahan harus dicatet-catet sama pemerintah?"

"Menurut gue nikah dicatet-catet tuh nggak perlu, kalo sama-sama cinta dan udah berkomitmen berdua, yaudah jalanin aja!"

"Pencatatan pernikahan itu kayak semacam 'security' gitu nggak sih?"

"Prinsip gue sebagai laki-laki sih, selama gue bisa, gue akan lakuin buat perempuan gue."

"Di atas prinsip tuh masih ada yang lebih tinggi lagi ya, yaitu kepercayaan, iman."

"Yang lebih penting tuh kesetaraan untuk mendapatkan hak nggak sih, ketimbang menyetarakan kewajiban?"

"Gue bukan feminis, gue lebih suka nyebut diri gue humanis."

"Menurut gue, di atas kesetaraan, ada yang lebih penting, yaitu keadilan. Setara nggak sama dengan adil, dan adil belum tentu setara."

"Gimana caranya menafsirkan keadilan yang bener-bener adil?"

Daaaaan..... kalau dilanjutin, akan jadi sangat panjang serta bikin makin pusing, hahahaha. Tapi seru banget ngedengerin pendapat-pendapat yang beda-beda itu. Trus, saya akhirnya cuma bisa menyimpulkan, kalau dari semua-mua yang udah diperdebatkan itu, hasilnya adalah: nggak ada kesimpulannya. :)

Iya, menurut saya, nggak ada yang benar dan yang salah. Cara berpikir dan memandang kehidupan masing-masing orang tuh bukan ilmu pasti yang bisa dikroscek bener atau nggak jawabannya, nggak kayak fisika atau kalkulus lanjut (DUH!). Menarik banget dengerin cerita adik saya tentang materi kuliahnya yang membahas gender, lalu sekelas saling melempar pendapat pro dan kontra atas sebuah situasi, yang lalu berakhir juga tanpa kesimpulan yang mutlak. Bikin saya makin pengen belajar banyak tentang sosiologi.

Terlepas dari itu, yang saya juga sadari adalah pada akhirnya, isi otak dan hati manusia emang beda-beda kok. Pun dengan perihal keyakinan, kepercayaan, serta prinsip yang dipegang. And in the end, it's okay to be different. It's okay, to agree to disagree.

Selama masing-masing nggak saling merugikan, dan meyakiti satu sama lain. Selama masing-masing nggak saling mengganggu, dan memaksakan kehendak satu sama lain. Selama masing-masing nggak memaksakan kesetaraan dalam sebuah pendapat. Saya kira, semua kembali kepada hak masing-masing manusia untuk berpendapat berkeyakinan, bahkan beragama, serta kewajibannya untuk mempertanggung jawabkan pilihannya tersebut. Lakum diinukum wa liya diin. (QS: 109; 6)

Dan kita, hanya perlu mencari serta menemukan orang yang memiliki keyakinan, kepercayaan, prinsip, serta visi dan misi yang sama dengan kita, dalam menjalani hidup. Atau, yang dengan bersama dia, kita bisa mencapai satu titik temu bernama kompromi dan komitmen, untuk tetap bisa menyelaraskan buah pikiran dan hati masing-masingnya. Itu semua hanya bisa terjadi, kalau saling terbuka dan mau membicarakannya.

Bukannya itu juga salah satu konsep dari berpasangan, ya nggak sih? Untuk bisa saling mengenal satu sama lain. Untuk bisa bersatu, bukan harus menyatu. Untuk bisa menggerakan sebuah gerobak dengan dua roda yang -nggak perlu berdempetan- tapi tetap bergerak ke arah yang sama.



Tapi kalau nggak bisa, ya nggak perlu dipaksakan. Mungkin, bukan dia orangnya. :)



Will be so much perfect and 'awww-errr' if he said it in person instead of chat. Kalau beneran ada yang macem ginih. Uwuwuwuhh banget :')
Bali, December 2016

As I grow older, I thought there are so many more important things to be thinking about, things to be done, becoming what we want to become, and all those never-ending life's matters other than love. But at the same time, I realize that human could never give up on love too. In the end, it's always the thing they -we are- all searching for, and maybe, need of. Even if they're just a teenager, twenty-somethings, or real adults.

Everyone has different yet same question about love. And these days, it seems like nearly everyone (or at least, everyone I know) is in such a hurry for finding, or settling their "true love".

I find this 'urge' to have 'the one' is somehow..... dangerous (?) that we could fell into the trap called phantasm. Just because we don't want to be alone, we told ourself that we love 'her/him'.

We think... It's okay, even we spent the dates staring each other's phones, instead of looking into each other's eyes.

We think... It's okay, even we spent hours tried to understand their stories with mind's blank and vice versa, instead of actually talking and sharing and exchanging many random things to serious matters we could repeated all over again with them without ever feels bored.

We think... It's okay, even we spent times together with them with this awkward smile, instead of laughing your ass together over silly jokes only both of you could understand.

We think... It's okay, even we spent days without having a proper communications than 'how's ur work?', 'how are u?', etc, instead of really care about each other conditions immensely.

We think... It's okay, even we spent months, years, having this 'emotional repression' and always trying to look okay, trying to be strong, trying to be happy with them, instead of crying our heart out and tell them what we need and make them a shoulder to cry on.

NO.

It is NOT okay.

We don't have to be -or feel- content with that, just because our illusion that he/she is the one, we can't lose them, we love them, we can't be alone, anymore.

Everyone deserves the right person for them.

A person who makes our heart beat faster by simply saying our name. A person who makes a big smile on our face whenever we look at them. A person who will twirl the strands of our hair around their fingers when we feel tired. A person who can understand our mixed feelings and emotions, and hold our hands to make us know, they are there for us. A person.... I don't know. Everything is different for everyone.

But I know now, what I need is... a person whom I can completely trust, a person I could lean on, a reliable person that want to protect me and all my feelings. With him, I can bare all my weakness, without having any worries. With him, I have the same vision and mission to live the life. With him, I'm sure he could be my -not only a partner, but a leader- until the afterlife.

And for meet that one who speaks for our souls, maybe we don't have to be in hurry. Maybe?


I wasn't ever really like my month actually. I never did.

November itu...... hujan lagi deras-derasnya. Musim liburan udah lewat. Jarang ada tanggal merah. Nggak ada hari besar atau perayaan yang seru. Pokoknya, kayak bulan yang pengen dicepetin biar buruan ketemu sama Desember, trus tahun baru.

Selama dua puluh-sekian tahun ngelewatin hari lahir di bulan November, lebih dari setengahnya pasti hujan. Dan itu, bikin gue sebel. Acara ultah yang berantakan, surprise yang gagal. Dua tahun lalu, gue ngurung diri seharian, dan me-non aktifkan hape gue sepanjang hari. Ceritanya mau kontemplasi, hahaha. Muram abis. Dan tahun kemarin yang paling parah, gue pulang kantor hujan-hujanan, lalu disambut macet nggak bergerak di jalan Fatmawati, dan nyampe rumah dalam waktu 3,5 jam. Dan begitu gue sampe rumah, sodara-sodara gue yang tadinya kumpul udah pada pulang, dan nyokap gue udah tidur.

Nah tahun ini, gue merencanakan sejak beberapa bulan sebelumnya. Bahwa gue pengen melewati hari tersebut di tempat yang bener-bener asing, yang belum pernah gue kunjungi. Sebenernya kedok aja sih, biar bisa liburan, hahaha. Dan highlightnya, gue pengen coba liburan sendirian. Ala-ala solo traveler getoooh. Biar kontemplasinya lebih maksimal. Yha.

Kepergian gue kemarin kayak ke-impulsif-an yang direncanakan. Ide dan dorongan itu dateng gitu aja, lalu gue merencanakannya dengan memilih tempat mana yang mau gue datengin. Pilihan gue jatuh ke Belitung. Kenapa? Nggak ada alasan yang khusus, sih, sebenernya. Tiba-tiba aja kepikiran Belitung, kayak ada lampu-lampu nyala gitu di otak, "a-ha! Ke Belitung ah!".

Yaudah, trus gitu. Sok-sokan mau backpacking, trus browsing-browsing ke blog-blog banyak orang. Dan dari situ mesen tiket penginapan. Beli tiket pesawat. Done. Lainnya, gue nggak merencanakan apapun. Nggak bikin itinerary, nggak punya destinasi yang harus gue kunjungi, apapun. Yang gue persiapkan cuma: harus nyewa motor untuk keliling sendirian, karena di sana nggak ada kendaraan umum sama sekali.

Masalah selanjutnya adalah izin. Dengan orang tua gue yang begitu protektifnya (yang anaknya jam 9 malem belum pulang aja udah di-rong-rong), gue bingung banget mesti gimana minta izinnya. Bilang traveling sendirian sama aja cari mati. Udah gitu di hari ultah pula. Setelah maksa minta izin berbekal "udah beli tiket segala macem dan nggak bisa di-refund", serta kelihaian dalam bersilat lidah dan mencari celah, akhirnya nyokap dengan berat hati ngizinin.

Laluuuu, karena ini awalnya bukan mau nyeritain tentang liburan, jadi kita skip aja yah otak dan tangan, kenapa kamu malah nulis ngalor ngidul sih zzzzzzzzzzzzzzzzzzzz baiklah. Jadi, apa yang gue dapatkan dari liburan berkedok kontemplasi di pulau seberang tersebut? Pleasant surprises. :)

Banyak bangeeeeetttt kejutan-kejutan yang terjadi, and it's so magical ♥♥♥ And I got the very BEST surprise I've ever got on my whole existence. Sampe speechless nggak tau harus gimana, ngomong apa, berbuat apa. Cuma bisa mikir berulang kali, ini beneran nggak sih? :))

Dan setelah itu, Tuhan masih ngasih kejutan-kejutan lain untuk gue, sepanjang bulan. Membuat gue nggak boleh lupa untuk terus bersyukur, dan membuang jauh-jauh pikiran kalau gue kena jinx dan selalu ngerasa muram di bulan November.  Apakah kejutannya selalu menyenangkan? Jelas nggak, tapi menentramkan. Mengajarkan gue untuk terus dan terus melapangkan hati, membuka pikiran lebih luas lagi dan melihat segala sesuatu as one big picture, sekaligus mengingatkan, kalau susah senang dalam hidup emang harus gue hadapi, dan hidup adalah perjalanan. Yang akan gue tinggalin juga pada akhirnya, entah kapan. Dan masih ada perjalanan lain menanti gue, setelah kehidupan yang satu ini. Untuk itu, gue harus bersiap-siap, dan menabung.

Yang gue cari juga dari perjalanan sendiri gue kemarin, adalah bahwa gue pengen membiasakan kesendirian. Bahwa gue harus bisa bergantung kepada diri gue sendiri, bukan ke orang lain, siapapun itu, Bahwa gue harus bisa berteman dengan baik dengan diri gue sendiri, dan mengenal diri gue lebih baik dari siapapun. Bahwa gue harus percaya, kalau kesendirian itu baik adanya.

Hasilnya? Ternyata pergi sendirian emang menyenangkan Gue bisa bengong-bengong sepuasnya, beraniin diri pergi ke tempat-tempat yang asing, ketemu orang-orang baru dan berkenalan dengan manusia-manusia lain, bertukar cerita, anything, kayak apa yang udah sering dipaparkan oleh para solo traveler. It was a rare yet zuper duper exciting and precious experience! Dan mudah-mudahan, ini goals sih, bukan menjadi pengalaman solo traveling gue yang terakhir. Pengen lagi lagi dan lagi!

But at the end, when I was all alone and suddenly I saw him in front of my door, I know I'm finally home.


and I don't want to be alone anymore. :)








Ps: Jadi, apakah tahun ini ulang tahunnya bebas dari hujan? Ooooo tentu tidak. Di Belitung, 13 November kemarin adalah salah satu hujan yang nyebabin banjir terparah. Dan hujannya nggak berhenti dari jam 3 pagi sampai jam 3 sore.

Ps 2: Padahal hari besoknya langsung cerah banget.

Ps 3: Kayaknya emang udah nasib, ulang tahun selalu hujan. Di manapun. Hahahaha.

Hampir dua bulan lalu, gue memutuskan untuk meng-uninstall Path di hape gue. Aplikasi yang selama beberapa tahun terakhir, jadi salah satu aplikasi yang paling sering gue buka tiap kali gue memegang hape. Yang ikonnya sampe gue taro di home screen, biar gampang nyarinya. Yang tiap hari pasti gue scroll, walaupun nggak lagi meng-update apapun. Yang bikin gue tau segala jenis update-an temen-temen gue, mereka lagi ngapain, mereka lagi di mana, mereka habis nonton film apa, mereka lagi dengerin lagu apa. Yang bikin gue pun *serasa* nggak mau kalah untuk ikutan meng-update segala macem hal dalam hidup gue, dari mulai yang nggak penting sampai yang penting tapi sebenernya nggak perlu juga orang tau.

Sampai akhirnya, suatu ketika gue mikir.... "what the hell I'm doing". Dan gue ngerasa capek dan muak dan 'penuh' sama kehidupan di Path itu. Apa ya, ngerasa terlalu bising dan nggak memberikan gue ruang untuk bernapas dan akhirnya gue memutuskan untuk keluar. Gue pun meng-uninstall aplikasi tersebut dengan pesimisme yang sangat tinggi (HAHAHA), dan yakin kalau gue nggak bakalan tahan lama-lama nggak main Path. Tapi ternyata, dua bulan kemudian....

Hey, it turns out I actually okay and nothing is feel missing. Emang sih gue sangat ketinggalan berita dan gosip-gosip apapun itu. Sampai waktu gue ketemuan sama temen-temen kuliah gue dan mereka ngomongin suatu hal yang gue nggak ngerti, dan salah seorang temen gue bilang, " Itu ada di Path tauuuuu, lo ngilang sih!". And I'm like..... Errrr....

Whaaaa, ternyata segitunya ya sekarang orang dianggap hilang ketika nggak aktif di media sosial. Padahal gue cuma berhenti mainan satu platform loh. Dan gara-gara nggak nge-Path juga, gue malah nyari pelarian ke media sosial lainnya, Instagram. Satu tahun yang lalu, gue nggak sebegininya sama IG. Sekarang, nggak ada seharipun gue nggak buka IG. Dari emang update foto setelah mikir lama, milih-milih yang paling instagram-able, nungguin prime time, deg-degan bakalan dapet likes banyak nggak, trus jadi ngelihat-lihat feeds orang, dari temen sampai yang nggak gue kenal. Trus berakhir dengan penyesalan (yang selalu terjadi, tapi juga selalu gue ulangi).

Gue sering bilang ke diri gue sendiri, "Rim plis deh, get a life kali! Ngapain sih mainan medsos mulu, ngeliatin hidup orang mulu," tapi nyatanya, sekarang justru orang-orang merasa living their life kalau udah udpate sesuatu di media sosial. Ya nggak sih? Coba aja perhatiin postingan lo atau temen-temen lo atau orang-orang yang lo follow. Dari mulai bangun tidur trus selfie berhestek #IWokeUpLikeThis, fotoin makanan sebelum dimakan sampe keburu dingin, fotoin dirinya lagi kerja, lagi sekolah, lagi di jalan, lagi pacaran biar jadi #RelationshipGoals, lagi traveling, lagi ngantuk, lagi kebelet boker, lagi napas. HHHH gue jadi kayak nyinyir.

No, poin gue bukan tentang apa yang di-update yah, nggak ada masalah dan nggak ada salahnya dengan itu semua, pun gue melakukannya. Yang mau gue bold adalah: kita justru merasa hidup ketika hidup kita terekspos di sana. Kalau lagi ke mana, ngapain, dll trus belum update, pasti kerasa ada yang kurang. Ngerasa nggak lengkap. Ngerasa gatel pengen nge-share. Ngerasa harus punya sesuatu yang bagus buat dilihat orang-orang. Ngerasa minder sama kehidupan orang lain yang kayaknya indah dan keren dan enak banget. Ngerasa ngiri karena feed sebelah estetik abis, nggak kayak kita yang likes nya cuma belasan aja. Ngerasa kurang mulu. Ngerasa nggak puas. Akhirnya mumet sendiri.

Akhirnya apapun yang di-update, kita jadi mikir bukan buat kita sendiri, tapi buat dilihat orang. Buat diperhatiin. And I find that (this is to myself for doing that too), it's so pathetic.

Trus beberapa hari ini, I'm at the point of seriously considering deleting all of my social media accounts. Pengeeeen, tapi udah yakin duluan kalau gue nggak akan bisa. Dan nggak yakin juga apakah emang perlu. HAHAHA, labil abis. Kata seseorang, "dasar life quarter crisis!". Wqqq. Gue nggak ngerti yaa is it normal or not, mumetin hal yang (mungkin) nggak penting kayak gini. Huaaa. Trus jadi penasaran, dulu kok kita bisa ya pas belum ada gini-ginian? Dulu kita ngapain aja ya kalau lagi bosen?

Mungkin emang nggak bisa berhenti main media sosial, dan mungkin nggak perlu berhenti juga. Tapi mungkin mau coba ngebatasin ah, mulai sekarang. Dan ngejadiin aplikasi-aplikasi itu sebagai hiburan aja, bukan suatu kebutuhan. Pun kalaupun justru ngerasa makin sepi dan ngerasa jadi 'outcast' or being 'left out' dari kehidupan dunia maya, I'll make sure that hey, I'm still living my real-life here, the messy days, the ups and downs, the dull, and the unphotogenic moments that could ruin your feeds. And whether you know or not, you care or not, either way it's fine. :)



Ps. Gue punya satu temen yang nggak pernah kelihatan sama sekali di internet. Nggak punya Path, nggak punya IG, nggak mainan Twitter lagi, nggak ngecek Fesbuk, bahkan nggak pernah pasang DP di BBM/Line, nggak pernah nongol di group chat, tapi pas ketemu, ternyata dia masih baik-baik aja. Dan hey, malah jadi kangen-kangenan beneran, banyak cerita, dan pengen tau banget selama ini gimana kabarnya! :D

Ps 2. And she's particularly one of the persons that make me want to quit this internet life. :)

Ps 3. KAYAKNYA BENERAN LAGI FASE LABIL BANGET DEEEH HAHAHA

Ps 4. I'm not even 23 can you believe that???!! yet I feel so old and tired of these thinking and feeling. Oh my old soul :'''))


Suatu waktu, saya iseng membaca ulang semua tulisan di blog saya, dari awal sampai tulisan yang terakhir saya tulis. Hasilnya: saya senyum-senyum, kening saya menyerngit, saya ngangguk-ngangguk, berusaha mengingat-ingat, bernostalgia, muncul perasaan,,,, apa ya, kata lain dari rindu? bukan yang cuma sekadar rindu gitu, lebih ke... longing feeling kali yah. rasa hampa. Dan yang paling utama sih saya jadi sering ngomong ke diri saya sendiri, "wtf I wrote!", "idiiiiihhhh", "gue ngapain nulis beginian sih???", dan berakhir dengan puluhan postingan di blog ini yang saya hapus dengan penuh kekejaman dan rasa malu warbiasah, serta akun Tumblr yang saya putuskan untuk dihilangkan sekalian karena nggak sanggup menghapus semua postingan super galau yang ada di sana. Hahahahaha.

Tapi di balik "hahahaha"-nya, setelah itu ada rasa yang aneh yang tertinggal.

Dulu, gue pernah kayak gitu.
Dulu, gue pernah ngerasain itu.
Dulu, gue pernah ngalamin itu.
Dulu, gue pernah pergi ke situ.
Dulu, gue pernah bahagia kayak gitu.
Dulu, gue pernah sesedih itu.
Dulu, gue pernah ngedapetin itu.
Dulu, gue pernah kehilangan itu.
Dulu, gue pernah mencintai seperti itu.

Perasaan-perasaan nggak terdefinisikan yang tiba-tiba aja memenuhi diri saya, sampai kadang jadi sesak.

Rasa yang sama setiap kali saya blogwalking. Oh ya, saya suka bangeeet blogwalking. Biasanya mampir ke blog temen-temen saya, orang-orang yang saya kenal atau penulis favorit saya, dan sering kali tuh saya tiba-tiba sampai ke blog random yang saya sama sekali nggak tahu sebelumnya. Entah. :/

Daaaaaan..... Selalu banyak rasa yang mampir ke saya setelah itu. And it's often very overwhelming. Kayak habis mengintip buku harian orang. Mengetahui kehidupan mereka, mengetahui rahasia-rahasia yang mungkin nggak bisa diungkapin melalui lisan, mengetahui cerita yang kadang menyenangkan, tapi nggak jarang pula bikin saya ikut ngerasain kesedihannya, kehilangannya, keputus asaannya, kegundahannya, mengetahui pemikiran-pemikiran setiap orang yang unik dan beda-beda tapi bikin saya ngangguk-ngangguk sendiri, dan satu yang kadang paling mengusik saya..... ikut mengetahui masa lalu mereka.

Lucu ya, gimana dari cuma "mengintip" tulisan seseorang aja, kita jadi bisa ikut merasakan perasaan yang lagi mereka rasain ketika menulis tulisan itu. Gimana kita jadi ikut membayangkan menjadi mereka, dan mengalami apa yang mereka ceritain itu. Gimana kita jadi ngerasa sedikit "mengenal", atau "memahami" mereka, dari apa yang ditulis. Gimana kita merasa ikut tergugah, tertular bahagia, ikutan sedih, merasa cemburu, juga... jatuh cinta.

Trus abis itu jadi sendu.

Jadi hampa.

Sekaligus sesak.

Overwhelming feelings.

Yang nggak bisa didefinisiin.

Pun apa sebabnya dan kenapa bisa begitu.





Can you?




Ps. current favorite songs yang makin cocok nemenin waktu bersendu-sendu saya: all self-writen from Nicole Zefanya. This girl is so talented. You should give a try here:


Pertama kali gue nemuin pemikiran tentang Peran ini adalah dari dua orang. Pertama, Mas Anies Baswedan. Kedua, Mas Rene Suhardono. Beberapa tahun yang lalu, gue pernah bersinggungan langsung dengan Mas Anies ketika bergabung bersama Turun Tangan. Ketika itu, kami -para relawannya- bersama-sama dengan Beliau mempersiapkan pencalonannya menjadi Capres dalam Konvensi Partai Demokrat. Dan pada masa-masa itu, pertemuan dengan Mas Anies nggak cuma melulu ngobrolin soal politik aja, tapi juga banyak gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran (which is the reason kenapa gue respek banget sama Beliau).

Sebelum akhirnya menjabat jadi Mendikbud, banyak banget yang menentang Mas Anies untuk terjun ke politik. Namanya bersih, cukup cemerlang sebagai rektor termuda di Indonesia, masuk jadi salah satu cendekiawan berpengaruh di dunia, sekaligus inisiator banyak banget gerakan-gerakan pendidikan. "Buat apasih Pak Anies masuk politik? Politik itu kotor! Kenapa nggak tetep jadi rektor aja dan kalopun mau ngebenahin pendidikan Indonesia, kan bisa dari luar pemerintahan. Kayak yang selama ini udah dilakuin."

Waktu itu, Mas Anies ngejawab intinya bahwa dengan peran yang lebih besar, akan ada lebih banyak hal yang bisa dilakukan. Perannya mungkin akan berubah, dari rektor ke panggung politik. Tapi Beliau tetep punya misi, punya genre yang sama yang akan terus diusung, yaitu: membenahi pendidikan.

Kedua, satu tahun yang lalu gue pernah mewawancara Rene Suhardono secara langsung. Mas Rene dikenal sebagai penulis buku, public speaker, sampe founder beberapa organisasi social empowerment. Gue nanya, "Mas Rene sebenernya profesinya tuh apasih?" dan jawaban dia adalah: "Profesi buat saya tuh kayak peran. Jadi kalo ditanya profesi saya sebagai apa, sama kayak nanya ke Brad Pitt, 'peran lo sebagai apa?' Dia akan jawab, 'tergantung filmnya'. Tapi yang esensial itu karir. Karir tuh segala sesuatu yang kita jalanin untuk mencapai misi kita. Nah peran atau profesi apapun akan saya jalani untuk mencapai misi."

Peran.

Gue jadi inget lagunya Nicky Astria juga, "Dunia ini panggung sandiwara. Cerita yang mudah berubah. Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani. Setiap kita dapat satu peranan. Yang harus kita mainkan."

Sebelumnya gue nggak pernah merhatiin kalo ternyata liriknya se-uuuhh itu ya.

He-euh. Dalam hidup, kayaknya kita akan selalu ganti-ganti peran deh. Di rumah, kita berperan sebagai anak. Di sekolah, kita berperan sebagai murid. Di kantor, kita berperan sebagai pegawai. Tapi peran kita nggak cuma stagnan gitu aja, ada kalanya, dan ada waktunya, kita pasti harus ganti peran.

Di rumah, kita nantinya ganti peran jadi istri/suami, bahkan ibu/bapak, bahkan nenek/kakek. Di sekolah, kita mungkin bisa berganti peran jadi guru. Di kantor, mungkin kita akan berperan sebagai bos. Di lingkungan pertemanan yang beda, kita mungkin juga bisa punya beberapa peran yang beda. Di geng A, kita jadi si temen yang suka ngatur-ngatur. Di geng B, kita jadi pendengar dan tempat curhat yang baik. Di geng C, kita jadi si tukang lawak. Dll. Dsb. Etc.

Suka nggak suka, mau nggak mau, se-idealis-idealisnya kita, kita pasti harus berubah kok. Beradaptasi. Demi bisa bertahan. Udah nature dan fitrahnya makhluk hidup nggak sih, untuk selalu beradaptasi dengan lingkungan buat survive? Dari dulu sih gue selalu diajarin gitu, di pelajaran Biologi. Bukan yang paling kuat yang bertahan, tapi yang paling adaptable.

Seringkali, kita susah atau bahkan menolak buat berubah dan menyesuaikan diri demi beradaptasi. Gue ya gue, gue gini orangnya. Iya. Kita punya prinsip, karena kita butuh pengakuan dan pembuktian eksistensi diri, nggak kayak ikan mati yang ngapung-ngapung gitu aja kebawa aliran air. Kalo airnya ngalir dari sungai ke laut, ya dia ikut. Kalo airnya ngalir dari sungai ke got, ya ngikut juga. Kita ngerasa kita harus punya identitas, yang diikuti dengan sikap. Contohnya, kayak anak-anak Punk yang pokoknya harus punya banyak baju warna item dan nggak usah mandi walopun badan gatel-gatel dan jangan lupa pake pomade sebelum pergi. Ke manapun. Eh tapi gue belum pernah liat sih anak Punk yang setelannya Punk di kondangan atau acara tahlilan. Entah mereka mau beradaptasi buat ganti gaya sejenak buat dateng ke acara kayak gitu, atau nggak mau dan nggak pernah dateng ke acara gituan.

Tapi menurut gue, beradaptasi itu beda kok dengan nggak punya identitas. Nggak berarti dengan kita berganti-ganti peran, kita jadi fake dan nggak berjati diri. Bahkan menurut gue, ketika kita bisa fleksibel dalam beradaptasi, akan banyak ngasih diri kita sendiri keuntungan dan manfaat yang baik. Tapi emang, semua balik lagi ke masing-masing orang. Nggak ada yang salah dengan lo pengen menjalani satu peran yang ituuuu aja, yang emang udah jadi comfort zone lo.

Selanjutnya, peran kita kalo berada dalam sebuah hubungan, atau bersangkutan dengan orang lain. Di sinilah kita akan kenal sama yang namanya berkompromi. Bukan terpaksa, dipaksa, atau memaksakan. Tapi: menyesuaikan peran. 

Ada kalanya lo yang nggak biasa banyak ngomong tapi mencoba untuk bercerita, ngeluarin isi hati dan pikiran lo ke pasangan yang doyan banget ngobrol. Ada kalanya lo yang nggak biasa ngatur ini itu tapi berusaha buat jadi leader untuk beberapa hal karena pasangan lo tipe yang hayuk-hayuk cicing. Ada kalanya lo yang nggak suka makanan pedes tapi rela nemenin pasangan lo yang kalo makan cabenya harus lima belas sendok. Ada kalanya lo yang nggak biasa beres-beres di rumah tapi pas udah berumah tangga dan dapet pasangan yang super resik jadi memulai untuk beres-beres juga. Semua itu termasuk adaptasi dan menyesuaikan diri serta peran kan?

Dan peran inilah yang harus dibagi, dan dikompromikan dengan baik. Gue sampe sekarang masih nyaru dengan konsep 'kesetaraan'. Oh jelas, gue mendukung konsep-konsep kalo cewek juga punya hak-hak dan kewajiban yang sama kayak cowok, bisa jadi leader, dan nggak boleh ada di kaki cowok. Tapi buat gue, nggak semuanya harus setara. Buat gue lagi, nggak ada salahnya dalam beberapa hal, kita mengambil peran yang besar, dan dalam beberapa hal lainnya, kita melakukan peran yang kecil, sesuai sama kemampuan kita. Jujur aja, kalo misalnya dengan kesetaraan gender, perempuan bisa (atau harus bisa) jadi pemimpin dalam rumah tangga, gue nggak yakin gue bisa ngejalanin peran itu. Gue lebih memilih menyerahkan peran sebagai pemimpin hubungan ke pasangan gue, dan mengambil peran memimpin dalam hal lainnya. Misalnya, memimpin urusan rumah, mimpin ngatur pengeluaran, mimpin urusan anak, mimpin urusan seneng-seneng hahahaha, dll, dll, dll.

Yang jelas, semua peran-peran itu emang harus dikompromiin. Dan kedua belah pihak sama-sama setuju dan mau berkompromi. Nggak boleh ada yang diem-diem kesel jadi pemimpin. Diem-diem nggak suka diatur-atur. Tapi dipendem aja dengan alasan 'sabar'. Menurut gue itu bukan sabar sih, tapi bom waktu. Ketika waktunya habis, sabar itulah yang akhirnya habis dan meledak. Tapi lain halnya kalo lo 'belum' terbiasa, lalu membiasakan diri. Namanya adaptasi. Menyesuaikan peran. Dan itu emang perlu latihan kok. Aktor-aktor ngelakuin itu kan, untuk bisa menyatu dengan peran yang mereka jalani dalam setiap filmnya.

Kenapa akhirnya kita gagal dalam sebuah hubungan? Ketika kadar kompromi kita udah ngelewatin titik kritis. Suhunya (baca: tingkat kesabaran) udah overly high, dan tekanan udah nggak mampu dilakuin lagi. And that's when you called 'you've pushed yourself too hard that you can't do it anymore'. Dan boommm, kita meledak deh. Akhirnya kita nyerah. Sama kayak aktor juga. Mau se-berusaha kerasnya apapun dia mendalami sebuah peran, kalo emang kayaknya nggak cocok, akan kerasa pasti... "hengggg, I can't do this".

Maka itu, punya pasangan yang compatible emang perlu. Ada yang udah by nature, kita ketemu pasangan yang langsung klik dan udah tau perannya masing-masing dengan smooth. Ada yang dengan si dia, kita mampu untuk jadi compatible dan nggak overlap satu sama lain walaupun sebenernya kita beda. Either way, ujung-ujungnya by the grace of God sih ya yang bisa mempertemukan kita sama orang yang kayak gitu. Hahahaha. Dan ketika kita masih belum nemuin orang yang 'ituuuhhh', kita akan terus berganti peran tiap ganti pasangan. 

Panjang abis udah kayak nulis skripsi. Duh jadi kangen peran mahasiswi. Hahah. Dah ah.



Salam sayang,

Rims.



Recent song on play: Picture Perfect - Charity Vance



I have no particular reasons but wanting to upload this picture along with a very beautiful -and give me a kinda fairy tale vibe- song from Charity Vance. Just because.

Just found that song a moment ago, randomly, from Youtube when someone use it as a background music of her wedding video. And I was..... blown away. The melody, the voice, and especially the lyrics.

I like the song, enough to make me created a Soundcloud account just for adding it into this post. And for whoever read this and willing to spare your time to listening to it, I hope you feel the magic, beauty, romance, and a picture perfect of you and your lovers. Just like I do. :)


Enjoy!




Lyrics:

Kissing in the rain
Walking on the beach
I can see it now
Almost happening

Sneaking out at night
Living like we're free


You and I can do anything we please
I cannot look away
Like can't you see
I'm hypnotized



We're picture perfect
Sweet like candy
I'll be your girl
I'll be your baby


Picture perfect
Barefoot beauty
You stole my heart
Just like in a movie


Got the key to me
Tell me, tell me
I'm your darling daisy


Picture perfect
Sweet like candy
I'll be your girl
Yeah
I'll be your baby


Spinning me around
Falling on the ground
Got to say your voice
Is my favorite sound
Counting every star
Dreaming every dream
You and I could live out the perfect scene


You've got the face

To fit the frame
I cannot look away
Like can't you see
I'm hypnotized


I saw your face

In my dream
You and I
Had everything
A fairytale
A fantasy
We could be anything





"Keramaian adalah dengung yang semakin didengarkan, justru membuatmu semakin kesepian." -KAMU

Gue sukak, sukak banget sama sebuah novel berjudul KAMU karya Sabda Armandio ini. Sesungguhnya gue nggak tau siapa dia, dan gimana sepak terjangnya. Sesungguhnya juga, gue nggak segitu familiarnya sama buku-buku model gini. Pengetahuan gue tentang buku sangatlah cetek, dan bacaan gue pun juga cuma seputar itu-itu aja. Kalau nggak novel fantasi luar, teenlit, ya buku pengembangan diri. Sampai akhirnya dikenalkan pada novel ini. (Makasih ya, Kamu yang udah ngenalin KAMU ke aku! :D)

Membaca KAMU tuh jadi pengalaman yang sangat menyenangkan, juga personal. Biasanya gue membaca dengan memindai, tapi kali ini gue bener-bener memperhatikan kata demi kata, berhenti, senyum-senyum sendiri, trus nggak lupa mencatatnya ke dalam buku notes gue. Yang terakhir memang seringkali gue lakukan tiap membaca. Ketimbang memfoto kata-kata yang bagus atau ngasih highlight di bukunya, gue lebih suka untuk mencatat ulang dengan tulisan tangan di notes. Entah buat apa, gue juga nggak paham sih. Suka aja pokoknya. :)

Balik lagi ke KAMU. Kenapa pengalamannya sangat personal? Karena baca buku ini tuh kayak baca transkrip lamunan-lamunan yang setiap hari si penulis -dan juga mungkin kita- pikirin. Pertanyaan-pertanyaan yang filosofis. Gue rasa kita pernah, kalau nggak sering, bengong sambil mikir buat apa dan kenapa sih kita dilahirkan. Mikirin soal Tuhan dan iman. Soal manusia dan peradaban. Soal sistem yang kacrut. Sampai soal cinta, patah hati, kehilangan, dan yang mesti gue highlight saking sukanya: tentang kesepian.

Bicara soal kesepian, gue bener-bener ngerasa tersentuh dan UUUHHH banget bacanya. "Aku cuma senang tertawa. Kau tahu kenapa? Mungkin aku hanya sedang berusaha mengecoh kesepian." Duuuuuuhhh, jatuh cinta! :)))

Kita sering gitu nggak sih? Atau gue doang? Nggak mungkin kan yaaa. Untuk "mengelabui" kesepian, kita cenderung buat mencari keramaian. Berusaha melebur di dalamnya. Berusaha mencari teman. Berusaha untuk..... nggak sendirian. (?)

Gue kayaknya punya semacam love-hate relationship deh sama si kesendirian dan kesepian. Di satu sisi, gue sangat sangat sangat nggak suka ngerasa sepi dan sendiri. Gue butuh ditemani orang lain. Gue butuh suasana yang ramai, tapi bukan cuma ramai, melainkan familiar, hangat, dan intens. Gue suka banget ketawa dan bercanda, apalagi cerita-cerita. Kayak, gue mengabsorb energi dari kondisi sekitar gue. Untuk nggak merasa sendu, gundah, dan merana durjana, gue harus berada di tempat yang sekitarnya bersemangat dan menyenangkan. Gue membutuhkan punya orang-orang terdekat yang bisa gue "cari" setiap saat, kapanpun ketika ketakutan gue akan sepi ini melanda.

"Semua orang kesepian, mereka pergi ke tempat-tempat ramai untuk menipu diri sendiri, dan berpura-pura bahagia." -KAMU.

Tapi di sisi lain, kadang gue juga craving banget untuk sendiri dan ngerasain sepi. Gue suka banget, lagi rame-rame trus tiba-tiba pengen ngilang aja ke tempat yang cuma ada gue doang. Ketawa-ketawa sama orang, trus lima menit kemudian gue pergi gitu aja karena ngerasa terlalu sumpek. Cerita atau dengerin cerita, padahal pikiran gue melayang entah ke mana. DAN, hal yang paling sering serta menyenangkan dan menenangkan yang selalu gue lakukan adalah: bengong, melamun, sampai skip sama dunia sekitar.

Gue hobi banget bengong! Ritual bengong ini gue lakukan di mana-mana, kapanpun. Kalau lagi jalan, bukan Rima namanya kalau nggak kesengklek, kesandung, bahkan sampe jatuh. Gara-gara gue suka nggak fokus sama apapun saking "hilang" sendiri sama pikiran-pikiran gue. Gue bisa duduk berjam-jam di atas kasur sambil mainin rambut kayak orang gila, padahal sebenernya lagi ngelamunin banyak hal. Gue bisa bengong gitu aja di pinggiran jalan ngeliatin orang-orang dan kendaraan lewat, tanpa mikirin apa-apa. Kosong.

Dan akhirnya, hasil gue melamun dan bengong-bengong itulah yang jadi "sampah" di blog ini. Hahahaha. Oh ya jadi inget. Seorang teman gue pernah ngomong,
"Lo kok kalo di blog beda banget ya sama kalo pas ketemu langsung?"
"Hah gimana gimana?"
"Kalo di blog kayaknya sendu sedih-sedih berat banget gitu omongannya, tapi kalo ketemu kek cacing dikasih garem, nggak bisa diem."

*eiya sekalian aja, udah lama mau nulis ini tapi lupa mulukkk.*

Gue selalu dikesankan sebagai anak yang nggak bisa diem, petakilan, nggak penting, kebanyakan gula, dan kerjaannya ketawa mulu. He euh, pakaian luar gue yang gue perlihatkan adalah demikian. Tentu, gue memakainya bukan cuma untuk dilihat orang, tapi karena gue memang nyaman, dan merasa aman. Udah bawaan dari sananya gue, kalau sama orang, mau baru kenal apalagi lama, ya akan tetep nggak bisa diem dan petakilan sih. Tapi ada kalanya gue diem.

Dan ketika gue diem kalo lagi sama orang, maka ada dua kemungkinan: Pertama, gue nggak suka banget sama orang itu. Kedua, gue suka banget sama orang itu dan udah deket banget.

Biasanya kalau kita baru kenal sama orang, pasti yang terjadi adalah diem-dieman karena awkward. Nah untuk mengenyahkan rasa awkward itu, justru gue akan jadi sangat hype dan terlihat *terlalu* ramah serta akrab. Sebenernya ke-easy going-an itu, yang selalu dibilang orang, adalah cara gue buat menutupi kegelisahan dan ketakutan gue sendiri, sama situasi dan orang yang baru. Karena gue nggak suka berada dalam situasi diem-dieman gitu sama orang. Bahkan sama temen pun, kalau ditinggalin berdua doang, gue akan ngerasa sangat awkward dan nggak tau mesti ngapain sampe akhirnya jadi heboh sendiri biar nggak awkward. Ribet ya? Hahahaha. Tapi gue akan jadi sangat diam, cenderung jutek, ketika gue emang bener-bener nggak suka sama orangnya. Jahat sih ya, gue kalau udah nggak suka sama orang tuh....... gitu banget.

Tapi percaya nggak, ada orang-orang tertentu juga yang bisa bikin gue diem. Dan itu terjadi ketika gue ngerasa udah sangat attached, dan percaya, dan merasa dekat sama mereka. Gue yang ceria bisa berubah jadi sangat sendu dan mellow dan tenang, kayak di blog tapi nggak pernah keliatan langsung. Sama seorang sahabat gue, gue bahkan bisa berduaan sepanjang malam tanpa kita ngomong apa-apa. Gue diem sendiri, dia pun sibuk sama urusannya dia sendiri. Dan itu dulu sering banget gue, dan dia, lakuin. Bahkan kayak udah jadi rutinitas. Dia tau ketika gue lagi pengen diem aja nggak ngomong, dan dia juga nggak bakal ribet maksa gue ngomong atau nyuruh gue pergi aja gitu sendiri daripada bareng-bareng tapi nggak ada obrolan. Nggak. Kita bareng-bareng, tapi nggak kerasa awkward sama sekali. Masing-masing menikmati sepi, bersama.

Pun ketika gue bisa mengutarakan lamunan-lamunan gue secara langsung. Jarang deh ada orang yang tahan buat gue ajak ngomong berjam-jam, berulang-ulang, tentang segala hal absurd yang gue pikirin. Dan cuma orang-orang terpilih, ekstra sabar, dan... entah kenapa mau-maunya aja gue ajak buat ngelamun bareng. Ketemuan sama si "sepi", yang sangat gue sebelin tapi sering juga gue kangenin dan butuhin. Diem-dieman, meladeni pikiran masing-masing, tapi bareng-bareng. Itu cuma bisa gue lakuin sama beberapa orang aja sih. Tanpa gue merasa awkward dan merasa harus mencairkan dan memeriahkan suasana, seperti yang biasanya gue lakukan.


Mmmmhh...

Mmmmm.......

Perasaan tadi.... lagi ngomongin novel KAMU yah?



HAHAHAHAHAHAHAHDAHBIASAHAHAHA.



Yah...


Pokoknya gitu deh. Intinya, KAMU tuh emang uuuuuhhhh sekali. Bikin makin pengen bengong dan ngelamun lagi setelah baca! Dan dalam hidup, kayak apa yang KAMU bilang, nggak ada yang salah dengan "merayakan kegilaan" serta "mengelabui kesepian". :)

Ayo, ayo, dibaca!




Hello. Well, what's going on is, I made an agreement with mon petit ami that we have to write one post in English every Friday, hahaha. So, here I am. Trying to write 'bout... I dunno, just babbling random things as always.

Got mixed emotion since this morning. Not so a long time after I arrived at the office, a mysterious package came in. A big one. As soon as I received that cardboard and saw a sticker on it, I knew who's sent this kind of thing. And I thought, "what kind of surprises this time?" with an immensely big smile on face, even before I opened the package.

You know what's in it? It's full of plastic bubble wrap, and a card. I was still searching to see is there something more, until I realized that, THAT is the surprise. Yes, THAT plastic bubble wrap and THAT card. Kiram is soooo being Kiram. Unexpected. Unique. But full of surprises and affections. And, I love him. :)

It's his little things that he does make me fall deeper and deeper. It's not the extravagant moment or expensive gift or sweet words. It's him.

My Friday was goes on like that. One fine and cheerful half-day, busy to chatting and laughing with friends at work, and of course, cracking the bubble wraps! Until I remembered that I want to continue to watch 'Me Before You', which I haven't finished last few days.

And hours later, my mood drops to the ground. As I write this, I still sobbing and my heart is still broken. Hahaha, The movie isn't exactly that sad, until last approximately-20 minutes. Oh how I hate a sad sad sad and bad ending. Huaaahhh. It's just a movie, right. But can you imagine a little thing like that, can also change our moods, feelings, or even day. Funny, is it? :)

Life, is just like that. It's always every little things that matters.

Sadly, sometimes we keep forgetting that. We are so focused on the big things in life that we don't pay much attention to every single and small things, which can actually be the things that can change our life.

These days my mind is so full about many complicated things that I feel like to explode. You know... like, I have this urgency to do and be something big. To reach the another level in life. To... succeed (?).

The definition of success is vary to certain people, but so many around me is revolve around three things. Either fame, power, or money. Or even the three of it all. It's got me contemplating, is that the real definition of perfect life in this world? When you got big amount of money and you can go anywhere and buy almost anything, and you got the fame in your name and walk? Yes, it might be is. Says some part of my logic brain and heart. But the other part of me is still kind of believe that the nearly perfect life in this world (because there's nothing really perfect) is when you can living life to the fullest. When you can feel the happiness, in every thing you have in the life.

There's nothing  wrong about that two contradictions. But what I often forget is, to reach and arrive and see the big things, we can't neglect the every knock and tiny little things that will unify the big pictures that we search.

It's not about the ideas of falling in love with one specific person, it's about every little thing and moment we enjoy being with them. It's about every little feeling we feel. It's about feeling the love itself, that can make ourself falling.

It's not about the ideas of being successful person, it's about how far we would go, how hard we could try, and how strong we will get, until we reach our dream. It's about process, and progress. It's about every checklist on our simple goals, every accomplished tasks, and every commitment we make.

It's not about the ideas of making a very huge impact to this world, it's about spreading the kindness and happiness to others. It's about the willingness to help. It's about creating something that can change our own life, and people's. It's about our smile, our thoughts, and our heart that we shared.

It's always about every little thing in life, that matters the most.


:)


I just found this cute-and-oh-so-relatable infographics of ENFP on visual.ly, and couldn't resist to post it here. :D


Manusia tuh kadang emang suka banget mengkotak-kotakkan diri sendiri ya. Seakan-akan mencari pengakuan, pembenaran, pemakluman, dan teman senasib sepenanggungan atas segala bentuk sikap, sifat, bawaan, kelakuan, kebiasaan, dan lain-lainnya itu.

"Gue kan anaknya introvert, jadi emang nggak suka banyak omong."

"Leo tuh emang gitu tau, udah born to be leader dari sananya."

"Namanya juga golongan darah O, ya panikan lah anaknya!"

"Sebagai ENFP, gue bisa ngakak-ngakak kegirangan di luar tapi di dalam otak gue lagi maki-maki."

"Jangan nyari pacar orang Padang, nanti kalau minta beliin cincin berlian, dikasihnya cincin mainan."

"Ih orang Indonesia, emang susah dikasih tau!"

"Shio gue Ayam, maklum deh kalau suka ngurek-ngurek nyari cacing di tanah."

Truuusss aja gitu.


Seakan-akan, semua penggolongan itu bisa mendefinisikan diri kita. Seakan-akan, kalau kita udah masuk ke dalam sebuah golongan itu, kita merasa 'ada', kita merasa 'jelas', kita merasa menjadi bagian dari sesuatu.

Padahal, katanya setiap diri manusia adalah makhluk yang unik dan berbeda-beda. Katanya, nggak ada orang yang sama. Lantas, kenapa kadang kita sendiri yang mau-maunya aja dipeta-petakan kayak gitu ya? Di-stereotype-kan, di-sama-ratakan. Kayak berusaha mengenal dan mendefinisikan diri lewat definisi yang justru udah diciptakan oleh orang lain, bukan diri kita sendiri.


He euh. Kenapa ya?

Tapi tapi tapi, saya salah satu yang suka ngelakuinnya sih. Hahahaha.

Apalagi sama penggolongan kepribadian MBTI nya Myers & Briggs ini. Lagi seneng banget ngurek-ngureknya. Dan kayak amaze sendiri gitu, waaaw kok bisa ada sih orang yang saya nggak kenal, yang tiba-tiba bisa segitu menjabarkan dan menelanjangi diri saya, cuma lewat beberapa test dan pertanyaan aja! Hebat banget!

Tentu, nggak semua-muanya segala bentuk penggolongan ini benar dan sesuai sama diri kita. Tapi, seneng aja gitu nyoba-nyoba dan nyari tahunya. Kayak saya yang selalu ngangguk-ngangguk setiap ngebaca zodiak Scorpio yang katanya keras kepala tapi sangat intimate, golongan darah O yang panikan dan nggak bisa diem, ENFP yang girang di luar tapi rapuh di dalam, sampai percaya bahwa saya kayaknya 'divergent' karena udah tiga kali test di Pottermore tapi selalu masuk asrama yang beda, pertama Ravenclaw, lalu Hufflepuff, dan yang terakhir Gryffindor. (Iya, nggak mau terima kalau kata adik saya, "Itumah kamu muggle kali kak!" hahahaha).

Yah, asal senang, nggak ada salahnya kan ya? Ya kan ya kan ya kan? :p ENPF all the way, baby!




Judul post ini terinspirasi dari sebuah tulisan Edward Suhadi. Saya tahu beliau, seorang fotografer profesional tersebut semenjak bersama-sama terlibat dalam Gerakan Turun Tangan, beberapa tahun yang lalu.

Kata-kata Mas Edward melintas di benak saya, "looking at the distant dream makes you want to give up, but celebrating progress makes you want to continue the fight." That is a powerful stuff. :)


*
Belum lama, saya curhat panjang lebar kali tinggi ke pacar, tentang ketidakpuasan saya tentang pekerjaan dan karier. Tentang hal-hal besar yang ingin saya capai. Tentang permasalahan-permasalahan kehidupan. Yang rasanya begitu njelimet dan memenuhi pikiran saya, yang tanpa mikirin itu pun sebenarnya udah sangat njelimet.

Saya seakan terjebak dalam dua kontradiksi yang sama-sama memberikan saya tuntutan. Pertama, sebagai anak pertama, ada kebahagiaan, kebanggaan, dan harapan orang tua serta adik saya di pundak. Melihat teman-teman saya yang udah mencapai banyak hal dalam karier, mendengar cerita-cerita bangga dari om dan tante saya tentang sepupu-sepupu saya yang udah naik pangkat dan punya anak buah, saya cuma senyum-senyum setiap mendengar pertanyaan mengenai pekerjaan. Pun dengan orang tua saya. Nggak ada yang salah, memang, dengan apa yang saya lakukan. Yang mengherankan bagi mereka adalah, kenapa saya yang udah disekolahin susah-susah untuk jadi seorang insiyur, kok malah sekarang sibuk ngurusin anak-anak SMA dan nulis-nulis artikel tentang jomblo.

Kedua, sebagai orang yang meyakini -atau memenuhi ego diri- prinsip "follow your passion", saya selalu gembar gembor kalau saya memilih pekerjaan dan karier saya, karena saya senang menjalaninya. Ini emang passion gue, mo apa lohhh? Dan saya merasa, melakukan pekerjaan yang saya sama sekali nggak suka dan nggak bikin saya bergairah, setiap harinya, selama saya hidup, adalah sebuah hal yang mengerikan buat saya.

Tapi belakangan, saya jadi sering mempertanyakan hal kedua tersebut. Saya merasa, saya udah menjalani passion saya. Yang seharusnya katanya bisa bikin saya bahagia. Yang membuat kerja nggak serasa bekerja. Yang setiap harinya meluapkan gairah dan semangat untuk berkarya. Lalu?

Ternyata, kok saya masih merasa kurang. Masih merasa ada sesuatu yang hilang yang belum bisa saya temukan. Masih mencari-cari banyak hal yang saya butuhkan. Masih meraba-raba mengenai masa depan.

Idealisme saya, yang selama ini saya pertahankan, bahwa saya akan melakukan hal yang saya senangi dan saya akan menjadi diri saya yang saya mau, rasanya perlahan runtuh, atau seenggaknya goyang. Saya udah mendapatkan kenyamanan dari apa yang saya lakukan. Tapi kenyamanan itu justru membuat saya takut dan merasa nggak ke mana-mana.

Lalu, dari pergulatan-pergulatan itu saya jadi mikir, apa sebaiknya saya kembali ke root dan asal saya, sebagai anak teknik? Apa saya harus cari kerja sebagai insiyur, duduk manis, kerja yang bener, punya karier yang bagus, kayak temen-temen saya? Atau saya harus melakukan sesuatu yang besar sehingga saya merasa berdaya dan gairah-gairah membuncah dalam diri saya ini bisa tersampaikan dan terpetakan dengan semestinya?

Saya putar otak, mikir, ngerasain, nanya orang lain, minta saran ke sana ke sini, saya masih tetep bingung. Sampai akhirnya saya keinget ini, "celebrating progress".

Rasanya, saya terlalu fokus pada hal-hal yang besar banget. Bahwa saya harus begini, saya harus begitu. Saya harus mencapai ini, saya harus mencapai itu, sampai saya lupa dan nggak menyadari sejauh mana sih saya udah melangkah dari titik awal saya berdiri.

Saya jadi melihat orang-orang aja dan lupa untuk mensyukuri diri sendiri. Dan hal itu bikin saya ngerasa nggak ada apa-apanya, ngerasa nggak puas, ngerasa harus mengejar dan melebihi mereka, ngerasa..... gitu deh. Harus ini, itu, tapi pada akhirnya justru looking down sendiri dan nyerah. Kayak semacam, self-pity heroin.

Mmmm, kayak, we are too busy to look at other people's achievements and sometimes we don't realize that we shrug our shoulder, or sighing with a loud voice say, "kayaknya gue nggak bisa deh sesukses dia", "Ya dia kan emang udah kaya dari sananya", "Emang dari dulu pinter banget sih", "Gue banyak yang harus ditanggung", dll, dll, dll.

Nah, terkadang, kita terlalu nge-push diri kita sendiri, sampai kita lupa buat bersyukur. Nggak ada yang salah dengan punya mimpi yang tinggi. Bahkan buat saya, mimpi itu harus tinggi! Iya, karena kita cuma dikasih Tuhan hidup satu kali, masa nggak mau dimanfaatkan dengan semaksimal yang kita bisa?

Tapiiiii, jangan lupa untuk merayakan langkah demi langkah yang udah berhasil kita jalani. Misal, "Goal gue tuh bisa punya gaji perbulan 35 juta! Masa sekarang masih 3,5 juta aja sih?", Bandingkan dengan, "Goal gue bisa punya gaji 35 juta/bulan. Sekarang udah 10 persennya nih, asiiik tinggal 90 persen lagi!". Beda ya? He euh. Ternyata, what matters most is: selalu tentang cara kita mengucapkan ya. 

Pemilihan kata-kata kita itu bisa berdampak banget ke diri kita sendiri, menimbulkan pesimis atau menaruh optimis. Situasinya sama, tapi yang tersampaikan bisa beda jauh, tergantung cara kita melihat, merasa, dan berbicara.

Dan ketika saya memikirkan tentang "celebrating progress" ini, saya jadi semacam diingatkan kembali, sebenarnya selama ini saya melangkahnya tuh ke mana? Tujuan awal saya apa? Arahnya mau ke mana dan rute yang saya pilih lewat jalur apa. Dari situ, saya mulai merunutkan lagi, apakah track saya masih sama seperti di awal, atau saya mau putar kemudi dan ganti arah tujuan nih, Either saya mau tetep jalan sesuai rencana atau ganti yang baru, nggak ada yang salah. Yang salah ketika keasikan tidur dan jadi nggak tau udah sampai mana dan akan ke mana.

Yes, sometimes we have to stop for a moment and look around. This is all we have, this is what we get, what we have to do now, where we have to go next. And that way, it'll make us grateful, instead of groanful. :)


"Fixing your eyes on the goal may discourage and frustrating, but celebrating progress gives you energy, strength, and persistance to carry on. Looking at the distant dream makes you want to give up, but celebrating progress makes you want to continue the fight. So celebrate progress, and before you know it, you may have hit your goal." -Edward Suhadi.



PS: Jadi, Rima udah tau abis ini mau apa? Mmmmhhhh.... Belum. Mau kamu aja gimana?
~~~~ᕕ( ᐛ )ᕗ

It's true that we never know how precious things and times are, until it gone. Another 30 days passed. Not just an ordinary month but Ramadan. A full month of blessings, gifts, and forgiveness.

I wonder how was I undergo the Ramadan this year. Am I really giving the best out of mine? Am I really going throughout it to the fullest? Am I really using this precious time to get closer and closer to God?

I guess not. So here I am, praying and hoping that this won't be my last Ramadan. That there are still plenty, and many more years to come. And to the holy month I love, thank you, thank you, thank you. I've been receiving so many joys and blessings, that I can't get enough but to feel grateful.

To the breath and heartbeats. To the life and living. To the hardships and strength. To the trials and patience. To the lost and willingness to let go. To the experiences and lessons. To the smile and happiness. To every little thing that matters. :)

I believe everything happens for a reason. I've always been a firm believer of that. Life always works itself out. The people we meet, the places we were taken to, the experiences we got to deal with. Sometimes we don't get it, sometimes we feel lost or out of place, sometimes we just don't understand. But then, there just comes a time. A time when we finally realize that everything falls perfectly together, seaming itself into becoming a complete pieces.

Now, we make it to the next new page of a new book. A book of stories, life, journey that still white, pure, and empty. How will we write on it, the path we will take, the choices we will make, determine the end of the result of our new book.

Are you ready?


PS: Eid Mubarak! May the auspicious occasion of Eid bless us with peace and bring joy to our heart and home! :)


Warmest greetings,

Rims.




This will be the most personal -and the longest, hardest writing I've ever write, In my 22 going on 23 years of existence.

\

Menurut lo, bener nggak setiap orang, setiap manusia, pasti punya topengnya masing-masing? Gue adalah orang yang sangat meyakini hal itu. People wear their masks of emotions. Kayak pakaian, kita memilih topeng seperti apa, modelnya kayak gimana, yang mau kita perlihatkan ke orang lain. Dan sama kayak pakaian, nggak ada juga yang mau jalan-jalan dalam keadaan telanjang. Pun, sama kayak pakaian, kita akan berusaha tampil se-menarik mungkin untuk nutupin kekurangan.

Beberapa tahun belakangan, gue mengalami masa-masa dan fase hidup yang menurut gue, sepanjang gue 'ada', adalah yang paling berat. Mungkin terberat setelah dulu ditanya Tuhan mau milih untuk lahir sebagai manusia atau kucing anggora. I've been hit the rock bottoms, jatuh setajuh-jatuhnya, kehilangan segala-galanya, semuanya bener-bener gue alami. Dan ini, bukan lagi ngomongin kisah cinta-cintaan kehilangan pacar trus galau, nggak sama sekali.

Ada part dalam hidup gue itu, yang nggak pernah gue ceritakan ke siapapun. I repeat, ke siapapun. Kecuali gue dan keluarga gue yang mengalami langsung, dan saudara-saudara yang emang tau kondisinya. Tapi untuk menceritakan ke orang lain, bahkan ke orang-orang terdekat, dari mulut gue sendiri, nggak pernah gue lakuin........ sampai satu bulan terakhir ini.

Di masa-masa yang berat banget, gue mengalami sejuta pergolakan batin dan emosi. Kekalutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, ke-putus-asaan, ke-nggak mampuan untuk menerima keadaan, keinginan yang besar banget untuk melarikan diri, semuanya campur aduk jadi satu. Nggak pernah kepikir dan kebayang sama sekali, bahwa gue akan ada di titik tersebut, dan mengalami hal se-'mengerikan' itu. Kayak dunia gue yang tadinya aman, tentram, dan damai kayak air yang ada di dalam baskom, tiba-tiba dibalik gitu aja dan tumpah semua-muanya, sampai habis.


\

Tapi ditengah keterpurukan itu, ternyata ego gue sebagai manusia nggak ikut hilang. Gue nggak mau orang tau dan melihat gue sebagai seorang Rima yang 'hancur'. Apalagi, gue sebelumnya terbiasa untuk memperlihatkan diri sebagai orang yang 'hidupnya-yaudah-gitu-aja-kayak-nggak-ada-masalah-ya-normal-dan-datar'. Gue masih ingin untuk terlihat baik-baik aja.

Kenapa? Karena gue takut. Takut orang lain nggak menerima keadaan gue yang berubah 180 derajat. Takut dengan judgment dan omongan-omongan orang yang buruk tentang gue. Takut kehilangan 'muka'. Takut semuanya nggak lagi sama. Gue malu. Malu untuk menceritakannya. Gue bingung. Bingung harus mulai dari mana. Di satu sisi, gue pengen terlihat baik-baik aja, tapi di sisi lain, gue tau gue terpuruk banget dan butuh bantuan.

Dan pada akhirnya, gue merasa gue nggak bisa sendirian. Gue pengen keluar dari masalah ini dan ngelupain semua-muanya. Gue butuh orang lain untuk bisa menambal hidup gue yang bolong itu. Gue butuh pelarian. Gue pada akhirnya juga, jadi kayak semacam 'craving' and 'seeking' love and affection for validation. Caranya gimana?

Demi punya seseorang yang bisa 'ada' buat gue dan bikin gue seneng, gue jadi kayak rela ngelakuin apa aja untuk keeping that person. Gue semacam..... hmmm bahasanya gimana yah, willing to do anything, willing to be everything, willing to serve and give anything and everything that left in me. Sampai akhirnya, orang yang menjadi pegangan dan sandaran gue itu juga hilang.


\

Ketika kehilangan demi kehilangan, keterpurukan demi keterpurukan itu yang seakan nggak ada ujungnya, I reedem myself. Ketika lo udah nggak punya apa-apa, you have nothing to lose. Itu bener-bener gue rasain. Dan gue mencoba untuk kembali memungut apa yang tersisa.

I made unforgivable mistakes to my own family, that I forever will regret. Nggak ada hal yang bisa gue lakuin untuk menebus dosa gue itu, selain untuk mencurahkan kasih sayang, perhatian, dan segala yang gue punya sekarang untuk mereka. Gue punya banyak hutang dan keinginan yang belum bisa gue wujudin buat mamah, ayah, dan adik gue, dan karena ke-belum mampuan gue, gue berusaha untuk setidaknya, selalu ada buat mereka.

Ketika gue nggak punya apa-apa itu, gue sadar kalau ya yang kesisa sekarang cuma keluarga gue sendiri. And instead of running away from them, leaving them behind, I should stick together with them. Because they're part of myself, and I'm a part of them. We just have our own selves, together. Dan ketika kami justru terpecah belah, apalagi yang bisa tersisa?

Gue belajar untuk menghargai orang lain. Sangat, sangat, sangat. Semenjak gue sadar kalau gue ngebutuhin perhatian dan kasih sayang dari orang lain banget, gue tau kalau manusia memang butuh satu sama lain. Gue tau gimana rasanya ketika lo ngebutuhin uluran tangan, tapi nggak ada yang bersedia menolong lo. Gue tau gimana rasanya ketika lo butuh tempat cerita, tapi nggak ada yang menunjukkan tanda peduli. Gue tau gimana, manusia, kadang ada ketika kita diatas, tapi hilang gitu aja ketika kita lagi dibawah. Gue tau gimana manusia kadang lupa untuk menghargai orang lain. Habis manis sepah dibuang? Cuma dateng pas butuh doang? Gue khatam banget sama hal-hal itu.

Dan semenjak itu gue semacam bilang ke diri gue sendiri, "gue nggak mau ada orang yang ngalamin hal yang sama kayak gue. Gue harus bisa ada buat orang lain, gue harus bisa ngebantu apapun sebisa gue, gue nggak boleh pelit, gue nggak boleh sedikitpun ngelupain kebaikan orang." Karena gue tau gimana nggak enaknya, gimana marahnya, gimana ngerasa sakit hatinya, ketika lo ada di posisi itu.

Kayak sebagian besar manusia yang hilang arah juga, gue kembali nemuin Tuhan. Tuhan pasti sebel banget sama gue, ketika gue ngerasa nggak lagi punya pegangan apa-apa, baru deh gue nangis-nangis sujud-sujud ke Tuhan. Udah gitu pake marah-marah dan menuntut keadilan pula. Padahal giliran gue lagi dikasih seneng, ngucapin rasa syukur aja kadang gue lupa.

To sum it up, gue berusaha untuk menerima keadaan. Gue berusaha untuk berdamai, dan yaudah ngejalanin apa yang ada di depan. Apa yang bisa gue lakuin, apa yang Tuhan izinin, apa yang semesta kasih. Gue merasa, gue *udah* menerima itu semua.


Tapi gue baru sadar sebulan belakangan ini kalau gue belum bener-bener menerima deh. Gue masih menutup itu semua, gue masih merahasiakan keadaan gue, gue malah jadi membatasi diri gue sama orang lain. Tau nggak, salah satu alasan gue untuk memilih nggak berpasangan dulu adalah: karena gue mau sukses. Gue nggak mau pasangan gue ngeliat gue yang hancur. Gue nggak mau terlihat buruk dan rendah. Gue nggak boleh keliatan lemah. Nggak cuma soal pasangan, di pertemanan juga gitu. Gue nggak mau terlalu attached sama orang dan ngebiarin temen-temen gue tau bobroknya gue. Gue harus terlihat selalu seneng dan ketawa.

Tuh kaaaaan, trus apa bedanya dong gue sama yang dulu? Katanya udah nerimaaa?



\

Nah, di sinilah gue kayak ngalamin titik balik lagi. Gue nggak pernah nyangka kalau pertemuan gue dengan orang baru ini, bisa mengubah banyak hal dari diri gue. Orang yang bertahun-tahun deket sama gue aja nggak pernah bisa gue ceritain tentang masalah ini, tapi dia yang baru gue kenal beberapa bulan malah bisa ngurek hal-hal yang selama ini gue pendem sendiri. Wow.... Gue amazed.
Awalnya gue takut, gue malu, gue insecure, gue rendah diri, gue maju-mundur untuk cerita nggak ya, cerita nggak ya. Tapi entah kenapa gue pengen banget cerita. Gue pengen banget dia dengerin dan tau tentang gue. Gue pengen membuka diri gue. Pun kenapa akhirnya gue tiba-tiba nulis post yang sangat panjang ini di sini.

Gue capek terus-terusan pake topeng yang nggak pernah gue lepas selama bertahun-tahun, sampai di dalamnya justru jadi makin rusak dan keropos. Dan untuk ngebuka topeng yang selama ini melekat di atas muka lo itu, ngebutuhin keberanian yang luar biasa. Banyak ketakutan yang berkecamuk. Tapi ternyata, ketika gue ngebukanya, gue kayak bisa bernafas dengan lega lagi.

Ada seorang teman yang pernah ngomong, intinya, selama orang lain nggak ngurusin hidup lo, nggak ngebantuin hidup lo, nggak ngebayarin hidup lo, ya kenapa lo harus pusingin apa kata mereka? Ada orang yang bisa nerima lo, ada yang enggak. Ya trus kalo nggak semua orang bisa nerima lo, apa masalahnya?

Iya juga ya..... This is my life. I know it's messed up. It's full of flaws and dark past. It's totally imperfect. It's far from normal. It's not as great as yours. But, so what? I still want to live, and I have to keep living.


Ternyata, mungkin selama ini gue bukan takut orang lain nggak bisa menerima gue, tapi gue yang belum bisa menerima diri gue sendiri.

Duh, panjang banget kek bikin biografi. Hehehe.


\

So now, then what?
I simply want to start a new beginning. Memulai hubungan yang baik dan jujur dengan orang lain. Membiarkan orang lain melihat diri gue apa adanya, dan membiarkan mereka memilih, untuk menerima atau nggak. Menjadi orang yang lebih menghargai diri sendiri, sebelum gue bisa menghargai orang lain. I was restless and unkind even to myself. I pushed myself too hard, I was set the bars too high, tapi sekarang gue mau melepaskan semua beban itu.

I'm not gonna feel inadequate and undeserving for being the way I am anymore. I won't desperately try to change myself for winning other's heart. I won't seek attention and affection for validation, instead I will give a lots of love I have for my special peoples.

The most important thing is, I learn to accept and to be accepted. I have to accept my past, my flaws, my mistakes, and my every wrong turn I take. Humans are imperfect. It is okay to hit the bottom, to failed many times, to feel down and broken, to get lost in this world. But in the end, we have to live the life to the fullest.


Kalau kata Ha No Ra di drama 20 Again yang inspiring banget itu: "Living my life by other people's standards is meaningless. Being overly cautious and try to impress people doesn't make them like you more. You can't force someone to like you. If they get away, then they get away."



Dan gue percaya, akan ada orang-orang yang tau segimana jeleknya, bobroknya, hancurnya, dan nggak sempurnanya kita, they still love us and want to be with us, in their life.

Semoga. :)



Newer Posts
Older Posts

Hello, It's Rima!

Hello, It's Rima!
A free-spirited hippy type that often get soaked from dive so deep into her complex thoughts and a lot of big feelings.

Labels

asi vs sufor engagement korean drama life menujurrumah parenthood Rania review film rima's k-drama recap

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2020 (3)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2019 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2018 (10)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2017 (5)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  April (2)
  • ▼  2016 (35)
    • ▼  Desember (3)
      • Setuju Untuk Tidak Setuju
      • Still My Fav Proposal :')
      • Why We Are In Such A Hurry?
    • ►  November (1)
      • Lovember
    • ►  Oktober (2)
      • Get A Life
      • Mengintip
    • ►  Agustus (2)
      • Peran
      • Picture Perfect, Sweet Like Candy
    • ►  Juli (6)
      • Tentang KAMU dan Sepi
      • Every Little Thing Matters
      • ENFP, Baby
      • Celebrating Progress
      • The End Of The Holy Month
      • Accepting And To Be Accepted
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2015 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2014 (40)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2013 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2012 (31)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (6)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)

Find something

Most Popular

  • Apa Cita-Citamu?
  • Everybody's Changing
  • Lumos
  • Do Something, Make Something
  • We Can't Wait Forever
  • Nozomi, A Hope
  • "Kalau nggak enak, kasih kucing aja"

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates